warm embrace

10.5K 1.4K 51
                                    

Taehyung terbangun karena sayup kecil suara konversasi seseorang. Di bawahnya empuk, pun dia merasa hangat. Agak pening kepalanya, tapi masih bisa ditoleransi. Ingin lihat pukul berapa; sekali bergerak pandangannya kabur. Rasa pusingnya meningkat sekian kali.

"—nggak bisa, Joon. Atur supaya diubah jadwal meeting-nya. Saya nggak akan ke kantor hari ini."

Itu suara mas Jeongguk-nya, mungkin ada di balkon depan karena terdengar jauh (bukan seperti cerita mitos berkenaan hantu perempuan; suara jauh dianya dekat).

"Atur untuk suspend, atau minggu depan. Saya nggak mau ada meeting di akhir minggu. Lagi pula proyek yang dia tawarkan kayak main-main begitu." Suara Jeongguk jelas agak kesal; otoritasnya dia keluarkan sebagai atasan paling atas. "Ya. Senin. Oke, diterima. Tolong monitor selama saya nggak ada."

Derap langkah pelan, lalu pintu balkon ditutup. Semilir angin yang awalnya ikut masuk dan buat Taehyung agak bergidik despite seluruh tubuhnya dibungkus selimut berhenti. Jeongguk belum tutup telepon.

"Demamnya sudah mulai turun, Joon. Nggak apa-apa. Saya mungkin panggil dokter kalau panasnya naik lagi," tutur Jeongguk; lalu area sebelah Taehyung kentara diokupasi. Hangat kembali. "Oke, Joon. Makasih. Tolong hubungi kalau ada sesuatu."

Telepon ditutup; Taehyung masih setia pejamkan mata. Baru ia buka perlahan—supaya tidak tiba-tiba pusing lagi waktu usapan halus sapa dahinya.

"Taehyung? Hei. Kamu masih pusing?"

Ingin hati tertawa; pertanyaan Jeongguk itu kikuk—setengah gusar, setengah ingin tahu. Tapi Taehyung maafkan. Dia suka cara Jeongguk mainkan rambutnya.

Yang ditanya anggukkan kepala pelan. "Maaf mas Jeongguk haru—"

"Nggak ada." Suara itu lagi. "Taehyung, kamu tanggung jawab saya, oke? Jangan minta maaf karena hal-hal kayak gitu. Kemarin kita sudah saling cerita, kan?" Senyum kecil waktu Taehyung majukan bibir—aku sakit, jangan kena marah juga. "Mulut kamu pasti pahit ya. Tapi Bunda bilang kamu harus minum obat penurun panas dulu seenggaknya."

"Mas Jeongguk telepon Bunda?"

Jeongguk aminkan. "Saya takut kamu ada alergi obat," jelasnya. "Dan Bunda bilang kamu nggak suka bubur—apalagi kalau lagi begini. Sereal mau?"

Taehyung angguk lemah—walaupun kalau boleh jujur, dia ingin tolak mentah-mentah segala jenis makanan buat masuk ke mulutnya. Bayangkan minum air putih saja rasanya berat.

Tidak butuh waktu lama buat Jeongguk siapkan sarapan. Jam di nakas bergeser ke angka tujuh, masih pagi sekali. Jeongguk biasa berangkat sekitar pukul delapan. Perut Taehyung bergolak tak nyaman kalau-kalau pasangannya terjaga sejak pagi sekali; mungkin karena suhu tubuhnya tinggi, atau simply jaga-jaga—Taehyung tak tahu.

Jeongguk hormati Taehyung yang memilih makan sendiri; bersandar pada tumpukan bantal. Putuskan untuk temani makan; buat distraksi agar Taehyung lupa akan abnormalitas indra pengecapnya.

"Sudah?" Jeongguk terima mangkuk Taehyung—sisa sedikit. Lumayan. "Minum obat, ya?"

Taehyung tidak tahu apakah Bunda sempat beberkan kebiasannya saat sakit. Sementara Jeongguk bawa nampan berisi mangkuk mereka ke luar kamar, Taehyung celingukan mencari keberadaan telepon genggamnya. Dan alas. Ada di nakas di sisi ranjang Jeongguk ternyata. Ingin raih dan telepon Bunda, tapi Jeongguk rupanya lebih dulu kembali lagi.

Dia tutup pintu, pastikan suhu AC tidak terlalu dingin. Prefer ditambah sedikit udara luar; jadi Jeongguk buka sedikit pintu menuju balkon. Tidak selebar tadi. Cukup buat Taehyung merasa sejuk.

Lantas berjalan ke tempat tidur, dan duduk lagi di spasi bagiannya.

"Bunda barusan juga kasih tahu sesuatu," mulai Jeongguk, nadanya bimbang. Sedang Taehyung, dia sudah tahu ke mana pembicaraan ini mengarah.

"M—mas nggak keberatan?"

Detik itu juga, Jeongguk menoleh ke arah Taehyung. Datar. Tanpa bicara apa pun, Jeongguk raih tumpukan bantal di belakang tubuh pasangannya, arrange lagi hingga tersisa satu, lalu perintahkan Taehyung untuk berbaring.

"Sini." Si putra Jeon instruksikan pelan; tangannya terbuka mengundang. Taehyung bergerak pelan awalnya, tapi melenguh bahagia pula kala pipinya terbenam di dada Jeongguk. "Saya bilang apa barusan?"

Taehyung pejamkan mata. "Aku—tanggung jawabnya mas Jeongguk."

Ia rasakan anggukan Jeongguk selanjutnya. "Tidur, ya? Badan kamu masih panas. Biarin obatnya kerja, oke?"

"Tapi mas Jeongguk di sini kan?"

Ada hela tawa ditahan setelahnya. "Selalu, Taehyung."

[✓]  11:11 • KOOKVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang