10. Terbalaskan (?)

2.8K 355 117
                                    

Pesan-pesan itu terus diterima sampai seminggu berlanjut. Ada ketakutan yang semakin membesar di hati Kanya. Kadang, ia sampai terperanjat setiap didekati oleh lelaki tanpa dia sadari. Atau, Kanya akan merasa kurang nyaman saat Eko merangkul pundaknya. Itu sudah dialaminya sejak pesan-pesan itu selalu muncul di setiap pagi. Setiap Kanya bangun tidur dan mengecek ponsel, Damian terus mengatakan kalau lelaki itu akan menemuinya segera.

"Key?"

Lagi, tubuh Kanya beringsut menjauh dari lelaki pemilik suara berat di sampingnya. Kanya menghela napas berat. Jantungnya berdetak cepat. Dia melirik Edo yang menatapnya heran.

"Makan?" Edo menaruh nampannya ke atas meja. Lagi-lagi Edo menatap Kanya bingung saat melihat wanita itu justru tidak menyusulnya duduk, masih berdiri sambil membawa nampan.

Edo menoleh ke kanan-kiri. "Key?" tegur Edo lagi.

Kedua mata Kanya mengedip. Seperti baru sadar kalau Edo justru sudah duduk di kursi depannya. Kanya menyusul.

"Maaf."

Pikiran Edo semakin bingung. Sejak kapan Kanya lancar bicara kata maaf dengan lembut?

Mereka akhirnya makan dengan tenang. Masing-masing memikirkan banyak hal. Masing-masing juga tidak menyadari, kalau kebiasaan makan siang di kantin AEON selama seminggu ini sukses membuat mereka jadi ketergantungan satu sama lain.

Ponsel di blazer Kanya kembali bergetar. Buru-buru dia mengecek. Dan benar, apa yang Kanya takutkan kembali datang. Kali ini, bukan hanya alarm tentang kedatangan Damian, melainkan laporan dari lelaki berdarah Australia itu kalaua ia sudah berada di lobi AEON TV. Kanya menelan ludah, dia tidak mau hal tersebut sampai ke telinga Edo. Kanya kembali menyimpan ponsel tanpa membalas pesan dari Damian, persis seperti kesehariannya saat membaca semua pesan-pesan Damian. Kanya melanjutkan makannya cepat.

"Pelan-pelan, Key," tegur Edo melihat Kanya hampir tersedak mengunyah dua sendok nasi sekaligus.

Kanya tersenyum. Diminumnya air putih di depannya dengan susah payah. Begitu selesai mengunyah, Kanya melap bibirnya keras sampai-sampai membuat lipstik warna nude di bibir tersebut lenyap seketika.

"Do, kita ke newsroom ya habis ini?"

"Hm?" Mulut Edo masih mengunyah pelan siomay di mulutnya.

Kedua mata Kanya lari ke kanan-kiri, aneh. "G-gue mau kerjain skrip berita buat besok."

"Why so serious? Kamu nggak perlu buru-buru."

Kanya menggeleng cepat. "Soalnya gue males kena pelototan Natalie. Lo tahu? Habis kita selesai rayain ultah AEON, Natalie makin sinis ngeliat gue, Rezky juga ikutan aneh."

Siomay di piring Edo terlihat lebih menarik ketimbang sepasang mata cantik Kanya saat ini. Lelaki itu mencoba menghindar. Memilih menatap lain hal karena ia masih terlalu pengecut untuk mengaku kepada Kanya. Apa yang sebenarnya terjadi antara ia dan Natalie.

"Ada masalah sama dia?" Edo mengiris siomay menggunakan sendok, kemudian memakannya pelan.

"Enggak, tepatnya gue enggak tahu. Cuma ya ... gitu lah, masih bertanya-tanya aja gue sama sikap sinis Natalie. But there's a thing that you might know, Natalie aneh setiap ketemu sama Rezky. Udah dua kali gue liat tuh anak mangkir mulu setiap main ke AEON. Dia takut sama Natalie?"

Edo mendengkus. Sekarang ia berani menatap Kanya. "Kenapa mikir gitu?"

"Lo nggak sadar? Dua kali kemarin lusa kita bareng-bareng makan di sini, waktu itu Natalie lewat dan, boom! Rezky langsung aneh, dia super bad mood terus langsung pulang."

• A Believer •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang