"Taetaeee!!!!"
Taehyung bersumpah, dari dulu SMA sampai sekarang, suara Jimin tak berkurang melengking—bahkan lebih parah. Janji ketemu yang disusun lewat chat akhirnya kesampaian—lokasinya tak jauh dari penthouse dan tempat kerja Jimin. Sahabatnya sedari kecil itu bahkan izin setengah hari kalau-kalau pertemuan mereka lebih panjang dari rencana.
Aroma khas musim gugur—pumpkin spice latte dan sepiring kecil kudapan dengan labu sebagai bahan utama. Jimin menyeruput minuman hangat yang sudah Taehyung pesankan sebelumnya.
"Apa kabar?"
"Ya ampun, kamu bahkan selalu tanya itu di chat, Jim," senyum Taehyung. "Aku baik. Salam dari mas Jeongguk juga; maaf waktu di acara dia nggak sempet ngobrol banyak sama kamu dan bang Yoongi."
Jimin tiup poninya ke udara. "Habisnya muka dia galak, Tae. Ya pantes kalau bisnisnya maju. Atasannya tegas kayak begitu," akunya; majukan bibir. Mantel disampir ke sandaran kursi. Jimin masih tak sukai cuaca dingin; jadi sweter di bawahnya pun terlihat tebal. "Jadi ... bagaimana?"
Taehyung berhenti dari aktivitasnya menyendok kue. "Bagaimana apanya, Jim?"
Senyum sahabatnya kelewat licik dan bandel. "Tinggal serumah dengan seorang pengusaha, rasanya menikah, dan uhm—first night?"
Hening sejemang—lalu wajah Taehyung luar biasa merah.
"Kamu bercanda."
"Ya ngapain aku bercanda, Tae." Jimin lempar tawa; maniknya tenggelam waktu dia senyum super lebar. "Kamu bilang di chat kalau suasana di rumah sekarang sudah lebih hangat. Berarti kalian lagi menuju next step, dong."
"Eh—kalau yang itu, belum."
Tawa Jimin buyar. "Serius?" Lelaki itu menyipit; tak mempercayai perkataan sahabatnya. "Serius, Tae. Jangan bercanda. Siapa pula bisa tahan nggak makan kamu, hah?"
"Jim, astaga. Kamu kira aku penari striptease?" Dahi Taehyung tersinggung; kerutannya dalam. Tapi toh, Jimin malah tetap mencecarnya—bahagia sekali malah. "Um—bagaimana ya. Aku ... malu? Serius. Lagi pula mas Jeongguk nggak minta apa-apa juga. Sekali, dua kali pernah sih mas Jeongguk di kamar mandi lama sekali; tapi mungkin dia sibuk bersih-bersih ...." Taehyung angkat bahu— tinggalkan Jimin yang melongo di tempatnya.
"Itu ... siang-siang?"
Hazel Taehyung berlari ke langit-langit kafe; terlihat berpikir. "Tengah malam, Jim. Itu pun aku terbangun soalnya pintu kamar mandi dibant—"
"Ampun! Nggak mungkin Mas Jeongguk-mu itu bersih-bersih tengah malam, Tae!" Jimin hampir meledak, pandangan para pelanggan kafe tak ayal dituju padanya. Setelahnya, lelaki itu hela napas, seruput minuman hangatnya; tenangkan diri. "Kamu tahu main solo kan?"
"Nyanyi?"
"Demi Tuhan, anak ini." Jimin tepuk jidat; dia lalu raih satu suap cake sebelum kembali pada tugas negara mengajari Taehyung. "Kalau seseorang sudah mau, dan nggak bisa dibendung, ya mau nggak mau dia main solo, Tae. Kayak orang maniak catur. Walaupun nggak punya lawan, dia tetep aja main sendiri, kan?"
"Mas Jeongguk main catur di kamar mandi?"
Mungkin kalau Jimin sedang pegang nampan, bakal ada nampan melayang di tengah-tengah kerumunan.
—
"Gimana tadi ketemu sahabat kamu? Maaf, saya nggak bisa nemenin kamu." Jeongguk berkata di tengah-tengah suapan. "Joon kasih tahu jadwal meeting di menit terakhir. Mau saya tinggalin tadinya, dan milih temuin kamu di kafe. Sekalian minta maaf sama sahabat kamu soalnya saya nggak acuh waktu di acara."
Ia dan Taehyung tengah duduk di sebuah tempat makan; yang menawarkan makanan lokal dan bukan di salah satu restoran hotel milik keluarga Jeongguk—permintaan Taehyung. Selain karena tempat ini sering Taehyung kunjungi, ia ingin mengenalkan menu fantastisnya pada Jeongguk. Yang tanpa dua kali pikir langsung disetujui, tentu.
Taehyung ingin terbahak tiap ia mengingat ekspresi wajah Jimin—yang frustrasi dan gemas; dan kesal, bisa jadi. Ia bahkan menraktir sahabatnya seporsi besar es krim karena Jimin tak berhenti memajukan bibir—berjanji pada Taehyung untuk membawa serta Yoongi dan memberi edukasi. Silly.
"Nggak apa-apa, mas Jeongguk, santai." Taehyung senyum lebar; dia memang berharap di satu waktu nanti mereka bisa properly bertemu. "Lagian Jimin pasti lupa kalau urusan begitu. Dia titip salam buat mas Jeongguk juga."
Jemari Jeongguk meraih gelas air mineral kemudian, menandaskan isinya. Jeongguk pastilah lapar. Dia barusan keluar dari mobil dengan pandangan sayu; sementara Taehyung lega pasangannya tidak tersasar. Walaupun mengikuti lokasi yang Taehyung kirim lewat chat, tempat favoritnya ini lumayan tertutup. Taehyung sendiri menghabiskan siangnya mengobrol dengan Jimin, mengunjungi studionya sebelum renovasi dimulai minggu depan (menurut informasi Mama yang semalam menelepon), lalu menuju ke restoran.
"Taehyung?"
Yang namanya dipanggil lantas usap sisa kuah di sekitaran bibirnya lalu mendongak.
"Ya, mas Jeongguk?"
"Saya ... boleh tanya sesuatu?" Jeongguk terlihat bimbang; intonasinya pelan seolah dia takut pertanyaannya nanti bakal munculkan respons tak enak. "Sahabat kamu tahu tentang ... kita?" tanya Jeongguk akhirnya; buka mulut lagi untuk penjelasan lanjut, "maksud saya, tentang alasan di balik ... ini."
Awalnya Taehyung bingung; kentara dari bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Tapi, kemudian, senyum merekah dan Taehyung ulurkan tangan. Bold. Dia genggam tangan Jeongguk yang sibuk mainkan taplak.
"Jimin tahu, tapi dia hormati alasannya, kok," katanya—senyum kecil buat yakinkan Jeongguk. "Lagi pula, mas Jeongguk lihat sekarang, kan? Kita menuju ke sana. Kita kan sama-sama belajar, hm?"
Hela napas ke udara. Jeongguk terlihat masih bimbang. "Saya cuma takut, kamu—ini di luar ekspektasi kamu. Nggak sampai, malah."
Kerut tipis muncul di dahi Taehyung. "Itu harusnya jadi hal yang aku takutin. Aku takut—disejajarin sama mas Jeongguk, aku nggak pant—"
"Jangan diterusin, Taehyung." Pasangannya memotong tiba-tiba; awalnya jemarinya digenggam, namun sekarang keadaan berbalik. Telapak tangan Jeongguk berkeringat; gugup. "Saya justru beruntung—kamu pengertian. Saya sulit ungkapkan perasaan saya; makanya orang berpikir saya sulit didekati. Namjoon selalu bilang buat hilangkan raut galak saya—tapi sumpah, Tae, muka saya emang begini."
"Itu namanya resting bitch face, mas Jeongguk!" Taehyung lantas terbahak, suaranya ringan—Jeongguk amat suka mendengarnya. Berharap bisa mendengarnya terus, bahkan di sela dinding membosankan di kantor.
"Resting—apa?"
"Nggak penting." Taehyung menutup pembicaraan akhirnya; dua tangan genggam milik Jeongguk erat. "Bunda pernah bilang; aku beruntung karena mas Jeongguk sayang sekali ke Mama. Dari situ Bunda dan Ayah akhirnya balik yakinin aku. Jadi, kita sama-sama beruntung, oke?"
Tanpa ditebak, Jeongguk lepaskan pegangan Taehyung—angkat sebelah tangannya lantas ia usap telapak tangan di pipi pasangannya. Lembut. Cuping telinga Taehyung memerah malu—Jeongguk tak kuasa tahan rasa sayangnya yang mulai terbentuk dan bertambah besar setiap hari.
"Saya milik kamu. Dan kamu milik saya," katanya pelan. "Deal?"
Senyum Taehyung sematkan manik yang menyipit seperti bulan sabit. "Deal."
Jeongguk hanya pikirkan satu kata tentang Taehyung kala itu. Manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 11:11 • KOOKV
Fiksi Penggemartaehyung berpikir, mungkin lebih baik ia dijodohkan atas dasar rekan bisnis saja sekalian. lebih nyata. hidupnya terasa seperti mainan sekarang. +kookv. +older!jeongguk (cannot move on from mas jeongguk). +marriage!au (help me; bear with me). +basic...