Jika tempat favorit Jungkook adalah gedung kosong tak terpakai untuk meratapi kesehariannya, maka lain dengan Jiyeon. Gadis itu akan memilih untuk melampiaskan segala beban hidupnya dengan berdiri di tepi pantai pada malam hari yang justru lebih dingin. Memiliki suhu rendah kelewat menusuk saraf-saraf. Tapi seolah terbiasa, Jiyeon bahkan tak menunjukkan reaksi bahwa ia kedinginan. Hanya diam dan menatap ke depan dengan wajah basahnya yang terlihat samar. Tertutup oleh gelapnya malam.
Sahutan ombak dengan angin yang semakin kencang memecah keheningan. Surai panjang Jiyeon beterbangan terhembus lepas. Pun bibirnya yang kian terlihat pucat.
Lantas Jiyeon mengulum bibir ke dalam, melipatnya guna membasahi sebab terasa kering. Pertikaian sebelumnya dengan Jungkook cukup melukai perasaannya.
Tangannya bergerak menyentuhi dada, tepat dimana letaknya jantung berada. Debarannya terdengar keras hingga saat ini. Tamparan yang Jungkook berikan sangat menyakiti batinnya. Rasa beku pada sekujur tubuh pun diabaikan lantaran mencari pelarian yang tepat untuk melampiaskan kesedihan.
Dan tepat pada detik berikutnya, semua mata Jiyeon berkaca-kaca kini telah mengeluarkan air mata lagi. Lekas ia menyeka kasar, menghapus lelehan bening itu.
Derap langkah kaki dari belakang terdengar, sontak Jiyeon terkesiap. Tidak berminat menoleh ke belakang, lantas ia hanya diam dan menatap ke depan. Berusaha apatis kendati bahaya menyerang. Sebab, Jiyeon meyakini hanya Jungkook yang datang.
Berdiri bersisian di samping tubuhnya. Jiyeon masih defensif untuk menghadap ke depan tanpa menilik siapa yang datang. Tidak peduli sebab kekesalan masih mendekam dalam dadanya. Putaran kejadian sebelumnya teringat lagi dalam benak dan amat membekas. Mungkin akan terasa sulit untuk dilupakan. Sebab, itu kali pertama Jungkook berlaku demikian. Pun sebaliknya. Bagi Jiyeon, mengatai Jungkook bedebah seperti tadi benar-benar di luar kendali tubuhnya.
Terdengar helaan nafas berat mengambangi rungunya kendati samar. Sebelum disusul suara berat Jungkook yang mengambang lepas, "Aku minta maaf."
Pria itu menunduk, menatap sepatu lusuhnya yang di selimuti pasir pantai. Lantas ringisannya menguar begitu mendapati pakaian yang Jiyeon kenakan tampak tipis untuk udara seperti sekarang. Berbanding terbalik dengan yang ia kenakan.
Tidak ada sahutan maupun balasan membuat Jungkook paham, bahwa Jiyeon belum ingin bicara.
Memainkan gerak kakinya sejemang, lantas Jungkook melipat bibir. Berkata selanjutnya, "Aku ... aku termakan emosi. Sampai-sampai aku kalap dengan diriku dan lepas kendali. Menyakitimu—" tangannya bergerak-gerak tidak menentu disela penjelasan yang dibuat. Sebelum teronggok lagi di sisi tubuh kekarnya. "Intinya, aku minta maaf, Jiyeon. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu," tutur Jungkook dengan aksen lirih.
Keduanya membiarkan deru angin malam mengisi jeda konversasi yang dibuat. Jiyeon belum kunjung membalas. Bertahan pada kebungkaman yang ia buat. Sesekali sesegukannya terdengar, membuktikan bahwa sebelumnya Jiyeon menangis hebat. Dan itu semakin menampar telak Jungkook dalam lubang bersalah yang ia ciptakan.
Hampir lebih dari tiga puluh menit kesenyapan menenggelamkan keduanya, sebelum suara lirih Jiyeon terdengar pelan bersahutan dengan deru ombak. Pun atensi Jungkook lekas terpusat pada gadis kecilnya.
"Aku juga minta maaf."
Adalah frasa ringan Jiyeon yang berbunyi serak dan singkat. Cukup membuat Jungkook mengerti bahwa keduanya sama-sama bersalah di sini. Lantas bibir Jungkook mengulas senyum asimetris nan teduh. Kendati Jiyeon mengucapkan kalimat itu tanpa menatapnya, setidaknya gadis kecilnya sudah menanggapi percakapan yang berlangsung.
"Aku juga termakan emosi sampai-sampai bicara kasar begitu," Jiyeon sesegukan lagi. Dengan sulit ia berucap, "Aku minta maaf."
Mengangguk paham, lantas tangan Jungkook terangkat untuk mengelus surai lembut gadis kecilnya. Dengan sebelah tangan lain yang masih bertahan berada dalam saku mantel yang dikenakan.
"Aku pikir ... kau akan senang dengan apa yang kuberikan," gerak tangan Jungkook mengelus surai Jiyeon terhenti lantaran suara serak itu menguar lagi. Lantas Jungkook memilih diam menyimak lanjutannya, "Aku pikir kau akan senang." Jiyeon mengulum bibir, kemudian menambahkan, "Kau mengatakan sangat ingin minum wine, jadi aku tidak punya pilihan lain dengan mencurinya agar bisa kuberikan untukmu lebih cepat. Ternyata apa yang kulakukan sangat salah. Maafkan aku."
Jungkook dibuat terdiam telak. Bukan. Bukan karena pengakuan Jiyeon yang cukup membuatnya terharu dengan apa yang gadis itu perbuat. Tapi tutur kata Jiyeon yang panjang untuk kali pertama gadis itu ucapkan sejemang membuat Jungkook membeku.
"Paman?" Suara lirih Jiyeon menyentakkan lamunannya. Ah, panggilan khusus yang Jiyeon buat untuk dirinya.
Jungkook lantas tersenyum hangat, "Aku sangat tersanjung dengan perhatianmu, Jiyeon. Tapi, aku berharap kau memberikanku minuman itu dengan cara yang benar." Menjeda sejenak, Jungkook menjilat sudut bibirnya. "Kau mengerti 'kan maksudku?"
Semula tatapan Jiyeon terpaku pada wajah Jungkook beralih lagi dengan menunduk. Anggukan pelan sebagai balasan dengan tutur kata singkatnya seperti biasa, "Aku mengerti."
Jungkook tersenyum lebih lebar, semakin memberikan afeksi tak terhingga melalui usapannya. Lantas menyadari pakaian tipis yang Jiyeon kenakan, tubuhnya mendekat. Membuka mantel tebal yang melapisi tubuhnya dan membawa Jiyeon bergabung. Bersatu bersama-sama dalam kehangatan.
"Jangan keluar malam hari dengan pakaian seperti itu. Apalagi ke tepi pantai malam hari seperti sekarang," Jungkook mengusap punggung gadis kecilnya dalam dekapan. "Kau bisa sakit."
Jiyeon terdiam di dalam pelukan tubuh kekar Jungkook. Lebih memilih mendengar degup jantung Jungkook dalam diam. Tidak kunjung membalas pelukan kendati Jungkook terlihat tulus dalam setiap tindakan.
"Ayo, kita pulang. Ini sudah hampir malam." Jungkook melepas pelukan, beralih merangkul Jiyeon mendekat.
"Paman sudah memaafkanku?" Jiyeon mendongak, kembali dengan ekspresi datarnya seperti biasa.
Jungkook mengulas senyuman teduh, balas mengangguk kemudian dengan berkata, "Tentu saja. Aku sudah memaafkanmu. Bagaimana dengan mu? Kau sudah memaafkan ku?" Sepasang alis Jungkook terangkat menanti jawaban.
Lekas Jiyeon membuang pandangan dan memutus tatapan mata yang terjalin sebelumnya. Hanya mengangguk pelan sebagai respon dengan manik menelisik ke jalan. Memerhatikan derap langkah kaki mereka untuk pulang.
"Terima kasih, Ji." Jungkook menukas lembut seiring memperkuat rangkulannya. Berbagi kehangatan bersama-sama di bawah gemerlap malam.
Perjalanan yang terbilang cukup hening tiada diisi dengan percakapan. Sibuk dengan isi kepala masing-masing. Jungkook dengan tatapan tajamnya ke depan, dan Jiyeon yang menatap datar hamparan jalanan tempat berpijak.
"Kurasa, aku akan ikut membantumu bekerja besok."
Suara itu mengambang menyentak Jungkook dalam keterdiamannya.
"Ya?" Jungkook menunduk ke samping. Melihat jelas gurat wajah datar Jiyeon.
Terdiam sejemang, lantas tatapannya terpaku ke depan. Membalas tanpa gencar dengan amat jelas, "Aku akan membantu mu bekerja, Paman."
-seagulltii
02 Februari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Daesyn ✓
FanfictionDibawah sinar rembulan pertengahan malam, di selimuti gemerlap malam tak berparas. Jeon Jungkook menemukan takdir pilu yang sama dengannya. Melebihi kadar keterpurukan yang ia punya. Dan akhir hidup yang berbeda. © 2020 proudofjjkabs Started : 01 F...