Orang tua Niall mengkhawatirkanku karena aku tak datang ke pemakaman anaknya setahun yang lalu itu. Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah menatap hujan yang teus menerus turun membasahi hatiku.
Niall bukanlah sekadar sahabat atau kekasih, tapi Ia sudah ku anggap sebagai kakak kandungku sendiri. Melihatnya terbujur kaku di bawah selimut putih itu membuatku ingin menangis kembali.
"Niall! Bangunlah!"
Aku bisa melihat semuanya menjadi gelap. Nafas Niall sudah tak beraturan. Darah terus berceceran dari hidungnya hingga akhirnya semua itu terhenti begitu saja ketika Ia menghebuskan nafas terakhirnya.
Awalnya aku hanya mengira bahwa itu hanya main-main namun aku tersadar ketika para suster mulai mencabuti alat bantu hidupnya dan menutupinya dengan kain putih itu.
"Ni.. Niall!!" Aku segera membuka pintu ruangan itu dan menghampirinya. Ku guncangkan tubuhnya dan berteriak keras agar Ia bisa mendengarku. Oh, Niall sungguh, bangunlah!
Mungkin sekarang di surga Niall sedang mengutukku karena aku tak hadir di acaranya yang terakhir. Aku hanya tidak bisa melihatnya berbalut jas dan sekuntum bunga di dalam peti itu, seharusnya Ia berpakaian seperti itu saat berdampingan denganku di atas lumbung untuk mengucapkan janji sehidup semati. Kini aku menyesal karena tak pernah bisa membahagiakannya selama sisa hidupnya.
Sosok itu, Zayn, pun menghilang dari hadapanku. Ia dikabarkan kembali lagi ke negara asalnya. Bukankah itu aneh? Ataukah Ia kabur dari negaraku karena takut tertangkap polisi karena kasus pembunuhannya kepada Niall? Ah. Aku benar-benar sedang tidak bisa berpikir jernih.
PRANK!
Bingkai itu pecah dihadapanku dengan sendirinya. Bingkai yang di dalamnya terdapat fotoku dan foto Niall. Mungkin Niall benar-benar sedang marah kepadaku.
Namun Ia hanya menjawab dengan ulasan senyum beserta air mata. Mukanya yang tenang membuatku ingin menjerit sekencang-kencangnya. Ini benar-benar tidak bisa dimengerti.
"Niall! Bangunlah! Aku yakin kau mendengarku!"
"Maaf, Nn. Tapi Tn. Horan sudah pergi. Maafkan kami."
Aku menoleh ke arah dokter yang telah menangani Niall dan menatapnya dengan tatapan benci. "Mengapa kau membunuh temanku?!!!!!!!!"
Hanya kenangan itu yang bisa aku ingat hingga akhirnya aku disuntik oleh obat penenang.
[][][]
Kini aku sedang berdiri di depan tempat peristirahatannya yang terakhir. Terpampang dengan jelas nisan yang mengukir namanya dengan abadi.
"Hai, Niall."
Aku menaruh setangkai bunga mawar di atas rerumputan hijau yang meneduhinya di dalam tidur nyenyaknya. Perlahan-lahan ku usapkan nisan itu dengan lembut sambil berbisik, "Maafkan aku karena aku baru datang kemari. Aku baru sempat untuk menghapus semua luka yang tertancap di dalam hatiku."
"Apakah kau merindukanku?" Aku terkekeh pelan dan berkata, "Aku juga merindukanmu."
Tiba-tiba sebuah tangan besar menepuk pundakku. Sontak aku terkejut dan langsung menoleh ke arah sosok tersebut.
"Zayn? Sedang apa kau di sini?"
Zayn tersenyum manis dan duduk di sampingku. "Kebetulan aku sedang melewati jalan ini. Bisakah kita berbicara sebentar? Tapi tidak di sini, aku takut Niall mendengarnya."
Aku terkekeh pelan. "Ia tidak akan mendengarnya, Zayn, tapi baiklah." Aku segera mengecup nisan itu dan berkata, "Selamat tinggal, Niall. Ku harap kau bahagia tanpa kehadiranku."
Pun aku segera beranjak dan mengikuti Zayn.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sweetest Thing // horan
FanfictionNadine mendapatkan sebuah bingkisan misterius yang tidak jelas pengirimnya, tetapi semuanya ternyata tidak berakhir sampai situ. Pengirim misterius itu mengirimkan sebuah buku tebal yang berisi tentang tulisan-tulisan yang membuatnya terus menerus m...