second chance

9.2K 1.2K 31
                                    

Air muka Mama benar-benar tak bisa dibaca pada detik pertama Taehyung langkahkan kaki di kediaman keluarga Jeon. Di sisi lain, pelukan wanita itu kepalang erat; dengan tambahan usapan sayang di punggung Taehyung. Langkah mereka beriringan menuju ruang tengah, Taehyung biarkan keranjang Yeontan terbuka di salah satu sofa—makhluk kecil itu tertidur di jalan.

"Mas Jeongguk nggak ada kabarin Mama?" tanya Taehyung akhirnya; tidak suka keheningan di sekitar.

Yang ditanya lantas menggeleng; terima hantaran minuman yang dibawakan maid. Iya. Mansion gigantis dengan hanya Mama penghuninya—ditambah beberapa pekerja, tentu. Pantas Mama lebih menikmati waktunya di luar rumah—cek aset di luar negeri, kunjungi Taehyung, bahkan Mama pernah kirim foto sedang makan siang bersama Bunda.

"Jeongguk sudah cerita ke kamu, Sayang?" Nada bertanya Mama ragu; munculkan kebimbangan dan perasaan negatif tambahan untuk Taehyung. "Jeongguk cerita alasannya pergi seminggu?"

Taehyung kerutkan dahi.

Pasangannya hanya bilang harus ke luar kota—selama seminggu. Tak pernah bilang alasannya apa. Namun Taehyung sudah otomatis berpikir untuk bekerja—mengingat bisnis keluarga Jeon yang sebegitu besar. Ini baru ke luar kota. Taehyung harus siap jika tiba-tiba Jeongguk memberitahu bahwa ia harus menyeberang benua.

Pandangan Mama nanar waktu Taehyung menggeleng. Bawa tangan dan genggam jemari Taehyung—memohon dan menenangkan dalam diam.

"Besok—tanggal peringatan kematian suami Mama." Kalimatnya singkat, namun Taehyung rasakan pula hatinya tertohok. "Hari ini; sekian tahun yang lalu, berita overdosis anak pertama Mama—kakak Jeongguk—sampai ke rumah."

"Papa—"

"Anak pertama Mama lebih dulu—Jeongguk masih SMA tingkat akhir waktu itu. Dan suami Mama—dia masih terseok bangun bisnisnya. Tiga tahun kemudian—Papa ...." Taehyung balas pegang tangan Mama; tenangkan. "Miris kalau Mama ingat tentang itu, Taehyung, dan Mama nggak pernah bisa paksa Jeongguk buat tinggal di rumah setiap tanggal ini datang. Dan—dan Mama maupun Jeongguk masih—masih menolak buat datang; memperingati. Karena Mama benci rasanya mengingat dua orang terkasih Mama pergi—"

"Ma ...." Taehyung rengkuh bahu Mama, tenangkan wanita itu yang tengah biarkan kesedihannya tumpah. Taehyung sedih—tentu; merasa kecewa dengan diri sendiri karena tidak menyadari hal ini lebih dulu. "Mas Jeongguk—pergi ke mana?"

Lawan bicaranya hela napas ke udara. "Jeongguk tempati sebuah vila—untuk menyendiri, biasanya. Mama nggak bisa cegah dia; Mama hormati. Walau kadang, Mama khawatir."

Taehyung anggukkan kepala paham.

"Mama boleh bilang alasan kenapa Mama punya keinginan besar tentang kalian?" Beberapa saat setelah suasana hening, pertanyaan itu menggantung di udara. Taehyung nyamankan tubuh, penuhi permintaan Mama untuk ikuti beliau ke kamar utama. "Mama cuma ingat, suami Mama punya rekan kerja yang amat dia percaya. Ayah kamu. Dan Mama bahkan nggak tahu kalau dia punya anak; atau tempat tinggalnya, Mama buta semuanya. Mama cuma ingat mendiang suami Mama benar-benar junjung tinggi bantuan moral Ayah kamu.

"Pertama kali bertemu orangtua kamu pun waktu pemakaman Papa; dan ... Mama nggak ekspektasi apa-apa, Tae. Jeongguk cuma hadir sebentar dan setelahnya; dia asingkan diri. Itu awal mulanya." Mama hela napas, terima helai tisu dari Taehyung yang jalan sedikit ke arah nakas. "Mama benar-benar berharap ini takdir. Ketemu kamu, beli lukisan kamu, dan—lihat kamu sama orangtua kamu di pertemuan berikutnya. Mama inget Jeongguk—anak Mama yang tersisa—yang harus Mama jaga ....

"Jeongguk tolak permintaan Mama waktu itu." Taehyung biarkan Mama larikan jemarinya di sepanjang sisi wajahnya; onyx yang serupa dengan milik pasangannya bersinar sayang. "Tapi begitu dia ketemu kamu," Mama senyum, "dia bilang, mungkin dia bisa coba. Mama senang bukan kepalang, Tae. Dan waktu orangtua kamu juga hubungin Mama buat kasih tahu kalau kamu setuju; rasa bahagia Mama sebanding seperti waktu Papa bilang akan jalani hidup sama Mama."

Taehyung tersenyum—lebar. Pertanyaan besar yang menggantung di kepalanya selama ini terjawab. Lega. Taehyung tak perlu berpikir terlalu jauh tentang bagaimana harus bersikap di depan Jeongguk—walaupun kondisi penthouse tidak sedingin saat pertama kali; tapi perasaan ini yang Taehyung cari. At least, Jeongguk and him were on the same boat in the beginning—they just don't know how to act around each other that time.

"Ayah sama Bunda pun begitu, Ma." Taehyung memulai. "Bunda lihat gimana mas Jeongguk sebegitu sayang ke Mama. Ayah dan Bunda yang yakinin aku; karena aku benar-benar ketakutan. Nggak mungkin anak seorang pengusaha bisnis besar lirik aku—"

"Sayang, kamu terbaik buat Jeongguk." Mama balas senyum; genggam tangan Taehyung hangat. "Jeongguk nggak mungkin habisin waktu dua jam nelepon Mama sama Bunda waktu kamu sakit kalo dia nggak peduli kamu. Dia panik—dia pengen rawat kamu, padahal Mama tinggal telepon dokter pribadi."

"Seriusan, Ma?" Taehyung tertawa geli juga; bayangkan bagaimana Jeongguk di ruang tengah mereka, telepon di telinga dan ceritakan semuanya ke Mama. Meanwhile, Mama juga tahan ketawa sambil beri instruksi A sampai Z ke anaknya.

Mama cuma mengangguk buat jawaban. "Jadi, tolong percaya sama Jeongguk, ya? Dia pasti pulang. Dia cuma butuh waktu buat distraksi beberapa hari ini, hm?"

Taehyung aminkan; lantas ajak Mama makan siang di luar. Yeontan menghambur ke arahnya sekeluarnya mereka dari kamar Mama. Menyalak kecil; tak berontak waktu Mama meraup makhluk kecil itu ke pangkuan.

Dan Taehyung?

Dia keluarkan ponselnya; jemari gerak cepat buat satu pesan.

Mas Jeongguk? Aku tunggu di rumah. Cepat pulang.

[✓]  11:11 • KOOKVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang