Dark That Brings Together

5.3K 501 23
                                    

Jeon Jungkook, pria berusia 22 tahun yang hidupnya tidak pernah terarah sama sekali. Selalu sempoyongan, penuh kebimbangan tak menentu. Sebutan akan dirinya yang amat tidak berguna. Jungkook kerapkali menyamakan kedudukannya dengan seonggok sampah busuk di tepi pertokoan ikan laut.

Selinting rokok yang baru saja diisap menyemburkan asap tebal melalui belah bibir pucatnya. Mengudara lepas dalam bentuk abstrak. Jungkook memandangi kepulannya hingga lenyap dari pandangan. Mengetuk seperempat batang rokok yang tersisa dalam apitan jemari. Membuang abunya pada permukaan aspal.

Lantas ia menarik nafas panjang. Atensinya tidak pernah lepas dari satu titik pusat perhatian setengah jam yang lalu. Deru mesin bersahutan pada malam hari, pun keramaian yang tidak pernah pudar sama sekali.

"Fuck."

Gumaman penuh nada lirih itu terlontar dinamis dari mulutnya. Menyeringai tipis sejemang sebelum membalikkan badan. Melangkahkan tungkai menuruni gedung yang ia pijaki. Tak terpakai dan tak pernah dilirik, bernasib sama dengan entitasnya yang semu.

Berniat pulang. Tapi sekali lagi, dimana tempat yang siap untuk menyambut kepulangannya yang tidak berarti?

Jungkook sudah terbiasa hidup sendiri. Menyendiri tiada arti. Hanya dengan sekali tiupan angin ia pergi.

Bunyi gemericik bergesekan diantara langkahnya yang beradu dengan aspal. Mengabaikan suhu rendah yang menusuk tulang-belulang. Apatis pada telapak kaki yang bahkan terasa kebas.

Beberapa kali berpapasan dengan orang-orang yang mendelik menatap kehadirannya, Jungkook lantas balas menyorot tajam. Memberi tekanan absolut pada sang lawan ditengah jalan yang temaram. Lampu jalanan sebagai pengiring langkahnya tanpa tujuan.

Tungkainya berbelok pada persimpangan, memasuki area yang lengang. Seolah tidak takut tenggelam pada kegelapan, Jungkook tiada pias pada irama pijakan. Bertahan di setiap ketukan. Kali ini suasana lebih mencekam. Hanya Jungkook seorang, layaknya garis takdirnya memang tetap penuh kesendirian.

Selang sepersekian detik berikutnya, di saat tubuh kekar Jungkook mulai menghilang dari ujung masuk persimpangan yang terlewat, langkahnya total membeku. Jungkook jelas tidak tuli, pun tidak buta. Kendati banyak kekurangan yang didapati, Jungkook adalah Jungkook. Memiliki tingkat kepekaan begitu tinggi dengan lingkungan yang ia tempati.

Lantas bergerak perlahan menuju sumber suara yang menjeda langkahnya secara paksa. Meringsek pelan, mencoba mengendap demi meredam bunyi yang ditimbulkan. Mempertajam penglihatan, lekas kernyitan pada keningnya timbul manakala siluet samar menjadi pusat pemandangan.

Mungil, dan ... sendirian di bawah sinar rembulan.

Mendekat perlahan demi mengikis jarak yang tersisa, Jungkook meringis. Menyadari betapa mirisnya subjek yang tengah dilihat.

"Hei," Jungkook buka suara rendah. Bertepatan dengan asap yang menyembur lepas dari dalam mulutnya. Menyentuh ragu bahu mungil itu yang masih tetap bertahan dalam tangisnya. "Hei, apa yang kau lakukan malam—"

Telapak tangan yang semula menutup wajah demi meredam tangisnya kini terbuka. Manik cokelat terang itu berkaca-kaca ketika Jungkook meniliknya.

"Paman sendiri ... " Suara serak menguar lepas bersama kerutan kebingungan yang tercipta di dahi. "Paman sendiri? Apa yang Paman lakukan di sini?"

Jungkook mengerjap-ngerjap mata. Memproses frasa yang baru saja didengarnya.

Paman?

Apakah aku setua itu?

Menyipitkan sepasang matanya, Jungkook lantas berujar, "Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan anak kecil." Menjeda demi membasahi bibir bawahnya yang kering, "Keberadaanmu yang patut dipertanyakan daripada keberadaan pria dewasa sepertiku." Jungkook menunjuk dirinya sendiri mutlak. "Kau anak kecil, apalagi seorang gadis. Berdiri sendirian di depan toko yang tutup pada pertengahan malam hari ini. Apalagi suhu sekarang terbilang cukup rendah. Apa Mama dan Papa mu—"

"Aku tidak punya Mama dan Papa, Paman."

Kalimat Jungkook terpotong oleh selaan yang baru saja diucapkan secara cepat oleh gadis kecil itu. Bibir yang semula terbuka terkatup lagi. Merasa bersalah, lantas Jungkook meneguk ludahnya paksa dan mengalihkan pandangan.

"Aku tidak punya mereka, aku tidak punya orang tua, aku tidak punya siapa-siapa." Nada itu melantun dan terdengar sedih.

"Tidak mungkin," tukas Jungkook cepat disertai gelengan kepala. "Bagaimana mungkin kau tidak punya orangtua? Lalu bagaimana caranya kau lahir?"

"Jika aku punya orangtua, seharusnya aku sekarang bersama mereka," mata bulat kecoklatan itu mendongak menatap presensi Jungkook. "Bukan sendirian disini menangis, dan meringkuk seperti tikus yang terjebak dengan kucing."

"Pengibaratan yang bagus," seolah tidak percaya, Jungkook berujar ketus. "Tapi kau punya rumah, bukan? Ayo, kuantarkan. Berbahaya sekali—"

"Paman gila? Sudah kubilang aku tidak punya apapun."

What?

Sempat emosi mendengar kalimat yang baru saja didengarnya, lantas Jungkook menarik nafas panjang. Menekan emosinya perlahan-lahan agar tidak melempar gadis kecil dihadapannya sekarang.

"Aku melarikan diri dari majikanku tempat bekerja. Dia sangat kejam, aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi dengannya."

Suara sang gadis menyentak lamunan Jungkook hingga ia memilih menyimak. Mendengar tutur kata pedih berikutnya.

"Mereka jika punya niat membunuhku, langsung saja bunuh. Tidak usah disiksa dengan menekan batin dan menyerang fisikku," mata gadis kecil itu kembali berkaca-kaca disusul dengan air mata yang keluar lepas. Ia menyekanya kasar, "Memang yang lemah akan selalu ditindas oleh yang kuat. Aku benci dunia."

Jungkook diam. Merasakan sayatan pada ulu hatinya. Kenangan buruk berputar lagi dalam ingatan. Dimana ia bernasib sama dengan si gadis kecil ini.

Ditindas, dibuang, dicampakkan, tidak dianggap.

"Kenapa dunia itu kejam, Paman?" Jungkook terlonjak pada pijakan saat pertanyaan itu mengambang memasuki pendengaran. Mengalihkan pandangan, Jungkook lantas menyimak lanjutan kata, "Kenapa dunia itu penuh dengan kekejaman dan ketidakadilan?"

Tepat setelah pertanyaan itu terlontar total, tangisan sang gadis terdengar lebih keras menyerupai raungan. Memecah keheningan malam, mengalahkan ribuan bunyi serangga yang bertugas.

Jungkook mendekat perlahan, sepasang lengannya bergerak begitu jarak tak bersisa. Merengkuh tubuh kecil yang rapuh itu ke dalam pelukan. Memberi usapan dan afeksi penguat. Ikut merasakan kesakitan dan kepedihan bersama-sama yang disalurkan. Tanpa terasa maniknya ikut memanas, menyadari bahwa ada kehidupan lain yang lebih menyiksa daripada kehidupannya sendiri.

"Jangan menangis," Jungkook bergumam pelan, amat pelan hingga nyaris tidak terdengar. Kemudian liquid itu mengalir tanpa bisa dihentikan. "Jangan menangis, jangan menangis. Sebab kita sama."

Memilih menenggelamkan dirinya yang lemah, dan Jungkook kalah pada takdirnya. Tangisan itu merembes, mengucur deras. Jungkook tidak merasakan ada kehidupan pedih melebihi kehidupannya.

"Jangan menangis," sekali lagi bibir itu bergumam menenangkan tangis sang gadis yang tak kunjung menampakkan reda. Mengusap punggung kecil penuh beban itu menenangkan.

Abai pada sahutan malam hari yang mencekam, mereka menangis bersama. Merutuki takdir dan nasib yang berujung sama.

-seagulltii
01 Februari 2020

Daesyn ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang