Jeongguk terbangun oleh suara ketukan pintu.
Sadar. Ia masih pada posisi awal. Di sofa panjang, kelelahan setelah bereskan seisi vila dari bungkus makanan dan bekas plastik entah apa. Dan sekarang, kepalanya sakit—karena terbangun tiba-tiba. Dari apa yang Jeongguk dengar, kurang lebih ada yang seriously butuh bertemu dia—Namjoon, atau mungkin Mama; dua orang yang pasti sudah tahu keberadaannya.
Maka, Jeongguk tak berekspektasi apa pun waktu buka pintu.
Dia bahkan tak menyangka akan mendapatkan satu pelukan penuh Taehyung di pintu depan vilanya.
"Tae—"
Yang namanya dipanggil tak menjawab verbal—eratkan pegangan di sekitar leher Jeongguk dan benamkan wajah—sembunyi. Namun toh Jeongguk tahu pasangannya tengah keluarkan emosi; isakannya pelan. Dan tumbuh lagi rasa bersalahnya sejak seminggu ini.
"Sayang ...." Jeongguk coba lagi; tak mempan. Walau demikian, tidak ada yang bisa hentikan senyum kecil merambat ke bibirnya. "Kita ke dalam, ya?" Dan karena Taehyung tak juga bergerak, ia putuskan jalan paling singkat.
Yang berakhir dengan pekik kecil Taehyung dan Jeongguk yang tersenyum congkak.
"Mas Jeongguk—"
"Sebentar." Sang putra Jeon nyamankan posisinya di sofa dengan Taehyung yang masih berada dalam pangkuan. Hangat. Tak disangka cuma butuh kehadiran pasangannya untuk hilangkan gundah. Jeongguk merasa tolol. Kalau saja ia sadar lebih cepat. "Saya mau peluk kamu."
Respons Taehyung berupa sepasang lengan yang melingkar lebih erat. Wajahnya masih menyembul malu dari bahu pasangannya—salurkan perasaan lewat kontak fisik dan embusan napas bersama.
"Mas Jeongguk sehat? Nggak lewatin jam makan, kan?" Suara Taehyung teredam; namun Jeongguk tidak kehilangan aksen khawatir di tiap nadanya.
"Harusnya saya yang tanya begitu ke kamu." Jeongguk balas; sebelah tangan raih kaki Taehyung yang saat itu hanya dibekali celana katun tujuh per delapan. Jeongguk tebak; Taehyung menyusul kemari tanpa persiapan. Dan sudah pasti Mama yang tak akan tega tutup mulut. Jeongguk hanya menyayangkan kenapa bukan supir pribadi Mama yang antar Taehyung ke sini—iya, dia khawatir. Belum tentu suasana hati pasangannya tenang. "Maaf, saya belum bisa jujur ke kamu," aku Jeongguk—gulirkan atensi pada anklet yang melingkar di mata kaki Taehyung. Cantik. Jeongguk buat mental note untuk belikan model lain.
"Jangan tinggalin aku tiba-tiba lagi, mas Jeongguk." Taehyung tutur pelan—nadanya putus asa. "Maaf juga—aku nggak peka sama perasaan mas Jeongguk. Aku bahkan nggak tahu tanggal peringatan kematian Papa. Aku bodoh nggak nanya apa pun. Aku—"
"Kesayangan saya nggak bodoh, oke?" Nada Jeongguk tegas—usapannya di sekitar mata kaki Taehyung terlepas. Ia angkat wajah pasangannya; pandangan melembut karena jelas lingkaran merah tergambar di sekitar hazel lawan bicaranya. "Saya boleh—?"
Taehyung anggukkan kepala singkat. Tak menjawab—ia bertemu Jeongguk tepat di tengah.
—
Entah siapa yang mulai; entah siapa yang izinkan.
Jeongguk hanya ingat permintaan lirih Taehyung untuk pindah dari sofa panjang. Mungkin kakinya lelah ditekuk, dan Jeongguk adalah pria yang akan pastikan pasangannya nyaman dan terpenuhi seluruh kebutuhan.
Bibir Taehyung bengkak—manis. Semakin merah; semakin bersemangat pula Jeongguk menyerang. Sesekali raih area mata kaki Taehyung dan mainkan anklet di sana—iya, Jeongguk baru sadar hal demikian dan fuck, ia menyukainya.
Ujung jemari Taehyung bergetar ciptakan jalur di sepanjang lengan Jeongguk; gerak pelan; kuatkan pegangan di bahu pasangannya saat dihentak. Bulir airmatanya jatuh, Jeongguk tersenyum kecil lantas hapusnya dengan ibu jari. Seluruh hal tentang Taehyung teriakkan perintah wajib dijaga, dimanjakan, dan pastikan baik-baik saja. Jika bisa, Jeongguk ingin sembunyikan ia dari dunia—dalam kungkungannya; dalam jarak pandangnya.
"Pretty, pretty Taehyungie—"
Gumam Jeongguk dipotong lenguh panjang Taehyung; mungkin akan ada permukaan punggung yang dikurbankan setelah ini.
Nama Jeongguk penuhi ruangan, tak ubahnya desir permohonan seseorang. Sementara si empunya nama benamkan wajah di perpotongan leher dan dahi pasangannya; raup rakus aroma tanpa ingin berhenti.
Ketika akhirnya Jeongguk selesai dan balurkan permintaan maaf ke setiap jengkal wajah Taehyung, ada senyum penuh geligi yang kelewat nakal. Jeongguk balas; hanya lemparkan seringai waktu Taehyung duduk di perutnya—kentara tak ingin waktu mereka berakhir begitu saja.
Bisik kecil—Jeongguk tak paham ke mana perginya Taehyung yang lembut dan pemalu.
"Lagi."
Lantas; siapa Jeon Jeongguk berani bantah permintaan Taehyung?
"Pelan, Sayang."
Taehyung menggeleng pelan; masih pasang seringai kecil di wajahnya. Nakal.
"Jangan tarik anklet aku, mas Jeongguk, nanti putus." Sungguh. Racauan Taehyung terdengar kelewat inosen despite posisinya sekarang. Pandang lugu; bibir menuju bengkak. Hati Jeongguk sungguh tak kuat.
"Saya belikan seluruh model anklet yang kamu mau," balas Jeongguk; sentuhan bayang di pinggang pasangannya. "Sekarang, hm?"
Iya. Harus sekarang. Kalau tidak, Jeongguk bisa benar-benar gila.
"Ng—gak." Taehyung mainkan nada kalimatnya—geleng pelan, bibir dikerucutkan. Sialan. Hazelnya mengerling. "Pokoknya aku yang pegang kendali sekarang."
Tuhan, mana air suci?

KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 11:11 • KOOKV
Fanfictaehyung berpikir, mungkin lebih baik ia dijodohkan atas dasar rekan bisnis saja sekalian. lebih nyata. hidupnya terasa seperti mainan sekarang. +kookv. +older!jeongguk (cannot move on from mas jeongguk). +marriage!au (help me; bear with me). +basic...