Tanpa Duga

56 15 1
                                    


Mengapa Tuhan dengan cepat mengutus mentari itu memancarkan sinarnya? Izinkanlah malamku lebih lama hanya untuk malam ini, bersamanya, disampingku. Baiklah kau tidak mendengarku Tuhan, tapi jangan usik gadisku dengan pancaran disana.

Aku masih mengamati cantik wajahnya tepat di depanku, masih terngiang di pikiranku tentang kata darinya yang membuatku terkejut, kata darinya yang membuatku merinding, dan kata darinya yang membuatkubertahan.
Bisakah aku disampingnya saat ia membuka mata? Atau malah terkejut bukan main saat aku memandanginya? Tapi aku ingin mencium keningnya saat ia terbangun nanti layaknya pasangan suami istri yang romantis dipagi hari dengan beberapa biskuit coklat dan secangkir teh hijau di sampingnya, lanjut dengan bercumbu di pagi hari. Tidak tidak. aku sedang menghayal terlalu jauh sekarang.

Baiklah kusegarkan badan ini dulu lalu menghampirinya. Kututup pintu kamar itu lalu menuju ke kamarku.
Beberapa saat kemudian kubuka pintu kamar Sejeong, ada yang berubah disana dengan sang gadis tengah terbangun dan duduk berbalut selimut. Sedikit terkejut dengan keberadaanku membawa beberapa kantung plastik berisi roti isi dan 2 botol susu.


“Tunggu tuan Kang. Ada yang salah denganku?” Ia memandangku penuh tanya.

“Tidak ada yang berubah, masih tetap cantik”

“Dimana aku sekarang? Dan baju ini?” Wanita itu nampak kebingungan dengan baju tidur bermotif bunga melati berwarna putih tulang yang menempel di tubuhnya.

“Bukankah tadi malam kita tengah berpesta wine? Kau terlalu banyak minum nona. Dan tentang baju itu, pelayan yang menggantinya jadi tenang saja.”

“Benarkah pelayan yang menggantikan?”

“Jika aku berkata bohong kau tidak akan tahu juga” Ku mengangkat sudut bibirku diiringi kedipan mataku.

“Yha!!” Aku terkekeh setelah ia melempariku bantal dan menutup sebagian tubuhnya dengan selimut.

“Kau semalam tidur dimana?” Masih tetap pada posisinya.

“Sebelah kamarmu adalah kamarku”

“Jadi kau tidak seranjang denganku kan?”

“Emm.. Tidak.” Jawabku acuh sembari menyibukkan diri dengan bantal yang dilempar itu.

“Lalu bisa anda jelaskan jam tanganmu di sampingku?”

“Baiklah aku menyerah. Waktu meninggalkanmu disini, kau mengehentikan lenganku. Mau bagaimana lagi? Kau takut gelap.”

“Jadi?”

“Jadi.. bisa pikir sendiri.” Aku terkekeh sembari berjalan kebelakang mengambil mangkuk untuk wadah bubur parau yang kubawa untuk menghilangkan peningnya. Semangkuk bubur parau dan roti isi kuhadapkan di ranjang putih itu.

“Mau suapan dariku ?” Anggukan manis yang kuterima, sesuap bubur hangat mendarat pada mulutnya. “Mau membahasnya ?"

“Tentang?” Nampak dari raut wajahnya wanita itu sudah tau arah pembicaraan.

“Semalam.” Sendok terlepas dari tanganku beralih ku tatap maniknya serius. “Jadi kelanjutan hubunganmu dengannya?” Maniknya tidak menatapku, seolah tidak mau menjawab pertanyaan yang kuberikan.

“Apa kita bisa bersama.” Ucapku meyakinkan.

“Aku mau sesendok lagi bubur itu”

"Sejeong-ah - ?"

"Wahh.. dimana kau beli bubur ini? Sangat enak."
Aku mulai sedikit kesal dengan alihan pembicaraan ini, yang seolah masih ingin bersama tunangannya.

Sang Pujangga || Daniel K.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang