endearing words

9.2K 1.2K 53
                                    

"Diminum dulu teh-nya, nak Jeongguk."

Yang namanya dipanggil tersentak pelan, angkat wajah singkat dan mengangguk kaku. Figur yang selama acara pernikahan mati-matian ia hindari sekarang berdiri ramah di seberang meja. Gurat mukanya menurun ke Taehyung—iya, pasangannya miliki sebagian besar kemiripan dengan ibunya. Hati Jeongguk hangat.

"Makasih, Bun."

Senyum keibuan dilayangkan padanya; pada Jeongguk yang duduk canggung di sofa kediaman keluarga Kim. Keadaan vila berantakan waktu ia tinggalkan—bungkus makanan cepat saji, pakaian entah kapan, botol minum; Jeongguk miliki keinginan kuat kunjungi keluarga Kim di detik terakhir. Iya. Saat langit masih belum terang; pikiran sehatnya yang sapa dia. Paksa untuk mandi, bebersih, siapkan pakaian layak. Jeongguk masih punya satu tanggungan.

Kursi seberang ditarik. Putra keluarga Jeon angkat muka.

"Maaf saya tiba-tiba dateng, Bun." Suaranya kecil—sedetik hilang sudah kewibawaannya sebagai pewaris bisnis keluarga. Sisakan jiwa lelaki muda yang masih perlu dituntun. "Saya mau minta maaf."

Ikat rambut Bunda yang longgar sisakan helai halus di kanan dan kiri wajahnya. Alisnya lantas menukik bertanya. "Minta maaf karena apa, nak Jeongguk?"

"Karena saya mengiakan permintaan Mama. Karena saya ambil Taehyung terlalu cepat dari Bunda dan Ayah. Karena saya bersikap nggak sopan waktu acara. Karena saya—"

"Hei, nak Jeongguk." Bunda potong rambling Jeongguk, ulurkan lengan ke permukaan meja untuk ambil atensi. "Bunda harap pikiran nak Jeongguk dijauhkan dari hal-hal negatif; karena menurut Bunda, semua anggapan itu salah. Bunda tahu, hubungan kalian memang masih seumur jagung dan ini betul langkah yang terlalu cepat, tapi Bunda yakin kalian bisa belajar sama-sama?

"Bunda lihat nak Jeongguk sayang sekali ke Mama; dan Bunda serta Ayah jadikan itu untuk menilai nak Jeongguk." Penjelasan wanita di hadapannya buat Jeongguk helakan napas. "Bunda dan Ayah percayakan Taehyung ke nak Jeongguk."

"Tapi saya buat satu kesalahan lagi setelahnya."

Bunda tak merespons. Ia tarik kembali tangannya; letakkan di pangkuan dan remat satu sama lain. "Nak Jeongguk hanya butuh ceritakan semuanya pada Taehyung—alasannya, kegundahan nak Jeongguk. Bunda yakin Taehyung mengerti."

Sebelah alis Jeongguk naik. "B—Bunda tahu?"

"Mama bilang ke Bunda, Taehyung sudah dua hari menginap di rumah. Khawatirin nak Jeongguk; nggak suka tinggal sendirian kalau pikirannya sedang kacau," senyum Bunda dan saat itu, Jeongguk merasa seperti orang paling berengsek di dunia. "Bunda nggak marah, tolong diingat. Bunda cuma minta nak Jeongguk selesaikan semua urusan yang belum selesai lalu pulang, oke? Ceritakan semuanya ke Taehyung."

Maka, permintaan dari Bunda-lah yang memacu Jeongguk parkirkan mobil di tempat yang sama sekali tak mau ia kunjungi. Berdiri—minta pada Tuhan; tiap tahun; untuk tidurkan dia di tanggal tertentu lantas bangunkan lagi kalau waktunya sudah terlewat.

Iya. Jeongguk seputus asa itu. Gunakan obat tidur kalau perlu—ia tak peduli.

Jeongguk pikir ia akan terdistraksi apabila habiskan waktu membalas chat Taehyung, mengobrol lewat FaceTime, lihat kelakuan Yeontan, atau simply minta Taehyung tunjukkan hasil lukisan. Tapi nyatanya, helai tanggalan di dinding pun record tanggal di telepon tetap buat ia semaput.

Jeongguk tak bisa bayangkan kalau tahun ini ia nekat tetap tinggal di penthouse. Ia tak mau tunjukkan sisi diri yang berantakan di depan Taehyung—ia tak mau bebankan Taehyung.

Berdiri diam; bayangkan jika Papa dan kakak lelakinya turut duduk mendengar. Tapi toh, hanya sebaris kalimat yang ke luar.

"Saya cuma menyesal; nggak melakukan ini lebih cepat."

Dan setidaknya ada dua jam Jeongguk duduk di kursi kecil yang menghadap deretan nama; di mana di dalamnya tergabung pula nama dua orang terkasihnya.

Dua jam. Jeongguk duduk diam, ditemani desir angin gerakkan kelopak magnolia dalam vas di pangkuannya—khusus ia bawakan, karena Papa cinta sekali bunga itu. Yang Papa bawakan waktu pernikahannya dengan Mama. Yang kemudian tarik Mama bertemu Taehyung.

Pukul sebelas malam, keadaan vila kembali ke state awalnya; sementara Jeongguk baringkan dirinya di sofa panjang. Sayup-sayup film yang diputar di teve tenangkan pikiran, pun seluruh ruangan yang sudah bersih. Jeongguk lakukan kerja bakti sepulangnya dari pemakaman.

Rambutnya masih setengah basah. Manuver tubuh untuk raih telepon di meja kopi, di sebelah bungkus makanan cepat saji.

Masih banyak notifikasi yang belum ia buka—sejak ia balas pesan Taehyung di tengah hari. Setelahnya, Jeongguk anggurkan, masukkan ke mode pesawat.

Rasa bersalahnya tumbuh. Setelah kepalanya kembali normal, ia rindu Taehyung. Rindu sekali. Dadanya sakit; bahkan. Ingin secepatnya bertemu, namun Jeongguk tahu itu tak bijaksana. Ia perlu tenangkan diri lagi; dan temui Taehyung dengan bawa penjelasan. Ia berhutang banyak.

Tapi toh, jemarinya bergerak di luar kendali. Halaman lock screen tampilkan Taehyung. Pergi ke home; senyum Taehyung tak ayal serang dirinya lagi. Lantas Jeongguk matikan mode pesawat.

Notifikasinya terlalu berisik—ia hampir emosi. Tapi biarkan senyum kecil mewarnai begitu nama Taehyung penuhi sebagian besarnya.

Tekan salah satu notifikasi—acak, yang penting milik Taehyung, ia tak peduli yang lain.

Bergerak ke area paling bawah. Ketik sesuatu. Senyumnya terpeleset; suasana hatinya gundah lagi. Sungguh, ia ingin pulang.

Sayang, saya rindu kamu.

[✓]  11:11 • KOOKVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang