11. "Kalau lo emang beneran nggak naksir, gue deketin boleh, dong?"

2.2K 102 12
                                    

"Memar baru lagi?"

Pertanyaan Anthony Sahid, teman seangkatannya sekaligus kapten Chevaliers yang akan turun jabatan beberapa bulan lagi, di ruang ganti sebelum latihan sore dimulai hanya ditanggapi Jindra dengan dengusan. Yep, ada memar baru lagi di area betis kanan akibat kucing-kucingan dengan pihak berwajib dini hari tadi yang membuatnya jatuh ketiban motor sendiri. Reo sialan, harusnya tidak dia pedulikan ajakan balapan liar semalam yang hanya berujung mendatangkan polisi sebelum balapan bahkan kelar. Lukanya bisa jauh lebih parah, atau malah dibawa ke polsek terdekat, tapi sebutlah Jindra sedang beruntung dan bisa lolos dari semua itu.

"Panjang ceritanya, lo nggak akan mau tahu."

Anthony memutar mata, tapi biar begitu tidak kelihatan hendak mengomel melihat anak buahnya kembali bermasalah. Putra dari salah satu pengusaha kaya asal Surabaya ini selanjutnya melemparkan gulungan kinesio tape berwarna biru ke arah Jindra. "Gue bukan Monster yang bakal ceramah macem-macem, tapi jangan berbuat bodoh yang bikin lo sampe dicoret dari tim. Lo penting buat Chevaliers."

Kalimat barusan dari mulut Anthony yang biasanya irit bicara membuat Jindra langsung merasa segan. Belum pernah sebelum ini ada yang membutuhkannya, berada bersama Chevaliers setidaknya memberinya tujuan. Laki-laki berbadan bongsor itu mengangkat tape yang dilempar Anthony dengan satu tangan sambil bergumam, "Thanks."

Anthony hanya mengibaskan tangan sambil bangkit dari duduknya dengan jersey dan gear pengaman sudah terpasang lengkap. "Lima menit lagi kalian semua harus udah mulai pemanasan di lapangan," ujarnya pada seluruh anggota yang masih berada di ruang ganti. "Telat sedetik aja, lo semua tahu apa hukuman dari Monster kesayangan kita."

Lari keliling lapangan seratus kali, dasar orang tua gila!

Anak-anak lain langsung bergegas mengganti seragam sekolah dengan jersey latihan dan memasang gear di sepatu agar tidak telat, sementara Jindra sendiri masih berusaha menempelkan tape itu di betis untuk menutupi memarnya—sekaligus mengurangi rasa sakit yang ada. Untungnya kakinya kidal, tidak akan perih-perih amat untuk dipakai menendang tanpa membuat pelatih mereka curiga.

Jindra masuk ke lapangan tepat waktu dengan mengenakan jersey latihan Chevaliers yang didominasi warna putih dan navy blue. Mr. Mochtar sempat melirik betisnya yang ditempeli tape, tapi tidak menanyakannya lebih jauh karena menggunakan kinesio tape lumayan umum di kalangan atlet. Setidaknya dia bisa bernapas lega kali ini karena memar barunya tidak ketahuan.

Ketika dia tengah melakukan pemanasan dengan jogging mengitari lapangan, Wahyu berlari mendekat ke arahnya sambil mesem-mesem.

"Gila, kita dapet pemandangan seger tiap latihan bareng sama anak-anak cheers."

Jindra diam saja. Salah banget jika Wahyu mengharapkan balasan antusias darinya jika topik receh itu yang dijadikan pembuka obrolan. Biar begitu dia tetap menyempatkan diri melirik ke arah pinggir lapangan yang dari tadi membuat anak-anak Chevaliers salah fokus, tempat cewek-cewek cheerleader dengan rok mini dan pom-pom mereka tengah melakukan pemanasan juga.

Di pertandingan sepak bola normalnya tidak ada tim pemandu sorak, tapi Chevaliers adalah klub olahraga nomor satu di sekolah ini, dan skuad cheerleading Rajendra bersikeras untuk turut hadir mendukung mereka di tiap kejuaraan. Entah untuk menegaskan kalau cheerleader adalah klub elit di sekolah atau ingin lebih dekat dengan atlet-atlet Chevaliers, Jindra juga tidak peduli. Cewek-cewek berpom-pom dengan pekikan nyaring hanya membuat kupingnya sakit.

"Pahanya pada mulus-mulus banget, ya." Andika, kiper Chevaliers yang juga tengah berlari di dekat mereka, ikut berkomentar ketika Jindra hanya bungkam.

"Dari kemaren gue nge-chat Nadya nggak ditanggepin." Kali ini Felix yang buka suara, sesama Year 12 yang berposisi sebagai bek tengah.

"Ya sadar diri, dong, lo cuma pemain cadangan, nggak level buat kapten cheers," ejek Wahyu. Begini-begini dia boleh sombong karena sejak tahun lalu selalu mendapat tempat di tim inti. "Minimal kayak gue dan Jindra lah yang langganan masuk starting XI kalau mau pepet Nadya."

Mendengar namanya disebut-sebut hanya membuat Jindra mendengus, tidak berniat menanggapi atau ikut nimbrung dalam obrolan tidak penting itu. Dia paling alergi dengan gadis kaya yang manja, itu berarti hampir setengah populasi kaum hawa di sekolah ini hanya akan membuatnya gatal-gatal.

"Ada anggota baru, ya? Bodinya oke juga."

"Wah, iya, gue belom pernah liat dia di latihan cheers sebelumnya. Malah lebih cakep dari anggota-anggota lama, haha."

"Pada nggak update ya lo semua? Itu kan cewek yang masuk Rsoc minggu lalu, Rosalyn."

Kalimat terakhir dari Wahyu setidaknya berhasil membuat Jindra menoleh ke arah teman-temannya seakan baru menemukan topik bermutu dari obrolan mereka sedari tadi.

Rosalyn gabung cheerleader? Ha, itu baru topik menarik.

Jindra otomatis kembali melirik skuad cheerleader di pinggir lapangan selagi hendak menyelesaikan lari satu putarannya. Sulit membedakan cewek-cewek berpom-pom itu dari posisinya saat ini, tapi entah bagaimana matanya tetap mampu menemukan Rosalyn di antara yang lain. Dengan modal tampang dan postur tubuhnya sebenarnya mudah-mudah saja mengira cewek itu sebagai bagian dari anak-anak cheers, tapi Jindra masih melihatnya seperti outsider bersama anggota yang lain. Geng pemandu sorak yang selama ini memiliki imej sok eksklusif tidak terlihat seperti kelompok yang akan dimasuki Rosalyn. Jindra mungkin tidak kenal-kenal amat dengannya untuk bisa berkomentar begini—selain pernah mencium yang bersangkutan, tsk, masih juga diungkit!—tapi dia rasa Rosalyn bukan tipikal mean girl seperti si Biduan dan minion-nya.

Dih, sejak kapan coba bisa goyang-goyang sambil megang pom-pom?

"Her family is a shitshow right now, yang dia butuhin sekarang pasti orang yang bisa jagain dia." Timpal Andika yang trademark andalannya adalah 'aku jagain gawang aja jago apalagi jagain kamu'.

"Jangan macem-macem lu, Dik, udah digebet Jindra duluan, tuh." Wahyu mengompori sambil cengar-cengir.

Andika dan Felix sama-sama memasang ekspresi syok serupa dan berseru: "Jindra ngegebet cewek?!"

Itu adalah versi singkat dari: Jindra yang nggak punya hati itu, yang gosipnya aseksual, yang tiap dipepetin cewek cakep selalu melengos, yang galaknya minta ampun, bisa ngegebet cewek?

Dikatakan keras-keras begitu benar-benar menggelikan, tsk.

"Fitnah." Balasnya datar.

Siapa juga yang ngegebet? Cuma ciuman sekali, kok. Tapi anak-anak ini juga tidak perlu tahu.

Wahyu mengikik, mulut kompornya kembali membuka, "Pas hari pertama si Rosalyn diboncengin lho ke sekolah, gue liat sendiri, cewek mana lagi yang Jindra gituin coba?"

Selagi Felix dan Andika berdecak heboh, Jindra yang sudah menyelesaikan lari satu putarannya berhenti di tempat dan melanjutkan pemanasan dengan memutar pergelangan kaki. Dia menyempatkan diri melirik lagi ke arah anak-anak pemandu sorak yang sedang sibuk dengan sesi latihan mereka, dan saat itulah pandangan matanya tidak sengaja beradu dengan Rosalyn yang juga tengah melirik ke arahnya.

Jindra tidak punya masalah dengan melakukan kontak mata, dia masih terus memandang gadis itu seakan tengah menantang siapa di antara mereka yang akan melengos duluan.

"Kalau lo emang beneran nggak naksir, gue deketin boleh, dong?"

Pertanyaan iseng Andika yang membuat Jindra lebih dulu memutuskan kontak mata, dia melirik teman seangkatannya itu sekilas, lalu menendang bola di dekat kakinya tepat ke arah sang penjaga gawang yang tanpa persiapan.

Wajah Andika kena gebok bola dengan sukses diiringi tawa Wahyu dan Felix yang membahana.

I Slept With My StepbrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang