01-Nama di Penghujung Tahun

2.6K 117 88
                                    

Melani menangis tersedu-sedu di tempat tidur. Baru sepekan melahirkan anak kedua. Belum juga kering luka jahitan akibat persalinan, sang suami diam-diam sudah menikah lagi dengan salah satu rekan kerjanya.

Tania mengumpat. Bukan lagi karena kabar pernikahan diam-diam suami sahabatnya yang menyambangi telinga, melainkan di saat seperti ini, Melani masih saja membela pria itu.

"Dia imam yang baik," adu Melani di sela tangis. Sesekali ia menyeka ingus menggunakan tisu─yang entah sudah habis berapa bungkus hari ini.

Satu hal pasti, keranjang sampah di bawah tempat tidur tak lagi mampu menampung tisu bekas tangisnya.

"Baik, lo bilang?" Tania bersungut hingga mengeluarkan sepasang tanduk tak kasat mata dari kepalanya. "Ya ampun, Mel. Serius deh lo udah dikhianati begini masih aja muji dia baik? Gue dengerin cerita lo aja, rasanya pengen meledak."

"Dia bilang, agama membolehkan poligami. Daripada zina, ‘kan, kamu tahu sendiri aku juga nggak bisa melayani dia sejak hamil kedua karena dokter bilang, kandunganku lemah. Aku sih, tetap sakit hati. Tapi dia bilang, bakal ceraikan aku kalau maksa dia buat pisah dari istri sirinya."

"Ya udah sih, cerai aja daripada lo ngenes. Mau ngabisin tisu berapa pabrik lo kalau tiap hari nangis gini?"

"Aku nggak bisa cerai karena anak-anakku butuh ayah dan nafkah. Apalagi sekarang aku baru aja lahiran. Enggak mungkin, ‘kan, aku langsung kerja buat menghidupi kami. Nanti siapa yang urus mereka kalau aku kerja?"

"Ish ... ya udah sih terserah lo aja. Tapi nih ya, kalau gue jadi lo, asli gue bakal langsung minta cerai dari dia. Enggak cuma cerai, gue juga bakal cari dukun paling sakti buat kirim santet ke dia sama istri mudanya biar ambyar. Atau apa aja deh asal mereka bisa ngerasain sakit yang gue rasain."

Tania makin kalap, mondar-mandir di sekitar tempat tidur seumpama seorang ibu yang baru saja mendengar kabar putrinya telah disakiti oleh pria yang dia percaya untuk menjaganya.

"Lagian, lo juga sih keblingernya kebangetan sama surga. Coba dulu lo nggak kepincut Deny cuma gara-gara dengerin tausiah dia di musala waktu kita ospek. Enggak bakal gini nasib lo sekarang."

"Ya kenapa kamu jadi nyalahin aku lagi, sih, Tan? Di kampus kita tuh, cuma kamu aja cewek bar-bar yang nggak tertarik sama Deny. Semua temen kita suka dia karena dia santun dan pengetahuan agamanya dalam. Sampai Papa aku aja ngasih restu karena dia bilang masa depan dunia akhiratku bakal terjamin kalau nikah sama Deny."

"Ya ... ya ... ya ..., masa depan dunia akhirat lo udah dijamin sama cowok yang nggak punya hati nurani kayak dia. Dijamin ngenes maksudnya."

"Tania...."

"Ah, terserah lo lah. Tensi gue naik lama-lama dengerin curhatan lo yang ketahuan nggak akan berujung ini. Intinya, lo tetep nggak mau pisah sama dia dan milih lanjutin hidup dengan hati ngenes karena mertahanin dia, ‘kan? So, gue no comment lagi. Enggak sanggup meski hanya lo suruh jadi pendengar. Gue cabut."

Tania mengambil tasnya yang tergeletak di kursi dan berjalan keluar tanpa mengindahkan panggilan Melani yang memohonnya tetap tinggal.

Satu lagi tambahan alasan bagi Tania untuk tidak menikahi lelaki yang tampak alim dan paham agama dari luarnya saja, dan semakin yakin kalau Marvel Alexis memang calon jodoh terbaiknya.

Masalahnya sekarang, Tania hidup di tengah keluarga yang masih memberikan eksplanasi berlebihan kepada individu yang tampak agamis, pun orang-orang berlatar belakang pendidikan pesantren sehingga restu orang tua untuk melanjutkan hubungan ke pelaminan bersama Marvel tak kunjung dia kantongi.

Entah kurang cukup bukti apa lagi bagi orang tua Tania. Kedua kakak perempuan Tania telah lebih dulu menikahi pria-pria "berlatar agama" dan tidak satu pun berjalan mulus. Tia dengan dosen agamanya dan Talia dengan putra seorang tokoh agama terpandang asal Kota Bandung. Mereka tidaklah sebahagia yang terlihat oleh dunia.

Kenzo Arashi (Kebohongan Seorang Istri) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang