Selamat Datang, Paris

156 21 3
                                    

Tertata cantik puluhan benda berlapis tembaga dan emas yang berkilauan dengan bermacam bentuk di rak hitam kayu mahoni yang berumur belasan tahun warisan dari kakek buyut. Serta berlembar-lembar bertulis piagam dan sang juara tertumpuk rapi di almari kamarku. Memang sejak sekolah dasar aku menyukai hal yang berbau dengan tulis menulis, seiring berjalannya waktu aku tidak terlepas dari yang namanya keindahan bahasa.

Aku sangat mengangumi dan menghargai itu. Entah itu serasa sudah masuk pada hati dan jiwaku. Dan jangan terkejut jika aku termenung sendiri dalam kegelapan bahkan mulai menangis dalam genggaman pena dan selembar kertas, itu berarti mereka sudah merasukiku dalam ide-ide yang siap membawaku ke dunia yang tak mampu aku ucapkan. Menyenangkan.

Setiap malamku aku mampu menulis berlembar-lembar disana dengan ungkapan sajak yang mendalam dengan ungkapan emosi yang terpendam dan itu menghasilkan puluhan juta uang yang kudapat, maka aku bisa mencukupi kebutuhanku sendiri serta orang tuaku, bahkan rumah dengan luas 700 meter kubik kubeli, mobil keluaran terbaru, dan berhektar-hektar tanah sebagai investasi.
Jika kau bertanya apakah aku bahagia sekarang? Tentu bahagia, mempunyai Ibu yang cantik dan sabar serta ayah yang berwibawa. Dan gelar yang aku terima Sarjana Sastra.

Tapi bagaimana dengan kelajanganku?

Walau umurku masih terbilang muda tetapi aku sudah seharusnya mempunyai pendamping hidup. Bahkan tidak sedikit para orang tua diluar sana yang menjodohkan anak prawannya padaku. Aku bisa apa? Ku tolak semuanya.

Ada pengalaman menarik saat perjodohanku dengan anak pengusaha elektronik asal China, saat itu aku ditelfon ibu untuk segera menemuinya di salah satu tempat makan terdekat, mau bagaimana lagi ku temui anaknya itu. Ku bungkukkan badanku sebagai rasa hormat. Pengusaha itu terus memuji ketampananku dan gelar yang kusandang. Setelah itu ia meninggalkan aku dengan anaknya.

Ya, disini hanya kita berdua tanpa mengenal satu sama lain. Canggung pasti ada tetapi tampak sang wanita di hadapanku ini menahan amarahnya. Mungkin aku harus memulai pembicaraan. Dengan sedikit senyum ramahku.

“Kyul Kyung-ssi kau mau pesan apa?” Aku mengambil buku menu yang berada di sampingku. Dan yang kuterima tatapan malas darinya.

“Mau coba Budae Jjgae disini?” Tanyaku lagi.

“Batalkan saja pertunangan ini.” Selanya tajam. Aku hanya diam, menatap buku menu itu. Di saat perkataan itu keluar aku hanya tersenyum miring dengan penuh kesombongan. Ku singkirkan buku menu itu dari hadapanku tenang dan mataku menatapnya seraya mempersilahkannya berucap.

“Sihir apa yang kau gunakan ini? Sampai ayahku tergila-gila padamu ha’?. Ulasnya lagi.

“Dengan paksaan ayahmu pada ibuku untuk aku menemuimu. Kau pikir ini rencanaku?”. Jawabku tenang.

“Katanya sastrawan hebat dengan segala kemampuannya. Cih!!.. apa hebatnya kau dengan kekasihku. Aku tidak mau menikah denganmu!!” Hei dia pikir siapa dia? dengan lancang mulutnya menghinaku tepat di wajahku.

“Perbaiki dulu sopan santunmu lalu bicaralah padaku.” Aku langsung meninggalkannya disana dan tampak wajah putihnya memerah padam. Dia pikir aku mau menikahinya? Tidak sudi.







“Bagaimana nak?” Ibuku bertanya setelah kepulanganku. Dan jawabanku selalu, “Tidak cocok bu”

“Baiklah tak apa sayang”.
Kutancapkan pada hatiku bahwa ini adalah yang terakhir kalinya, aku tidak mau mendengarkan kata perjodohan lagi. Masih banyak hal penting yang harus aku selesaikan terlebih lagi. Aku masih muda.











“Kang Daniel, jangan lupa minum susumu.” Suara wanita paruh baya di ambang pintu itu selalu membuat hatiku bahagia. Setiap malam ia selalu bersuara seperti itu. Suara yang sangat lembut dan menenangkan. Bisa dibilang aku manja.

Sang Pujangga || Daniel K.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang