Part 2

18.2K 374 7
                                    

"Kamu mau apa? Jangan di kantor, nanti ketahuan." ucapku membuatnya terkekeh.

"Kenapa, ada yang lucu?" Tanyaku lagi.

"Aku mau ambil ini." Lalu dia mengambil berkas yang ada di mejanya. Shit! Wajahku memerah malu!

.
.
.
Aku keluar ruangannya dengan menghentakkan kaki karena kesal. Lagi adegan romantis, tiba-tiba istrinya menelepon. Kesal kan. Ya bagiku sih mengesalkan. Tapi yasudah lah, aku mah tau diri aja dan mending keluar saja dari pada aku terbakar api cemburu. Ingin rasanya aku teriak.. jangan teleponan di depanku!!! jangan memuji kebaikan istrimu di depanku!!! Tapi tetap saja, menjadi yang kedua juga harus tau diri. Toh.. aku cuma sandaran serep ketika dia bosan dengan yang di rumah. Auk ah. Bikin pening aja. Tapi kok aku mau? Ya gimana ya.. dia itu bisa mencukupi kebutuhan ku. Kenapa gak minta jadi istri kedua daripada menebar dosa?
Sebab.. aku sudah berjanji pada diriku, bahwa aku takkan merusak lebih dari sekedar simpanan semata dan takkan jua menikah dengan pria beristri. Kasihan status gadis ku harus rusak hanya karena suami orang. Apalagi kalau diminta untuk jadi madunya, nggak deh. Lebih baik mundur. Karena aku tau rasanya jika jadi istrinya. Pasti sakit hatinya. Ya, aku sebagai wanita cukup tau dan mengerti perasaannya.
Jadi masih pantaskah mereka menyebutku pelakor?

Tiba-tiba handphone ku berdering,
Vio is calling
Aku buru-buru mengangkatnya.

"Halo, Vi. Ada apa?"

"Kemana aja woy gak ada kabar?"

"Semedi." Lalu aku terkekeh.

Violita adalah temanku semasa SMA yang kini jadi sahabat karib dan sama-sama menetap di Jakarta. Kami sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Aku yang sibuk kerja sambil kuliah, dia yang sibuk kuliah sambil berbisnis.

"Udah ada hasilnya belum semedinya?" Pertanyaannya sungguh konyol. Dia memang suka sekali menanggapi kekonyolan ku maka dari itu kami merasa cocok hingga bisa bersahabat.

"Udah dong. Gue dapet bapak anak satu." Lalu aku terkikik.
Sedangkan Vio malah tertawa. Bukan lagi teman yg sok jaim. Soal aib, dia paling aman menyimpan rahasia.

"Hahaha, gak sekalian tuh akik-akik lo sikat."
Ledeknya.

"Sikat WC kali ah." Aku pun tertawa Vio pun juga tertawa. Kami bercerita dan haha hihi hingga aku lupa kerjaanku masih menumpuk.

Belum sempat aku tutup telepon Vio, orang yang dibicarakan pun datang.
"Enak banget ya, bukannya kerja malah teleponan." Ucap Dani dengan tegas. Aku tau, dia hanya pura-pura.

"Maaf pak." Aku memutuskan sambungan telepon Vio begitu saja. Lalu menunduk dan mulai mengerekap data di file kerjaku.

Pak Dani masih berdiri di hadapan ku seraya melipat kedua tangannya kedada.
"Saya mau, berkas meeting untuk besok harus selesai sekarang!"

Sontak aku terkejut dong. Dia membentakku. Aku menatapnya dan mengernyit. Pura pura apa beneran? Mencoba mencari jawaban eh dia malah melototiku. Ku lihat para karyawan lainnya mulai bisik-bisik tetangga dan menatapku aneh. Entah apa yang mereka bicarakan. Suka sekali bisik-bisik.
Dani berjalan lebih dekat ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya,
"Nanti pulang bareng aku ya." Bisiknya. Sial. Dia hanya akting marah di depan karyawannya.
Aku ingin menjawab tapi keburu Satria datang.

"Pak, ada berkas yang harus ditandatangani." Ucap Satria. Dani hanya mengiyakan. Sebelum berjalan pergi, dia melemparkan senyumnya padaku. Menyebalkan sekali sih. Bikin orang jantungan mulu. Untung lagi jadi bos, kalau di luar ku tabok bener tuh. Tapi gak mungkin juga deh :v

***

Kami sedang di perjalanan pulang. Dani memutar lagu yang sering aku putar disaat jam kerja. Berarti dia emang sering merhatiin aku ya? Sebelum kami memutuskan berhubungan diam-diam, dia sudah lebih tau apapun makanan kesukaanku, lagu kesukaanku bahkan dia yang selalu diam-diam memberikan perhatian meski hanya membeli makanan kesukaanku lewat go food. Itu pun jauh sebelum aku ngesir sama dia. Awalnya ya sekedar seperti bawahan dan atasan saja. Tidak ada ajakan jalan bareng atau apapun yang sekarang ia lakukan padaku.

PRIA BERISTRI (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang