13. Got a Lot of Problems

3.1K 352 31
                                    

Ruangan ber-AC dan berbau aneh tersebut di penuhi wajah-wajah serius. Suara berisik bukan tercipta dari mulut manusia di dalamnya, melainkan dari beberapa alat raksasa bertenaga listrik. Mesin cetak itu bergerak cepat. Mengeluarkan ratusan cover tebal yang memiliki tulisan keemasan dan cantik.

Wanita itu tersenyum tipis. Kedua matanya yang bengkak masih begitu kentara. Ia habis menangis. Ia hanya ingin mengecek sesuatu di sini, apakah pesanannya sudah seperti yang ia harapkan.

Hampir empat hari ia berkeliling ke banyak tempat. Sekadar mengecek, sekadar memastikan apakah sesuai harapan. Lalu ia akan kembali pulang dan melakukan rutinitas kesehariannya dalam diam. Meliburkan dirinya dari kesibukan kerja.

Ia kembali tersenyum tipis melihat beberapa pekerja merenggangkan badan setelah membungkuk di depan mesin selama berjam-jam. Ia melirik ke jam ponsel di genggaman, sudah pukul empat sore. Perutnya belum terisi apa pun sampai-sampai bunyi keroncongan samar membuatnya kembali tersenyum, tapi getir. Kedua tangannya mengepal. Mulutnya ia biarkan terbuka sedikit saat menghela napas sesak. Ia ingin tidak terbebani dengan semua ini, tetapi Tuhan seakan menghukum orang-orang yang sudah hidup keterlaluan di bumi. Seperti dirinya, yang sebentar lagi melempar kotoran di wajah wanita yang membawanya ke dunia.

***

Weekend biasanya diambil Kanya untuk tidur seharian saat masih kuliah. Atau dia bisa berlibur ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi. Entah bersama Damian, entah bersama teman lainnya. Tetapi tidak untuk weekend kali ini. Kanya ingin pergi sendirian.

Kanya tersenyum kecut mengingat nama Damian sesaat terlintas di ingatan. Dia tidak mau membenci, tapi lelaki itu memaksanya untuk membenci.

Mini cooper nyentrik yang dikendarai Kanya memasuki wilayah komplek perumahan mewah, yang dihuni hampir sekitar seratus rumah dengan tipe 120. Dia melajukan mobilnya perlahan sambil mengintipi nomor-nomor rumah yang kebetulan terpasang di depan pagar tiap rumah. Kanya ingat, nomor rumah yang dihuni sahabat baiknya tidak berubah meskipun ia sudah pindah dua kali.

"O dua empat." Kanya tersenyum melihat rumah tipe 120 dengan pagar kayu raksasa terlihat jelas di depan.

Sambil melirik spion kanan-kiri, Kanya memarkirkan mobil di tempat kosong di depan rumah tersebut. Dia keluar dari mobil. Hanya mengenakan jeans panjang warna biru langit dan kemeja kotak-kotak kebesaran, Kanya menekan bel yang terpasang di ujung pagar. Sekali, dua kali. Kanya mendengar anjing di balik pagar menggonggong galak. Tak lama kemudian seseorang membukakan pagar membuat Kanya tersenyum lebar.

"Hai, Ky!"

Kedua mata Rezky membola. Ada angin apa sampai-sampai Kanya sudi bertandang ke rumahnya?

"Hai."

Lelaki itu tidak langsung membuka lebar pagarnya. Ia justru berbalik, mengurung Pukang—nama anjing kesayangannya—sebelum mempersilakan Kanya masuk.

"Masuk, Key."

Kanya menyusul langkah Rezky ke dalam rumahnya. Sesaat sebelum melangkah menuju ruang tamu, dia menyempatkan diri untuk memeletkan lidahnya pada anjing jenis labrador retriever yang dikurung oleh Rezky.

"Tumben main."

"Nggak boleh?" Belum dipersilahkan, Kanya sudah membanting bokongnya ke salah satu sofa empuk berwarna cokelat. "Ky, ada minum, nggak? Haus banget gue dari rumah langsung ke sini."

Wajah Rezky kelihatan asem. "Rumah lo nggak ada setetes pun air minum?"

Kanya nyengir lebar. Dia mengangkat kedua kaki ke atas sofa, melipatnya seakan-akan menganggap sofa tersebut merupakan sofa di rumahnya sendiri.

• A Believer •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang