Hari ini sekolah pulang lebih awal dikarenakan ada rapat koordinasi guru. Semua siswa dibuat bersorak sorai dengan adanya kabar tersebut, sebab mereka dapat pulang ke rumah tercinta lebih awal, memiliki waktu yang panjang untuk merebahkan diri di kasur yang begitu nyaman, dan ada juga yang memilih untuk hang out dengan teman-temannya, namun berbeda dengan Lea, ia bersama dengan siswa yang tergabung dalam teater harus tetap tinggal di sekolah sampai nanti sore untuk berlatih akting.
Suasana di ruang teater cukup ramai dengan segala kegiatannya hari ini. Setelah berhari-hari mereka berlatih reading sekarang waktunya mereka menata bloking sekaligus berlatih akting. Mereka sibuk dengan perannya masing-masing. Kali ini Lea yang berperan sebagai Roro Jonggrang harus berlatih akting dengan lawan mainnya yaitu Dikta yang berperan sebagai Bandung Bondowoso.
"Duhai Roro Jonggrang, perkenankanlah diri ini meminang dikau." Ucap Dikta sesuai dengan dialog yang ada di naskah diikuti dengan gestur tubuh yang mendukung aktingnya.
"Bandung Bondowso, ada satu syarat yang harus kau penuhi jika memang kau ingin meminangku. Bangunkan aku seribu candi dalam waktu satu malam." Ujar Lea sesuai dengan dialog yang tertulis di naskah dengan gerak serta mimik wajah yang semakin mendukung aktingnya.
"Akan ku penuhi semua permintaanmu asalkan kau akan menikah denganku."
Roro Jonggrang meninggalkan Bandung Bondowoso yang akan memenuhi permintaannya. Bandung memulai hajatnya dengan melakukan ritual pemanggilan jin untuk membantunya dalam membangun candi dalam waktu satu malam.
Roro Jonggrang yang mengetahui usaha Bandung pun mencari cara untuk menggagalkannya. Akhirnya wanita cantik itu menemukan cara untuk menggagalkan usaha orang yang berniat meminangnya tersebut, ia bersama para dayang memukul lesung untuk membuat ayam berkokok sehingga Bandung berpikiran bahwa hari menjelang pagi.
"Bandung Bondowoso, kau dengar suara ayam berkokok? Itu tandanya hari menjelang pagi, sedangkan kau belum menyelesaikan permintaanku dan artinya aku tidak bisa menerima pinanganmu."
"Roro Jonggrang." Amarah Bandung meluap, "Akan ku jadikan kau sebagai candi yang ke seribu."
***Latihan pun usai, waktunya mereka untuk beristirahat sebentar sebelum diadakan evaluasi mengenai latihan hari ini. Terlihat Lea duduk di lantai menyandarkan diri pada dinding, ia meneguk air dari botolnya yang tinggal sedikit, rasanya ia masih haus. Seorang siswa mendekati dirinya lalu menyerahkan sebotol air mineral. Bukannya langsung menerima, ia justru terdiam melihat air tersebut dengan tatapan sangsi.
"Tenang aja kali, Gue ga masukin obat bius di air ini." Ucap Dikta.
Lea meraih air itu dan meminumnya.
"Sok sok an mau nolak, padahal aslinya kehausan." Ujar Dikta.
Lea yang mendengar sindiran Dikta pun berkata, "Makasih."
"Tumben inget bilang makasih." Respon Dikta berniat bercanda, namun yang dibercandai malah jadi sewot.
"Mau Lo apa sih? Gue ga bilang makasih salah, Gue bilang makasih juga masih salah, salah terus Gue di mata Lo, kayaknya ujaran perempuan tidak pernah salah gak berlaku di hidup Gue gara-gara Lo." Cerocos Lea, "Nih Gue balikin kalo Lo ga ikhlas." Sambungnya lalu meninggalkan Dikta.
Dikta yang menerima botol air dari Lea pun merasa gemas karena amarah Lea, "Aneh bener ya tu anak, udah diminum dikembaliin pakai dibilang ga ikhlas lagi. Gue baik salah, Gue jahat makin salah jadinya."
***Sore ini langit kembali mendung, namun tak kunjung hujan. Dikta duduk di ruang keluarga rumahnya memandangi layar laptop, tak ada kegiatan yang lebih berarti saat ini.
"Dikta makan dulu yuk nak." Panggil sang mama.
"Iya ma." Respon Dikta, lalu ia menutup layar laptopnya dan menghampiri mamanya yang telah menuju ke meja makan.
Dikta dan mamanya menikmati makan malam hanya berdua karena sang papa hari ini lembur.
"Gimana sekolahnya tadi?" Tanya wanita yang masih terlihat cantik diusianya yang menginjak empat puluhan itu pada anak laki-lakinya.
"Baik kok ma, lancar." Jawab anaknya.
"Syukur, jangan nakal nakal lagi pokoknya, mama ga mau kalau harus dipanggil BK lagi." Respon sang mama sambil sedikit tertawa.
"Iya ma, iya, Dikta udah tobat." Ujar anaknya.
Itu sedikit percakapan makan malam antara Ibu dan anak itu, sisanya mereka hanya mengobrol seperti biasanya.
***Lea duduk di ruang tamu sembari membaca sebuah novel. 'tok tok tok' Suara ketukan pintu itu sedikit mengusik ketenangan Lea. Ia beranjak dari singgasananya untuk membukakan pintu. Ketika pintu mulai terbuka, tampaklah seorang wanita yang sangat ia kenali namun cukup enggan ia temui. Wanita itu tersenyum lebar pada Lea, dibalik tubuh sang wanita, berdiri seorang pria yang mana jika bertatap mata padanya pun enggan untuk dilakukan Lea. Itu mama Lea dan ayah tirinya.
"Oma ada tamu." Teriak Gadis itu yang masih memegang handel pintu. "Silahkan masuk." Sambungnya.
Oma pun keluar menghampiri Lea yang tadinya berteriak. Melihat siapa yang datang oma pun tersenyum ramah tanda selamat datang. Yang mendapat senyum pun langsung bersalaman dengan oma.
Mama Lea, Saras memeluk oma yang notabene adalah ibunya, saling melepas rasa rindu. Namun tidak dengan Lea, justru ia meninggalkan mereka dan memilih pergi ke kamar untuk mengurung diri.
"Lea..." Panggil Saras namun tak diindahkan Lea, ia tetap melangkah kaki menuju kamar.
Oma yang tau hal itu pun menguatkan hati Saras, "Sudah, biarkan saja dulu. Biarkan waktu yang membuka hatinya." Kemudian oma mengajak mereka duduk.
---Setibanya di kamar, Lea langsung menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya. Ia berjalan gontai menuju arah jendela tempat yang sering ia gunakan untuk membaca buku, merenung, dan menikmati rintik hujan.
Ia duduk memeluk kedua kakinya, menatap kaca jendela, pikirannya melayang entah kemana. Tak terasa setetes air bening jatuh dari pelupuk mata mengalir melalui pipinya.
***Trada.... Balik lagi nih Lea nya...
Ini part yang cukup pendek dari part-part sebelumnya, bingung juga sih mau nulis apa, haha 😂
Oke next ke part selanjutnya yaaa
Jangan lupa vote nya, silahkan komen-komen, kritik saran juga ditunggu nih 😂

KAMU SEDANG MEMBACA
ELEANOR
Fiksi Remaja"Kian merdu suara rindu, mendayu merasuk dalam kalbu, memecah sendu menjadi pilu, merubah halu menjadi candu, meski tau akhirnya tak tertuju" Eleanor Aldebaran. "Mengapa harus menghindar untuk saling melupakan, tak usah bersapa layaknya orang tak ke...