[last chapter!]
---
"Cukup! Menjauhlah dariku!"
Aku mendorong lelaki itu cukup keras hingga Ia tersungkur dan menatapku dengan tatapan memelas yang sinis.
"Nadine.. Hshh.. Jangan berbuat seperti itu."
Aku menggeleng dan menjauhi dirinya. Sebuah permukaan tajam dan dingin menempel pada kulitku. Tanganku bergemetar hebat dan keringat dingin mulai bercucuran dari pelipisku. Lelaki itu terus menggerakan mulutnya yang seakan-akan melarangku untuk berbuat yang tidak seharusnya aku lakukan.
Ya, aku menyakiti diriku sendiri.
Seorang Nadine mencoba melakukan sebuah percobaan bunuh diri.
Bukan, maksudku aku benar-benar ingin bunuh diri.
"Seharusnya kisah ini berakhir bahagia, Zayn! Seharusnya tidak seperti ini. Mengapa tiba-tiba kau muncul di dalam kehidupanku, Zayn? Mengapa?!"
Zayn mendekatiku dan memegang tanganku lembut, namun apa daya aku malah menepisnya kasar. Perasaan ini sudah tak dapat dipermainkan lagi. Aku benar-benar ingin membongkar semua kebohongan ini. Aku benar-benar bodoh. Aku bodoh.
"Nadine, jangan menangis," bisik Zayn.
Pandanganku buram dan tak dapat melihat wajahnya jelas. Ia seperti sedang menyeringai jahat kepadaku.
"Apa maksudmu datang ke kehidupanku, Zayn?" Suaraku benar-benar parau. Pikiranku kacau. Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan dari mulutku saat ini.
"Aku hanya ingin kita berteman, Nadine. Percayalah."
"Berteman? Teman macam apa yang senang menyakiti perasaan temannya sendiri?" tanyaku sambil terkekeh pelan. "Kau pikir aku bodoh?"
Dengan kasar Zayn menampar pipiku keras tanpa belas kasihan. Ku tatap matanya yang penuh kebingungan dan amarah. Ia terjatuh di depanku sambil menyerengitkan dahinya.
"Mengapa, Nadine?" Ia terhenti sejenak ketika Ia tersedak oleh amarahnya sendiri. "Mengapa kau sangat membenciku?"
Aku terdiam dan mulai menitikkan air mata. "Karena.. Karena aku tak bisa, Zayn. Aku tak bisa."
Ia mendekatkan tubuhnya agar bisa mendekapku dalam kehangatan hatinya. Kemudian Ia berbisik, "Aku mengerti perasaanmu. Maafkan aku karena aku telah menguntitmu selama ini."
Menguntit?
[] [] []
"Nn, Tn. Horan sudah siuman. Sekarang anda sudah bisa menjenguknya."
Aku segera bangkit dari tempat dudukku dan menghampiri ambang pintu. Ku lihat sesosok yang selama ini telah menghiasi hari-hariku sedang tersenyum menatapku dengan mata teduhnya yang penuh kehangatan.
"Hai," sapa Niall.
Aku tersenyum dan segera melangkah mendekatinya. "Hai, Tn. Horan." Aku mencium keningnya dan memeluknya hangat. "Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?"
"Udah kok, kalau kamu gimana kabarnya? Sehat?"
Aku terkekeh. "Sehat dong kan biar bisa ngejagain kamu."
Niall tersenyum pucat dan mencoba untuk duduk. Sontak aku langsung menahannya dan menyuruhnya untuk berbaring kembali.
"Kau masih sangat lemah."
Ia menggeleng. "Aku tidak pernah lemah. Aku kuat."
"Niall, percayalah. Kau belum mampu untuk du–"
Niall menggenggam tanganku dan tersenyum manis. "Ayolah, bantu aku."
"Baiklah." Aku memegang punggung dan tangannya yang sedingin es. Ku lihat matanya yang sedang menatapku dengan seulas senyuman penuh kerinduan di bibirnya. "Mengapa kau menatapku seperti itu?"
Ia terkikik pelan. "Aku merindukan Nadine yang menyayangiku seutuhnya."
"Memangnya akhir-akhir ini aku berubah?"
Niall mengangguk pelan. "Semenjak kau bertemu dengan Zayn, kau berubah. Ia benar-benar merubah dirimu."
"Berbicara tentangnya, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu."
"Bertanya apa?"
"Hmm, jadi begini.." Aku mengambil posisi nyaman di samping ranjangnya. "Buku itu benar-benar tulisan tanganmu?"
Niall mengangguk lemas. "Ya."
"Lalu bagaimana dengan semua bingkisan yang kau berikan kepadaku? Apakah itu pemberianmu juga?"
Ia terdiam dan memandang lurus ke depan. "Aku tak pernah memberikan bingkisan kepadamu selain buku itu."
Aku menyerengitkan dahiku. "Kau yakin? Kau tidak melupakan sesuatu?"
"Tidak. Aku yakin."
Aku menggangguk pelan sambil menggigit bibir bawahku. "Jadi sebenarnya kau tidak mencintaiku? Aku benar-benar tidak mengerti."
"Aku mencintaimu, Nadine. Aku benar-benar mencintaimu. Memangnya kau tidak mempercayaiku? Apa lagi yang harus aku lakukan agar kau bisa mempercayaiku lagi? Nadine, percayalah, Nad–"
Aku terdiam ketika melihat hal yang menakutkan di hadapan mataku. "Niall!"
"Nadine, aku benar-benar tidak mengerti. Apakah kau mencintai Zayn bukannya aku? Aku.. Aku benar-benar tidak menger–"
"NIALL!!!!!!!"
Tanganku langsung menangkap tubuhnya yang terjatuh dengan darah segar yang terus mengalir dari hidungnya.
"Niall, bertahanlah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sweetest Thing // horan
FanfictionNadine mendapatkan sebuah bingkisan misterius yang tidak jelas pengirimnya, tetapi semuanya ternyata tidak berakhir sampai situ. Pengirim misterius itu mengirimkan sebuah buku tebal yang berisi tentang tulisan-tulisan yang membuatnya terus menerus m...