38 | Miray

8K 1K 338
                                    

Agak ngaret sedikit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Agak ngaret sedikit

***

Arya tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

Setelah meminta Miray buat duduk di kursi pantry, gadis itu agak lebih tenang. Namun, penampilan Miray jauh dari kata baik. Lingkaran hitam tampak mengelilingi kelopak matanya, dengan rambut yang kusut dan wajah sembap. Arya tidak bisa menerka, berapa lama gadis itu menangis.

Tapi yang pasti, Miray menghabiskan sepanjang malam bersama air mata.

Sejenak, Arya hanya menatap Miray prihatin. Kalau saja beberapa tahun lalu gadis itu datang dalam kondisi seperti ini, mungkin Arya tak perlu ragu untuk berlama-lama merengkuh Miray. Namun, sekarang semuanya sudah berubah. Mereka hanya dua orang asing yang kebetulan dipertemukan kembali.

"Dika," lirih Miray. Menyebutkan nama tengah Arya yang biasa ia gunakan. "Makasih, ya, udah mau nerima gue di tempat lo."

"Gue cuma paling nggak bisa liat cewek nangis," jawab Arya.

Lelaki itu berbalik, hendak membuatkan teh hangat untuk Miray. Dulu, Tania seringkali memberikannya teh hangat ketika Arya lagi sedih. Jadi tak heran kalau di setiap keadaan, teh hangat selalu jadi pilihan buat Arya.

Lantas, Arya menaruh cangkir berisi teh hangat itu di atas meja pantry dan memberikannya pada Miray.

"Minum dulu," titah Arya.

"Selalu teh hangat...." Miray tersenyum tipis. "Lagi-lagi gue berasa kayak orang sakit pas upacara."

"Daripada lo jadi bangke di rumah gue."

Tawa Miray kontan menguar. Rendah dan terdengar lembut di telinga Arya. Tanpa mengatakan apa-apa, Miray menenggah teh hangat yang diberikan Arya dengan perlahan. Membiarkan lelaki itu turut mengambil kursi di samping Miray dan memandangnya dalam diam.

"Gue lega liat lo lebih tenang sekarang."

Kalimat Arya berhasil bikin Miray tertegun dalam sekejap. Gadis itu menghentikan pergerakannya dengan tepi cangkir yang masih menempel di bibir Miray.

Tak ada jawaban dari Miray. Arya lantas meneruskan ucapannya, "Menurut Pengkhotbah sebelas ayat sepuluh, 'buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan'."

Satu detik. Dua detik. Miray belum juga menunjukkan tanda-tanda akan membuka suara. Gadis itu kembali meletakkan cangkir teh di atas meja dan menghela napas berat.

"Dika," panggil Miray.

"Ya?"

"... lo lupa kalau gue islam?"

"A-ahh...." Arya meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf."

"Maaf? Seriously, Ka?"

BUCIN: Butuh Cinta ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang