Seperti biasanya didepan jendela besar, aku memikirkannnya dan kutumpahkan pada tinta dan selembar kertas. Memikirkan apa yang terjadi padanya setelah kejadian tadi pagi. Apakah lelaki itu memaki-maki gadisku? Dan tengah menangis sekarang? Atau langsung membatalkan pertunangan karena kekecewaan begitu dalam? Jika memang benar begitu inginku langsung melamarnya didepan kakak laki-lakinya sekarang juga.
Apakah sekarang aku patah hati? Menerima kenyataan yang terjadi? Pertunangan wanita yang kukasihi akan berlanjut menuju altar, tapi wanita itu juga mempunyai rasa padaku. Aku tak tahu – sungguh tidak tahu apa yang terlintas dalam pikirannya. Hatiku seperti terambing tak ada tujuan.
Bangsatt aku terjebak dengan pikiranku sendiri.
“Hallo ibu?”
“Bagaimana kencanmu kemarin?”
“Tidak semulus yang kupikirkan.”
“Sudah memiliki kekasih?”
“Sudah bertunangan.” Kubuang mukaku menuju jendela bening dengan ribuan lampu kota.
“Akh benarkah?” Tampak suara terkejut ibu dibalik ponsel ini.
“Hmm.”
“Aigoo. Anakku sayang. Tidak apa nak, jodohmu sedang menanti dirimu diluar sana. Kau boleh bersedih tapi ingat jangan terlarut dalam kesedihan itu.”
“Aku tahu bu, terimakasih.”
Besok adalah hari penutupan Literary Association dengan sang tuan rumah memintaku bersyair untuk apresiasi. Dari sekian puluhan penyair sang tuan rumah memilihku. Mau atau tidak harus kerja lembur malam nanti –tapi apakah bisa menyelesaikan malam ini, dengan segenap pikiranku hanya terfokus pada Laneta ?
***
Seperti awal acara terlaksana di gedung megah dengan hiasan lampu malam dengan segala kecerahannya terpancar indah. Berbagai penyair ternama dengan balutan jas dan berbagai pelengkap rapinya menghadiri – sebagai penghormatan perpisahan dan malam penutupan.
Tidak ada yang berbeda dari sebelumnya awal kedatanganku, penampilan rapi tampan menawan telah kusuguhkan, yang membedakan hanya sang pemimpin cantik bersanding dengan sang tunangan tampannya. Benar, Laneta duduk bersebelahan dengan Oh Sehun si pengusaha muda itu.
Si Sehun tengah diundang untuk mendampingi –calon istri– untuk penyampaian pesan terakhirnya dalam penutupan acara. Dengan kemeja hitam di balut dengan jas hitam pekat tampak serasi bersanding dengan si cantik Laneta. Cih, Sialan.
Kini giliranku menuju depan mimbar untuk membaca syair pilihanku. Kulangkahkan kaki jenjangku menuju tengah panggung diiringi tepuk tangan meriah layaknya bangsawan penting naik jabatan.Apa aku melupakan Laneta disana? Tidak, mataku tak bisa lepas dari kehadirannya.
Sambutan utama kusampaikan dan kubuka kertas putih yang terlipat rapi, kutarik nafasku untuk mengalirkan seluruh emosiku pada pusatnya, sampai pada titik dimana diriku benar-benar menguasainya.Mulai kumelantunkan bait demi bait dengan penekanan emosi penuh, tak hanya bibirku yang bergerak tetapi seluruh organku mampu bekerjasama dengan baik disana. Dimana aku membuat suasana menjadi memanas lalu menghening, membara lalu menenang. Kututup dengan air mata beningku terjatuh menambah kesan mengagumkan dan menghipnotis semua penikmat syairku.
Dan tepuk meriah sangat meriah yang kudapat terkecuali pria berjas yang sibuk memandangi arlojinya. Pria itu Oh Sehun dengan tampang dingin dan malasnya. Bahkan Kim Sejeong sampai meneteskan air mata – ia mampu merasakan betapa mendalamnya syairan yang kutulis – terlebih lagi ia juga penyair seperti ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Pujangga || Daniel K.
RomanceKulangkahkan kakiku keluar untuk menemui inspirasi malamku, dengan beberapa nyamuk yang setia menemaniku dengan pengharapan cintamu. Ku layangkan wajahku menatap benda alam dengan sayup angin dingin menerpa wajahku. Kulihat bulan bersinar terang dis...