Part 5

9.2K 155 2
                                    

❤❤❤

Sekarang aku mulai menikmati keadaan di kampus, bahagia rasanya karena telah menemukan seorang teman yang sangat baik dan pengertian, namanya Reva. Dia duduk di sebelah kananku. Keramahan dan kelembutannya yang membuat diri ini ingin menjadikannya sebagai sahabat. Aku masih ingat awal perkenalan kami saat itu.

"Hai ...," sapanya kala itu dengan senyuman ramahnya.

"Hai juga," balasku sambil mengembangkan senyuman juga.

"Aku, Reva." Dia mengulurkan tangannya untuk menyalamiku.

"Aku, Bunga," balasku dan menerima jabatan tangannya.

Semenjak perkenalan itu, kami selalu bersama ke kantin, dan duduk di kala menunggu waktu mata kuliah dimulai.

Hari ini sebelum kelas dimulai, aku dan Reva pergi ke kantin bersama, kami ingin menyantap nasi goreng buatan ibu kantin. Aku harus sarapan di sana, karena tadi pagi tidak sempat makan di rumah.

Saat menikmati sarapan, tiba-tiba dua orang mahasiswa menghampiri tempat duduk kami, dan sepertinya aku mengenali salah satu dari mereka. Benar, ternyata setelah mereka semakin dekat, aku baru ingat kalau dia adalah Dika, seorang mahasiswa yang baru kukenal tadi pagi.

"Boleh gabung, nggak?" tanya Dika kepadaku.

"Silakan," jawabku. Kebetulan masih ada dua bangku yang masih kosong.

"Lagi sarapan, yah?" lanjut Dika.

"Iyalah, nggak lihat, nih, lagi ngunyah?" balasku dengan ketus.

"Lagi dapet, Neng, kok ketus banget jawabnya," protes Dika.

"Udah tahu juga lagi sarapan, masih nanya," jawabku dengan nada kesal.

"Maaf, deh. Oh, yah, aku sengaja nyamperin kamu ke sini. Tadi aku ke kelasmu, tapi salah satu dari temenmu bilang kalau kamu lagi di kantin."

"Nyamperin aku? Ada perlu apa?" tanyaku penasaran.

"Pengen lihat kamu." What? Pengakuan Dika membuatku merasa menggelitik.

Aku bisa bayangin bagaimana reaksi Mas Ezza kalau dia tahu ada lelaki lain yang ingin bertemu istrinya. Membayangkannya saja aku senyum-senyum sendiri.

"Kok, kamu senyum-senyum, Bunga? Aku seneng, deh, kalau kamu juga suka ketemu aku." Ini tipe lelaki baperan seperti Mas Ezza. OMG, kenapa aku harus dihadapkan dengan lelaki seperti mereka?

"Baper, deh. Aku lagi inget sesuatu yang lucu," jawabku dengan yakin.

"Yah, akunya udah seneng, ternyata senyuman itu untuk hal lain." Dika menunjukkan wajah kecewa.

"Udah, yah, kami mau masuk ke kelas, nih," ucapku, lalu berdiri untuk membayar sarapan yang aku nikmati bersama Reva.

"Pulang kuliah ada yang jemput, nggak? Kalau nggak ada, aku anterin pulang, yah. Boleh, nggak?" Aku semakin bingung dengan tingkah Dika.

"Sorry, yah, aku selalu diantar jemput setiap hari."

Orang yang antar jemput aku, yah, suamiku.

"Ooo ... yah, udah nggak apa-apa, next time kita ngobrol lagi, yah. Sampai ketemu."

"Bye," balasku, lalu keluar dari kantin.

❤❤❤

"Tadi belajar mata kuliah apa, Dek?" tanya Mas Ezza saat menjemputku di kampus.

"Tumben kamu pengen tahu aku belajar apa."

"Seorang suami harus tahu, dong, kegiatan istrinya."

"Nggak juga, masak semuanya harus tahu."

"Jadi nggak suka, nih, diperhatiin suami?"

"Itu namanya bukan perhatian, tapi posesif."

"Nggak apa-apa, biarin dibilang posesif. Wajar, dong, sama istri sendiri juga."

"Tapi aku nggak suka, Mas. Stop, aku mau beli rujak sebentar." Aku meminta Mas Ezza menghentikan mobil karena melihat pedagang rujak.

"Kamu mau makan rujak, Dek?" tanya Mas Ezza. Wajahnya tampak heran.

Aku tidak menghiraukan pertanyaannya, aku segera membuka pintu lalu turun membeli rujak. Dia menunggu sambil memperhatikanku dari balik jendela kaca mobil.

"Kamu ngidam, yah, Dek?" Pertanyaan itu langsung ditujukan setelah aku kembali memasuki mobil.

"Kamu apaan, sih, mas. Makan rujak harus ngidam, yah?" Aku merasa kesal.

"Aku juga heran, kok, bisa ngidam? Bikinnya kapan?" Mas Ezza senyum-senyum dengan ucapan yang diutarakan kepadaku.

"Kamu itu selalu nyebelin, yah." Aku mencubit pingganganya dengan sangat kuat.

"Ampun, Dek." Mas Ezza berusaha memegang tanganku, dan tanpa disengaja mata kami berpandangan sangat dekat, dan hidung juga hampir bersentuhan.

"Awas, Mas!" Aku tersadar dan mendorong tubuhnya.

"Maaf, Dek." Wajah Mas Ezza terlihat memerah melihatku.

❤❤❤

Minggu ini seperti biasa, Mas Ezza akan memberikan materi Akuntansi di kelasku, dengan gagahnya dia sudah berdiri di depan kelas untuk menjelaskan mata kuliah favorit kami berdua tersebut.

"Hari ini pembahasan materinya masih tentang aktiva. Aktiva lancar." Mas Ezza mulai mengajar.

"Aktiva lancar itu apa, Pak?" Lagi-lagi sepertinya Cindy berusaha ingin mendapatkan perhatian dari Mas Ezza.

"Aktiva Lancar merupakan aktiva yang diharapkan dapat dicairkan atau diuangkan tidak lebih dari satu tahun atau satu siklus akuntansi." Mas Ezza memberikan penjelasan.

"Contohnya apa, Pak?" tanya Cindy lagi, dadaku terasa sesak.

"Bunga!" Suara Mas Ezza tiba-tiba memanggil namaku.

"Iya, Pak," jawabku. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan.

"Sebutkan contoh aktiva lancar yang kamu ketahui!" Ternyata Mas Ezza memberiku pertanyaan.

"Kas, piutang, perlengkapan," jawabku dengan yakin.

"Bagus." Mas Ezza memberiku tepuk tangan.

Kenapa sih, Mas, kamu selalu nyebelin? Nggak hanya di rumah, tetapi di kampus tetap aja bikin kesel? Kalau ini di rumah, aku udah cubit itu pinggangmu sekuat tenaga.

"Dari kemarin, Bunga mulu, deh, yang ditanyain pak Ezza. Mentang-mentang dia cantik, yang lain nggak diperhatiin." Seperti biasa aku selalu mendengar gerutu mahasiswi di belakangku.

❤❤❤

Setelah jam mata kuliah Akuntansi selesai, Mas Ezza segera bergegas dan meninggalkan kelas. Saat dia mulai melangkah, aku melihat dirinya berpapasan dengan seorang mahasiswa, dan ternyata adalah Dika. Dia memberikan salam kepada Mas Ezza. Aku mendengar pembicaraan mereka dari dalam kelas, dan sesekali melihat ke arah dua laki-laki tersebut.

"Pagi, Pak," sapa Dika kepada Mas Ezza.

"Pagi. Kamu bukan mahasiswa di kelas ini, yah?" tanya Mas Ezza yakin.

"Bukan, Pak. Saya semester lima," jawab Dika.

"Ada perlu apa ke kelas ini?" tanya Mas Ezza dan nadanya seperti orang penasaran.

"Saya mau ketemu mahasiswi di kelas ini, Pak."

"Mau ketemu siapa?" Sepertinya rasa ingin tahu Mas Ezza semakin tinggi.

"Bunga, Pak," jawab Dika.

====================

DOSEN ITU SUAMIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang