Nana memijit pelipisnya. Kepalanya terasa pusing sejak selesai kelas, ditambah perutnya yang entah kenapa jadi sakit sampai rasanya ingin Nana pisahkan organ perutnya dari tubuhnya agar sakitnya berhenti sebentar.Berbaring di kasur poliklinik sejujurnya enak kalau keadaan nya tidak lagi sakit. Tapi, sumpah demi apapun, dari kepala hingga perut Nana sakit sekali.
Hari ini ia hanya sendirian mengingat Jena yang seperti biasa sudah bucin bersama Renjun, sedang Shuhua hari ini titip absen. Katanya, gadis itu ada urusan keluarga mendadak.
Niatnya ingin merasakan ketenangan, tampaknya hanya bayang-bayang saja ketika sang kakak–Mark Lee– meneleponnya.
"Kenapa?"
Kalau saja keadaan Nana tidak sedang sakit, ia pasti akan menyambut panggilan Mark dengan ceria penuh rasa kerinduan. Berharap saja, mark mengerti bahwa sang adik dalam kondisi sakit.
"Kamu yang kenapa?" Nana mengernyit bingung, "maksud—"
"Kenapa suara nya lemes gitu? Sakit?"
Nana hanya diam. Diam-diam menghela napas. Kakaknya ini kelewat peka, padahal ia tidak berharap demikian. Mengingat bagaimana cerewet nya sang kakak, Nana udah bisa bayangin gimana marahnya Mark kalau Nana jujur dia sakit, tapi bakal lebih marah kalau Nana berani bohong dia enggak sakit.
Jadi Nana hanya berdehem pelan.
"Kenapa bisa sakit? Apanya yang sakit?" Tuh, kan. Nanya nya aja udah bertubi-tubi.
"Perut"
"Udah makan? Pasti lupa sarapan kan pagi tadi? Emangnya mama enggak buat sarapan? Kalau enggak di buatin buat sendiri, dong. Udah tau suka sakit perut kalau enggak sarapan."
Nana berdecak pelan, "udah dong, ini adeknya lagi sakit malah diomelin."
"Pusing nggak?" Tanya Mark, tidak menghiraukan ucapan Nana.
"Pusing. Tapi udah minum obat—"
"Obat gak akan mempan. Kamu harus makan." Sergah Mark cepat.
"Nanti—"
"Sekarang." Sergah Mark cepat, lagi.
Nana berdecak pelan dan menghela napas, "gimana bisa mau makan sekarang sih? Jarak kantin sama poliklinik itu jauh. Kepala aku pusing. Nanti kalau udah enggak pusing aku makan, kok."
Enggak ada sahutan dari Mark selesai Nana berbicara panjang lebar. Membuat Nana ragu apakah telepon masih tersambung atau tidak. Baru saja hendak mengecek apakah masih tersambung atau tidak, Mark sudah mematikan sambungan lebih dulu.
Melihat itu Nana hanya berdecak kesal. Tak mau memusingkan sang kakak yang tiba-tiba mematikan sambungan, Nana memilih untuk memejamkan matanya. Berharap pusingnya mereda.
Sekitar semenit Nana memejamkan mata, ponselnya kembali berbunyi. Ia pikir sang kakak kembali menelpon. Tanpa mengecek ia mengangkat panggilan.
Hampir saja ingin memberondong sang kakak dengan ucapan nya, suara berat itu sudah lebih dulu menyapa Indra pendengaran Nana.
"Halo."
Nana membuka matanya yang semula terpejam. Menjauhkan ponsel dari telinga, memastikan nama yang tertera di layar ponsel adalah nama dari seseorang yang tidak ia duga.
Jaemin menelepon nya.
"Hal—"
"I-iya kak! Kenapa?"
Terdengar helaan napas dari Jaemin. Nana sendiri sudah bingung, kenapa Jaemin tiba-tiba menelepon nya. Bukankah lelaki itu masih ada kelas sebentar lagi?
"Mau makan apa?"
"Hah?"
Jaemin berdecak, "mau makan apa?"
"Maksudnya?"
Sumpah demi apapun Nana tidak mengerti maksud Jaemin apa. Tiba-tiba menelepon, tiba-tiba juga menanyakan ingin makan apa. Ini maksud nya apa?
"Gue beliin nasi kuning. Lo makan, kan?"
Nana mengangguk ragu. Sadar anggukan nya adalah hal percuma ia lantas menggeleng singkat sebelum menjawab, "iya"
"Yaudah."
Pip.
Sambungan dimatikan sepihak.
"Halo?" Tidak ada sahutan sama sekali, dan ternyata sambungan memang benar-benar dimatikan sepihak.
Nana jadi bingung sendiri.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Status | Jaemin✔️ [TELAH DITERBITKAN]
FanfictionHanya sebuah status, tanpa perasaan lebih. Ada yang sama sakitnya dengan tak dianggap, atau lebih? Book2 from Mantan | Renjun Status | Jaemin Dyudyu, 2019 Cerita nct lainnya dari Dyu Mantan - Renjun BoyFriend - Jisung Pacar - Haechan Rich - Chenle...