9. Also Known As ....

3.5K 415 110
                                    

Kanya meringis setiap orang-orang terkesiap melihat wajah babak belur Edo. Mulai dari satpam di depan pintu lobi sampai dengan cleaning service, terkejut dan bertanya-tanya ada apa dengan wajah tampan tersebut. Lagian, Kanya juga merutuki kebodohan Edo yang tidak mau sedikit pun menutupi wajah babak belurnya. Kanya sampai berpikir kalau lelaki itu bangga memperlihatkan memar-memar tersebut, entah untuk apa.

"Udah gue bilang pake masker, Do. Lo ngeyel banget jadi orang!" bisik Kanya begitu mereka masuk ke lift.

Edo hanya melirik sekilas. Kedua tangannya disimpan ke saku kanan kiri celana. Edo menghela napas.

"Kenapa memang?"

"Ya, lo dipandang orang-orang jadi aneh. Eh, siapa tuh? Muka bonyok begitu bangga banget dikasih liat ke banyak orang. Eh, eh, siapa tuh? Ganteng-ganteng kayak preman pasar." Kanya mencibir. Bibirnya monyong ke sana kemari menirukan gaya mulut tukang julid di Indonesia.

"Biarkan."

Kanya berdeham kecil. "Tapi ngomong-ngomong juga, tanggapan Mama lo gimana?"

Lagi-lagi Edo melirik Kanya, kini ada senyum terpatri di wajah memar itu. "Kaget."

"Kagetnya gimana?"

Kening Edo mengernyit. "Teriak-teriak."

"Ya ampun, Do. Gue minta maaf banget, ya? Tapi lo nggak ngomong 'kan kalau Daddy yang pukulin elo?"

Edo menggeleng. Ia menelan saliva aneh. Saat kedua tangan Kanya melingkari lengan kirinya, Edo ingin melepas lingkaran tersebut, tapi kepalanya tiba-tiba terlempar pada obrolan mereka di mobil tadi. Edo mengurungkan niat. Ia membiarkan Kanya berbuat semaunya, dan Edo akan mencoba untuk terbiasa dengan itu.

Lift terbuka di lantai kerja mereka. Kanya buru-buru melapas lingkaran lengannya. Dia lebih dulu keluar karena tidak mau dicurigai sok dekat sok kenal pada pemimpin redaksi AEON. Dan lagi, suara terkesiap dari beberapa orang yang melihat Edo berjalan di belakangnya, kembali terdengar.

Kanya memisah jalan dengan Edo menuju kubikel sementara Edo pergi ke ruangannya. Baru mau Kanya pergi ke meja kerja, seseorang menarik lengannya cepat. Hampir saja Kanya terjungkal karena heels sebelas sentimeter yang terpaksa dia pakai.

"Apaan, sih?!"

"Sst!! Key, itu muka Bapak kenapa?!" Kedua mata Mbak Poik membola. Ia menggenggam kopi panas yang membuat Kanya curi-curi lirik.

"Jatuh dari tangga." Kanya mendekat pada Mbak Poik. Matanya masih terus mencuri-curi lirik ke secangkir kopi hitam itu.

Melihat Kanya dan Mbak Poik mengobrol, beberapa staff yang penasaran mulai bergabung. Mereka semua tahu kalau Kanya begitu dekat dengan pemimpin redaksi mereka. Pasti Kanya tahu tentang masalah wajah babak belur Demas Edo Yudohusodo.

"Ini lagi, ngapain pada ikut ngumpul di sini?!" Kanya manyun melihat Ainun, Intan, Hanif, dan lainnya mulai mengerubung.

"Mbak Key, kita-kita juga penasaran, kali .... Ada apa itu si Bapak kelihatan kayak Dilan waktu SMA?" bisik Aiunin mencolek lengan Kanya.

"Udah gue bilang dia jatuh dari tangga."

"Nggak mungkin!" serempak wanita-wanita kepo itu.

Kanya berdecak. Diambilnya secangkir kopi di genggaman Mbak Poik. Kanya menyeruput kopi tersebut keras, membuat beberapa wajah staff yang mendengarnya mengernyit jijik. Mbak Poik sendiri hanya memasang wajah super datar karena lagi-lagi kopinya diseruput oleh setan cantik.

"Dia adu jotos sama orang lain."

"Karena?" serempak mereka lagi membuat Kanya mengibas rambut, wajah Kanya terlihat sangat sombong.

• A Believer •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang