8. Prinsip

3.3K 430 106
                                    

Malam terlalu larut, bukan waktu yang tepat membawa Kanya pulang ke rumah.

Sejenak, Edo mengamati wajah Kanya yang sudah tertidur pulas setelah hampir empat jam Edo meredam penyiksaan wanita itu. Edo memakai kemeja yang sebelumnya terlempar ke lantai. Mengancingkan keseluruhan kancingnya, tidak peduli apakah kemeja tersebut terlihat sangat lusuh. Hati-hati, masih dengan kondisi berantakan, Edo keluar dari kamar hotelnya. Kedua tangan Edo mengepal, rahangnya mengeras dan matanya memicing tajam melihat kamar tiga kosong tiga milik Damian.

Berbekal keycard cadangan semalam, Edo membuka pintu tersebut dan masuk begitu saja.

"What you looking for."

Rahang Edo semakin mengeras. Di samping ranjang, ia melihat Damian sudah sadar. Bule itu duduk di lantai menyandar pinggiran ranjang. Peluh membasahi wajah dan badannya yang telanjang dada.

Edo tersenyum miring saat Damian meludah sembarangan, mengeluarkan darah yang mungkin masih keluar dari dalam mulutnya.

Edo mendekati Damian. Perlahan, ia berjongkok dengan satu kaki menumpu pada lantai. Lagi-lagi senyum meremehkan hadir di wajah Edo. Detik kemudian, satu pukulan keras tiba-tiba dilayangkan Damian ke Edo. Tak terima, Edo segera menyerang balik Damian. Tubuh lelaki bule itu akhirnya limbung ke lantai, ia mengerang kesakitan.

"Bastard!" erang Damian tidak dipedulikan Edo.

Sekuat tenaga, Edo berusaha mengembalikan posisi Damian agar kembali tegak. Lelaki itu lagi-lagi meludah, bukan ke sembarang arah, melainkan ke wajah Edo yang sudah memerah menahan kemurkaan. Kepalan Edo kembali menghantam wajah tampan Damian. Sekali, dua kali. Sebagai penutup, Edo memukul keras perut Damian sampai lelaki tersebut terbatuk parah. Darah menyembur dari mulut Damian, mengotori lantai kamar hotelnya.

"Jangan pernah menyentuh Kanya lagi," desis Edo sambil mencekik leher Damian.

Tak terima diperlakukan seperti itu, Damian mencekal tangan Edo dengan sisa tenaganya.

"Bukan hakmu melarangku menyentuh Kanya! You're fool!" Damian memgernyit kesakitan dengan napas terengah. Keseluruhan giginya berwarna merah karena darah. Tiba-tiba Damian terkekeh meremehkan. "Oh, apa kamu baru sadar tentang perasaan Kanya padamu? Kenapa aku bertaruh kalau obat itu bekerja sangat baik di tubuh Kanya? Bagaimana caranya dia sembuh, huh? Bukannya obat itu membuatmu bisa mencicipi Kanya?"

Kedua tangan Edo mengepal erat. Melihat senyum miring Damian, semakin menambah rasa murka dalam hatinya.

Kepalan tangan Edo kembali terangkat bersiap memukul wajah memyebalkan Damian. Tetapi Edo tidak bisa karena ia memang mengakui apa yang Damian ucapkan. Edo menahan rasa benci pada dirinya sendiri membuat Damian tertawa sengal.

"Aku benar, huh?" Damian meludah ke sembarang arah lagi. "Dude, you'e pathetic. Posisiku masih lebih terhormat daripada kamu. Lelaki yang mengaku sebagai teman dekat, tapi justru tega mencicipi tubuh temannya sendiri hanya karna ingin menyembuhkan? Sigh." Kepala Damian menggeleng dan terus terkekeh menertawakan Edo.

Merasa kesal bukan main terhadap dirinya sendiri dan juga Damian, Edo akhirnya kembali melayangkan pukulan terakhirnya dengan sekuat tenaga. Damian limbung, bule itu terengah sambil muntah darah.

"Rrghhh ...."

Edo berdiri, menatap tubuh meringkuk Damian yang basah oleh keringat.

"Kamu benar, posisimu memang lebih terhormat dari pada aku. Tapi setidaknya, aku bukan bajingan yang hanya menginginkan kelamin wanita yang kusuka."

Damian terpaku mendengar kalimat Edo. Kedua matanya yang berlinang menahan sakit, hanya bisa mengedip beberapa kali. Damian mendengkus menatapi semburan darah di lantai.

• A Believer •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang