17. Kesalahan Sejak Awal

3.2K 404 107
                                    

"Agak geli sejujurnya aku pake sapaan aku-kamu. Kayak gimana ... gitu. Lidah gue kaku rasanya."

Kanya terkikik, geli sendiri mendengar aksen sopan yang dia keluarkan untuk Edo. Mereka berdua berhenti di ujung lorong hotel dan sama-sama menyandar pada temboknya. Lorong itu lumayan sepi karena bukan merupakan lorong penghubung kamar-kamar.

"Biasakan," gumam Edo sambil menoleh menatap Kanya.  Wanita yang mengenakan kaos warna kuning cerah bertuliskan: You don't own me tersebut tampak sangat cantik dengan celana cinos warna keki yang dikenakannya. Bahkan, rambut panjang dan lurus Kanya semakin mempercantik sosok wanita itu.

Kanya ikut menoleh menatap Edo. "Kalo gue lebih nyaman sama gaya omongan gue sekarang, gimana?"

"Nggak masalah."

"Em-hm?"

Edo mengangguk kecil. Ia beranjak dari tembok dan memilih berdiri di depan Kanya. Menatap lekat-lekat kekasihnya yang baru disadari Edo terlihat sepuluh kali lipat lebih cantik karna Kanya memiliki mata biru gelap, yang kadang terlihat sangat cerah saat di bawah terik matahari. Kanya seperti wanita yang mengenakan kontak lensa karena wajahnya terkesan lebih berat ke Jawa dibandingkan Amerika. Kanya lebih menuruni wajah Nina saat dia sudah dewasa.

Perlahan Edo menunduk dengan kepala miring, masih meneliti sepasang mata cantik Kanya.

"Blue eyes," bisik Edo dengan jantung sedikit berdebar.

Kanya mengedip sekali. "Baru sadar?"

Edo tersenyum manis, kepalanya semakin mendekat pada Kanya sampai-sampai hidung mereka hampir bersentuhan. Edo bahkan bisa mencium aroma parfum Kanya yang terkesan memabukkan untuk seorang lelaki pemula sepertinya.

"Menuruni mata Om Sandro?" Kanya mengangguk mengiyakan. Edo tetap menatap Kanya dalam. "If I kiss you, would they tell him what I did?"

Sambil menelan saliva, Kanya menggeleng lirih, membuat Edo tersenyum dan perlahan matanya menutup. Kanya mengikuti Edo untuk memejamkan mata biru tersebut, yang dia dapatkan dari Sandro. Lalu kelembutan itu menyapu bibir Kanya perlahan. Terasa begitu intim dan mulai basah saat Kanya membalasnya. Sesaat, gemetar di tubuh Kanya terasa karna ingatan di hotel bersama Damian terulang. Ada sepucuk rasa takut tapi otaknya berpikir keras kalau saat ini, lelaki yang sedang menciumnya merupakan Edo, bukan Damian.

Kedua tangan Kanya melingkari leher Edo, mencoba mengusir rasa takut. Bibir mereka terus memagut dengan kedua mata terpejam dan jantung berdebar kencang. Tidak mempedulikan apakah satu-dua petugas hotel memiliki kemungkinan besar untuk lewat di lorong itu. Kanya dan Edo terus memagut dengan gerakan intim dan gigitan-gigitan manis.

Masih terus berciuman, kedua tangan Edo mulai bergerak meremas pinggang ramping Kanya. Tubuhnya semakin menghimpit Kanya dan perasaan untuk mendorong bukti gairahnya ke inti Kanya semakin besar. Semakin Edo menghimpit, semakin ia mendorong pinggangnya ke pinggang Kanya. Bukti gairah itu ada, Edo sampai kelimpungan saat berusaha mencium Kanya dan menahan gairah tersebut.

Lalu otak Edo seakan dihantam dengan bayangan wajah babak belurnya beberapa hari lalu. Kedua mata Edo terbuka. Bibirnya masih mencium Kanya yang masih terpejam. Sambil tersenyum, Edo menyudahi pagutannya pada bibir Kanya. Mengecup bibir pink pucat yang hanya diolesi lip-balm tersebut beberapa kali sebagai penutup.

Edo bisa melihat rona merah menjalar dari leher, kedua telinga, sampai dengan keseluruhan wajah Kanya. Lelaki itu makin tersenyum ketika Kanya membuka mata dan tidak berani menatapnya.

Dia malu.

Perlahan Kanya melepas lingkaran tangannya dari leher Edo. Napas masih terdengar bersahutan, tapi Edo masih bandel dan kembali mengecup bibir Kanya untuk yang terakhir di sesi tersebut.

• A Believer •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang