6. It Gets Harder Everyday

3.4K 414 78
                                    

Kamar mandi pantry terlihat lebih memungkinkan dipakai mandi daripada toilet umum AEON. Di toilet tidak ada gayung atau mungkin shower besar yang bisa membilas tubuh. Kanya terpaksa menyogok penjaga pantry untuk membiarkan dirinya menumpang mandi.

Berkat Om Rudi juga yang sudah membawakan baju, Kanya jadi bisa mandi dan ganti.

Keluar dari kamar mandi pantry, Kanya buru-buru menyisir rambut yang dia ikat tinggi-tinggi. Sebelum ada orang lain yang melihat. Lalu Kanya menarik napas dalam, mengembuskannya cepat kemudian sibuk menyapukan berbagai kosmetik ke wajahnya. Bermodalkan cermin kecil, Kanya sukses merias wajah naturalnya.

"Cepet, cepet, cepet."

Ketukan di luar pintu terdengar. "Mbak? Sudah?"

Kedua mata Kanya mendelik. "Belum, Gus! Aduh, lima menit lagi!"

Kanya kembali bergerak rusuh. Pantsuit kotor yang sebelumnya dia kenakan, dimasukkan ke paper bag. Kanya meneliti tubuhnya sendiri. Rapi, cantik, wangi. Tidak ada cacat sedikit pun. Setelah itu Kanya keluar dari pantry, dia menemukan Agus sedang mencegah Edo di depan pintu.

Senyuman garing di bibir Kanya terbit.

"Hai, Do."

"Eh, Mbak, sudah selesai mandinya?"

Kanya mengangguk mantap. Ditepuknya bahu Agus dua kali. "Udah, Gus. Thanks, ya. Lo udah menyelamatkan gue dari bau badan."

"Sama-sama, Mbak." Agus menoleh menatap pemimpin redaksi AEON TV dengan pandangan polos. "Pak, sekarang udah boleh masuk pantry," lanjut Agus.

Edo sendiri tidak menatap Agus, atau bahkan mengiyakan ijin Agus. Lelaki itu hanya menatap Kanya dengan tatapan meneliti. Tangan Edo merogoh saku kanan jasnya. Sebuah lipstik warna nude ia berikan kepada Kanya.

"Ini lipstik gue?" Kanya meneliti sekilas lipstik di tangannya. Dia menatap Edo bertanya, "Ngapain lo kasih lipstik ini?"

Edo menunjuk bibir Kanya yang diolesi lipstik matte warna merah bata. "Ganti, kurang cocok," kata Edo setelah itu mengusir Kanya dari depan pintu, lelaki itu masuk ke pantry, meninggalkan Kanya yang kebingungan bersama Agus.

"Bapak kenapa, Gus?"

Kedua bahu Agus terangkat sekilas. "Mana Agus tahu, Mbak?"

***

"Eko Prasetyo!!"

Kanya tertawa sambil mengagetkan teman baiknya. Di ruangan newsroom, dia merangkul pundak Eko dari belakang. Membuat lelaki yang memiliki tinggi tubuh 182 sentimeter itu berteriak heboh. Mengusik ketenangan on air.

"Lo! Bisa nggak sekali aja kelakuan lo normal?" Eko mendesis. Ia kesal harus mendapat tatapan sinis dari banyak crew.

"Bisa .... Lo lagi ngapain?" Kanya melirik pada fokus kamera yang sedang menyoroti Agam. "Tumben si seksi nggak ikut on air?"

"Siapa yang lo maksud si seksi?"

Kanya kembali menatap Eko yang sibuk membolak-balik berkas di tangannya. Dia tidak menjawab pertanyaan Eko barusan, membuat lelaki itu harus menoleh pada Kanya. Tetapi sama saja, Kanya tetap tidak menjawab dan Eko juga tidak mau meminta penjelasan lebih.

Pintu newsroom terbuka dari luar. Fokus Kanya dan Eko sekilas menatap ke pintu. Di sana Edo datang dengan wajah bantal yang Kanya hapal.

Jam berapa sekarang? Baru mau makan siang saja, Edo sudah enak-enakan tidur di ruangannya.

• A Believer •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang