Ibu-ibu komplek dan tukang sayur

54 8 4
                                    


Pada dasarnya hari minggu itu sesuatu yang selalu didamba-damba oleh segenap umat manusia, mungkin. Karena menurut survey yang author comot entah dari mana, ternyata ada beberapa makhluk yang sepertinya agak menghela nafas berat ketika bertemu dengan hari ini, salah satu contohnya adalah gadis-gadis yang belum menemukan pasangan hidupnya.

Setiap hari weekend biasanya anak gadis selalu bertransformasi menjadi asisten rumah tangga dadakan, tidak terkecuali dengan Ica. Ya walaupun secara teknis setiap hari dia merasa seperti asisten rumah tangga sungguhan.

Mulai dari mencuci baju yang kebanyakan adalah baju Ghani, membereskan rumah yang entah kenapa mendadak berantakan padahal rumah itu hanya dihuni oleh dua orang, dan terakhir memenuhi kebutuhan pangan dalam artian memasak yang entah kenapa-lagi-tiba-tiba Ghani meminta menu masakan yang beragam. Sedikit aneh memang, padahal Ghani biasanya tidak masalah hanya makan dengan kerupuk bundar featuring kecap saja, oh dan jangan lupakan cabe rawit tiga biji kebanggaannya.

Sejenak Ica merasakan energi negatif dari kakaknya. Jangan-jangan Ghani sedang melakukan balas dendam atas insiden beberapa hari yang lalu mengenai kasus pemerasaan yang dilakukannya.

Baru saja Ica menghembuskan nafas lega setelah menjemur baju di halaman belakang, sekarang dirinya harus menghembuskan nafas lagi ketika kakaknya datang menghampiri dengan boxer pendeknya juga rambut acak-acakan. Untung yang melihat penampakan itu adiknya sendiri. Entah, jika gadis lain yang melihat.

"Dek, kepasar sana aa lagi pengen makan enak" titahnya dengan masih memasang muka bantal.

"Ngapain cape-cape ke pasar? Mending nunggu mang Didin lewat  aja" jawab Ica tanpa menoleh ke arah Ghani selagi menenteng keranjang cucian yang akan ia simpan ditempatnya semula.

Mang didin itu tukang sayur yang biasa keliling disekitaran citra garden.

"Kalo kepasar pilihannya banyak. Sekalian edukasi buat bekal kalo kamu nikah nanti"

Ica mendecih mendengar wejangan hidup dari kakaknya. So bijak sekali.

"Di mang Didin juga banyak pilihan tuan muda. Sambil sekalian sosialisasi dengan tetangga. Mempererat tali silaturahmi juga biar dapet pahala"

"Palingan pahalanya kelelep sama gibahan gak berguna"

Ghani masuk kembali kedalam rumah, meninggalkan Ica yang sedang komat kamit merapalkan umpatan pada lelaki itu.

Sayuuuuur!

Bu ibu, teteh-teteh, neng-eneng sayuuuuuuur!

Suara valseto mang Didin sudah menggema seperti alarm khusus dipagi hari. Sudah bisa dipastikan, sekarang Ibu-ibu sejati akan berbondong-bondong menghampiri mang Didin yang biasa mangkal dengan senyum lima jari andalannya.

Dan benar saja, pria paruh baya itu tengah tersenyum ramah melayani para pelanggannya.

Ica tersenyum manis ketika dirinya mulai bergabung dalam kerumunan. Semua yang ada disana atau mungkin sekitar tujuh ibu-ibu beserta mang Didin mengalihkan tatapannya pada Ica tidak lupa dengan membalas senyuman gadis itu.

"Eeeh si eneng baru keliatan. Kamana wae atuh neng?" (kemana saja neng?)

"Ada aja mang. Baru beres jemur"

"Euleuh meni rajin. Sok atuh mau beli apa?"

"Ica mau ikan kembung, ayamnya setengah kilo sama bumbu ungkep nya ada mang?"

"Ada dong. Boleh sok mangga"

Gadis itu mengambil apa yang mang Didin serahkan. Belum dua detik terlewat, salah satu dari mereka bersuara untuk memulai sesi pergibahan.

ADORABLE SIBLINGS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang