Punggung Jeon Jeongguk—yang selama ini terlihat kuat dan mampu tahan beban apa pun, saat itu terlihat ringkih. Taehyung bahkan harus siapkan diri sebelum langkahkan kaki lebih jauh. Pasangannya berdiri di balkon penthouse, kepala tertunduk, dan pigura gorden tipis beterbangan karena angin.
Kaki telanjangnya seberangi ruangan; makin mendekat. Taehyung bimbang. Tapi dari dalam lubuk hati pun, dia tak bisa tinggalkan Jeongguk sendirian.
Tangannya terulur; raih bahu Jeongguk yang saat itu tampak kalah.
"Mas Jeongguk ...."
Yang dipanggil angkat muka—Jeongguk tak pernah sekali pun abaikan Taehyung; bahkan di detik-detik awal kecanggungan setelah pernikahan mereka.
"Maaf—" Kalimat Jeongguk terpotong oleh dirinya sendiri. Lingkar matanya merah; kentara lelaki itu tahan emosi. Pun Taehyung sambut pasangannya yang lantas benamkan wajah di perpotongan leher dan bahunya. "Saya—saya nggak mau Mama sedih—saya harus kuat buat Mama. Saya nggak bisa jamin Mama nggak akan nangis waktu di sana. Tolong saya, Taehyung, kenapa saya jadi pengecut begini—"
"Mas Jeongguk ngomong apa—" Taehyung sendiri harus tahan emosinya; hatinya sakit. Lepaskan trauma berkenaan orang yang disayang tak semudah itu. Jeongguk memang sudah come clean—secara verbal—namun tidak ada yang tahu isi hatinya. "Mas Jeongguk bukan pengecut, oke? Nangis karena takut, karena khawatirkan seseorang, nggak akan bikin satu individu pengecut. Mas Jeongguk nangis karena—karena terlalu banyak beban yang udah ditahan. Dan somehow, semuanya harus dikeluarkan. Jadi, aku bilang sekali lagi, mas Jeongguk jauh dari kata itu, mas denger aku?"
Leher Taehyung beringsut basah. Tangis Jeongguk tanpa suara. Dia berikan sedikit kenyamanan dengan gambarkan pola abstrak di punggung pasangannya; berada di sisinya, dan sesekali bisikkan kalimat penenang. Hilang hitungan berapa lama Jeongguk buncahkan emosi hingga akhirnya onyx si putra Jeon tatap hazelnya.
Masih ada jejak airmata; namun setidaknya sudah hilang sekian beban di bahu Jeongguk.
Taehyung tarik pelan tangan pasangannya ke kamar mandi, berhenti di depan wastafel dan menunggu hingga Jeongguk selesai basuh muka.
Mama yang mendengar kalimat persetujuan Jeongguk lantas uraikan airmata juga—tak ayal buat Bunda ikut raih tisu. Jadwalnya sudah ditetapkan; Sabtu pagi—Jeongguk bersikeras untuk ikut. Dia ingin make sure Mama tidak breakdown waktu di sana.
Dengan sapaan terakhir dan antar orangtua mereka hingga ke lobi, Jeongguk raih jemari Taehyung dan bawa ke depan bibirnya. Kecup pelan; salurkan rasa terima kasih lewat gestur kecil.
Yeah, dan berujung hingga kembali ke penthouse—Taehyung yang duduk nyaman di pangkuan Jeongguk; masing-masing sampaikan sayang lewat gerak bibir. Hingga akhirnya Jeongguk turun ke perpotongan tulang selangka Taehyung dan raih anklet di kaki kirinya; lirih suara pasangannya makin menjadi.
"Pin—dah ...."
Jeongguk uraikan senyum; angkat tubuh Taehyung seolah ia tak berbobot apa-apa. Keduanya tidur lebih nyenyak dengan spasi yang kian terkikis.
—
Jumat sore temui Jeongguk di depan pintu studio Taehyung—waktu itu tertutup rapat dan dari info salah satu karyawan Mama—Lalisa—Taehyung berpesan supaya tidak mengganggunya. Sejak sebelum makan siang, pukul sebelas. Dan sekarang jam di arloji Jeongguk bergeser ke angka enam.
Pintunya terkunci; pun saat Jeongguk coba ketuk, tak ada yang menjawab. Kunci cadangan yang diberi Taehyung sebelum ini untunglah selalu Jeongguk bawa.
"Sayang?"
Dan langkah si putra Jeon berhenti sejenak.
Terang saja Taehyung tak dengar apa pun; figurnya tengah berdiri membelakanginya di balkon. Kepalanya tertunduk, dua telinganya disumpal airpod.
Langkah pelan, hendak datangi Taehyung—tapi lantas kakinya menempel di tempat. Ujung pandangan tangkap siluet wajah yang dulu sempat familier.
Sebelah alis terangkat, Jeongguk hampiri kanvas yang ditinggalkan Taehyung. Masih setengah basah; kentara baru diselesaikan tak jauh sebelum ini. Satu, dua cipratan cat di lantainya pun masih belum mengering seluruhnya. Jeongguk baru sadar. Topang tubuh di bangku kecil.
Ada wajah sumringah Mama, terlihat cantik dan bahagia—sama seperti saat Jeongguk memberitakan namanya masuk ke universitas impiannya. Lalu dirinya sendiri—anak kedua keluarga Jeon yang digadang akan pegang perusahaan orangtuanya; yang sudah dirintis dengan hati-hati. Dua wajah ini—sudah normal dalam pikiran Jeongguk. Karena memang seharusnya begitu. Namun, temukan dua pemandangan familier lain otomatis sesakkan jalan pernapasan Jeongguk kala itu juga.
Papa; selalu tersenyum hangat. Di belakang atau di depan kamera. Jeongguk senang kalau Papa sudah memintanya duduk di ruang tengah, berhadap-hadapan; atau di ruang kerjanya. Karena dengan demikian, Papa akan mulai bercerita tentang pelajaran hidup, tentang kakek neneknya, tentang apa pun. Dan—kakak lelakinya. Jeongguk memang acapkali menjadi kurban iseng; dilempar mainan kodok, matikan lampu saat mandi; tapi begitu kabar overdosis kakaknya tiba di satu hari, separuh nyawa Jeongguk agaknya hilang. Dia terbiasa ikuti langkah kakaknya; dan tiba-tiba dia yang harus ambil setir dan jaga Mama. Sendirian.
Jeongguk tak ingat sejak kapan pandangannya buram, larikan atensi pada satu per satu ekspresi bahagia yang waktu itu jelas tertuju padanya.
Napasnya tercekat, bulir airmatanya mulai menetes. Mulai sesenggukan saat sepasang lengan lingkari lehernya dari belakang.
Jeongguk raih Taehyung yang sejajarkan wajah di sampingnya, ikut leburkan fokus dalam sudut pandang pasangannya.
"Thank you, angel." Lirihan Jeongguk dibawa ke sebelah pipi Taehyung; pejamkan mata dan eratkan peluk.
"Apa pun buat mas Jeongguk."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 11:11 • KOOKV
Fanfictaehyung berpikir, mungkin lebih baik ia dijodohkan atas dasar rekan bisnis saja sekalian. lebih nyata. hidupnya terasa seperti mainan sekarang. +kookv. +older!jeongguk (cannot move on from mas jeongguk). +marriage!au (help me; bear with me). +basic...