18. Berpisah

3K 393 42
                                    

Seluruh tubuh Kanya basah karna berlari dari lokasi marathon menuju jalan raya. Sambil hujan-hujanan dia berusaha menyetop taksi yang lewat. Hujan turun semakin deras. Penglihatan Kanya sedikit kabur saat melihat satu taksi lewat dari ujung jalan.

"Taksi!" Kanya melambai dengan kedua tangan. "Taksi!!"

Mobil berwarna hitam polos tersebut berhenti. Kanya langsung masuk tanpa pikir panjang, tidak peduli dengan seluruh tubuhnya yang basah.

"Jalan, Pak! Hotel Tentrem." Rahang Kanya bergetar menahan dingin.

Sopir taksi tadi mengangguk dan segera melajukan mobilnya cepat. Tidak mempermasalahkan apakah jok mobil penumpangnya basah karena Kanya. Sementara di jok belakang, Kanya menghela napas berat, lega sudah mendapat satu taksi yang dengan baik hati mengantarnya ke tujuan, tidak banyak memprotes.

Sepanjang jalan menuju hotel, Kanya hanya melamun menatapi jalanan dari kaca jendela. Dia memutar kembali kejadian saat Natalie berteriak di banyaknya kerumunan. Kanya malu. Saat dirinya dianggap merupakan kekasih dari Edo, justru wanita lain mengaku sebagai tunangan Edo secara terang-terangan.

Satu air mata mengalir di pipi basahnya. Kanya tidak berusaha mengusap, wanita itu hanya merogoh  ponsel yang sengaja dia selipkan di karet pinggang compressor-nya, karena memang compressor tersebut tidak memiliki saku. Kanya bisa melihat puluhan panggilan tak terjawab dari kontak Edo, Nesa, dan Eko bersarang di notifikasinya. Kanya tersenyum sambil membersihkan semua notif. Senyum yang diikuti dengan tetesan air mata. Kemudian Kanya mencari nomor kontak Damian, mengiriminya pesan dan bertanya tentang keberadaan lelaki itu.

Hotel, masih menunggumu.

Diusapnya air mata yang menetes sekali lagi. Kini Kanya sesenggukan. Di saat dia patah hati karena Edo, Damian justru selalu ada untuknya. Tidak, tapi Damian memang jelas-jelas selalu ada untuknya sejak mereka berkuliah di satu universitas.

"Mbak, ini langsung ke hotelnya?"

Kanya tergeragap. Dengan cepat dia mengusap air mata kemudian tersenyum gemetar. Pandangannya bertemu dengan si sopir yang menatap dari spion tengah.

"Iya, Pak. Langsung ke hotel."

***

Banyak pasang mata melihat Kanya aneh. Wanita itu memasuki hotel dengan pakaian dan rambut basah kuyub. Kanya tidak lagi peduli. Dia hanya ingin cepat-cepat sampai ke kamarnya setelah meminta kunci cadangan ke resepsionis, berhubung Nesa yang tadi membawa kunci tersebut.

Sampai di kamar pun, Kanya tak pikir panjang untuk memberesi semua barang-barangnya. Sedikit terburu karena ponsel yang sudah ditaruh di atas tempat tidur, terus saja berdering dengan nama Demas Edo terpampang di layar. Kanya menggeram sebentar, frustasi mendengar dering ponsel tersebut. Begitu selesai memberesi semua barang, dia keluar dari kamar tersebut menuju kamar hotel Damian. Air mata kembali mengalir di kedua pipinya. Dia ingin menangis, tapi memperlihatkan air matanya di depan Damian bukanlah ide yang bagus.

Kanya mengetuk pintu tersebut beberapa kali. Tepat dengan air matanya kembali menuruni pipi, pintu tersebut dibuka dari dalam. Kanya mengusap air matanya cepat kemudian tersenyum.

Damian yang melihat Kanya basah kuyub tentu terkejut. Lelaki itu segera menarik Kanya masuk ke kamar. Tidak peduli apakah wanita tersebut kembali ketakutan karna diingatkan oleh kejadian pahit saat itu.

"Kamu kenapa, Key??"

Kanya masih tersenyum, dia menggeleng pelan dan bergerak canggung. "Aku mau pulang. Kamu bisa beli dua tiket pesawat sekarang?"

"Tentu—" Damian mencegah Kanya yang berniat keluar kamar. "Cerita, apa yang sebenarnya terjadi. Di mana rombonganmu?"

"Mereka masih di tempat acara."

• A Believer •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang