Pembunuh!

48 11 9
                                    

Wanita anggun itu berdiri tepat disebelahku, rambutnya menari tertiup angin malam, “Anak yang manis” Kata wanita itu sembari menatap bintang beterbangan di malam Paris.

“Dimana tunanganmu?” Kugulung lengan kemeja itu, terasa sedikit gerah disini. Jari jempolku terus mengusik darah di sudut bibirku.

“Kalian bertemu?” Mata cantiknya membulat setelah melihat lukaku, tangannya memeriksa seolah mencari luka lain di wajahku. “Ah, sakit” Pekikku setelah tak sengaja tersentuh. Dahinya mengerut seperti tahu apa yang kurasa disertai helaan nafas dalamnya.

Kuusap lembut pundak yang berbalut kain itu, kuarahkan pandangannya menatapku. Kugenggam kedua tangannya – meminta pertanggung jawaban atas perkataannya waktu itu. “Kau tetap melangsungkan pernikahanmu?”

“Kau sudah tahu jawabannya.”
Perkataanya membuatku gelisah, aku memijat pelipisku gusar, menekan mataku kuat seolah menahan kesal yang teramat. Seperti otakku mengeluarkan asap yang tengah bersiap terbakar oleh api kekecewaan, entah harus kecewa pada siapa.

Langit malam bersama tebaran bintang dan sinar rembulan menjadi saksi amarahku mengenai keadaan atau ulasan singkat dari sang empu di depanku ini.

“Apa kau sedang mempermainkanku sekarang?” Kutatap matanya lamat-lamat.

"Apa maksudmu niel?"

“Aku bertanya –apa kau tengah mempermainkanku Kim Sejeong?!!” Tidak terasa air mataku menetes disana. Setengah berteriak aku masih menatap pada maniknya, seolah mencari tahu kesungguhan dari sang gadis pada kesucian cintaku.

“Apa aku seperti tengah bermain?!!” Jawabnya tegas, tetapi menahan tangis disana, “Ini memang terdengar aneh, ini memang terdengar tidak masuk akal, dan Ini terdengar bodoh. Memang bodoh.” Ucapnya, sembari mengusap air matanya kasar, “Lupakan aku, aku memilihnya sebagai pendampingku”.

Sudah hilang pertahananku sekarang, nampak gadis itu serius dengan ucapannya. Air mataku tak ter bendung lagi, kini menetes satu persatu tanpa ampun. Apa aku sedang mengemis cinta sekarang? Tidak, kutegaska sekali lagi tidak ada di kamus besarku tentang pengemisan – apalagi cinta.

“Bukankah kau mencintaiku?” Tanyaku. Kini manikku berpindah menatap jauh ujung menara. Tetap dengan kehancuran hati di dalam sana.

“Jangan memaksaku menjawabnya” Terdengar suara tertahan pada wanita itu. Ia nampak menahan air bening yang ingin menetes, dan setiap tetesannya ia usap kasar.

“Apakah kau juga mencintaiku Kim Sejeong?” Tidak ada pertanyaan lain selain itu di pikiranku saat ini.

Laneta memilih beralih menunduk, “Seharusnya aku tidak bertemu denganmu.” Tangan kecilnya bergerak gelisah seolah menahan air mata yang mulai menetes.

“Menyesalinya?” Tanyaku pada suara dalamku. Hening. Hanya isakkan tangis yang kudengar. Semakin lama semakin pecah tangisnya.

“Kumohon Kang Daniel, aku tak bisa menjelaskan masalaluku kepadamu” Masih tetap pada posisinya.

“Ku tak meminta pemahaman darimu. Cukup katakan yang sejujurnya. Hanya itu.” Tanyaku sendu menghadap maniknya yang mulai sembab itu.

“Tidak. Aku tidak bisa. Untuk trakhirnya aku meminta padamu, Lupakan aku ” Mendengar jawabannya membuatku memerlukan sedetik saja pemikiran tentang apa sebenarnya perjanjian bodoh itu. Ku berencana akan mencari lebih jauh mengenai masalah itu. Tak kan kubiarkan gadisku terjerat dalam permainan bajingan itu.

“Mengertilah Kang Daniel, jangan kau buat ini semakin rumit. Jangan kau mencoba mencari tahu tentang ini. Biarlah cerita mengalir pada alurnya. Inilah hidupku, pilihan ku. ”

Sang Pujangga || Daniel K.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang