Many years later
Siang menjelang sore yang cerah menemani seorang pria yang tengah duduk bersandar membelakangi jendela dengan laptop menyala diatas meja. Sinar mentari yang menerobos masuk menciptakan siluet indah pada jarak kosong disekitarnya.
Attala menoleh ketika ponselnya menyala diiringi dengan sebuah ringtone tanda panggilan masuk. Terpaksa ia memindahkan posisi tangannya yang sejak tadi bertengger diatas mouse untuk segera mengangkat telepon tersebut.
"halo, selamat siang pak." sapanya.
Sambil membagi fokus pada layar laptop, Attala merespon suara diseberang sana dengan baik dan teliti. Seorang klien berkebangsaan Jerman yang lumayan fasih berbahasa Indonesia itu sudah beberapa kali menjadi tamunya dalam menjalankan bisnis perusahaan. Dan Attala dipercaya untuk memegang jabatan manajer ditempatnya bekerja itu.
"iya, laporannya sudah saya kirim e-mail ya pak. Sudah saya siapkan juga untuk pertemuan selanjutnya."
"ayah!"
Attala menoleh ketika seorang gadis kecil memanggil dari arah pintu. Sambil mengarahkan satu telunjuk dibibir—mengisyaratkan anaknya itu agar tidak berteriak, Attala kembali menyahuti obrolan dari telepon tersebut.
Ayah satu anak itu tersenyum tipis kemudian mengangkat tubuh mungil Aini untuk dipangkunya.
"oh iya, besok mau makan siang apa pak? Biar saya koordinasikan." tanyanya yang kemudian disusul tawa pelan. "oh siap, baik pak. Iya, terima kasih pak sebelumnya. Selamat siang."
Usai menyudahi sambungan tersebut, Attala kembali meletakkan ponselnya diatas meja. Kemudian berfokus pada gadis berusia lima tahun yang tengah duduk dipangkuannya itu.
"ayah,"
"hm? Apa sayang?"
"kok ayah kerja mulu sih, kan waktu itu ayah janji mau ngajak aku sama bunda jalan-jalan?"
Pertanyaan polos yang mengandung sebuah keluh kesah itu membuat senyum dibibir Attala memudar. Sembari menyisir lembut rambut anaknya, ia menghela nafas panjang.
"loh, Ain kan liat sendiri tadi ayah ditelepon sama bos di kantor. Terus kalo gak kerja, nanti gak punya uang buat jalan-jalan." jawabnya lembut. Meski penuh akan perhatian, yakinlah semua kata itu mengandung kebohongan belaka. Attala punya banyak uang untuk pergi dengan anak dan istrinya, hanya saja ia masih menolak hal yang lain.
"yaahhh, terus kapan dong mainnya?" rengek Aini.
"nanti ya sayang, tunggu ayah dapet liburannn panjang. Oke?"
"ayah besok berangkat pagi lagi?"
Attala mengangguk sekali.
"aku kan pengen dianterin ke sekolah sama ayah."
Melihat raut wajah sang anak yang mendadak murung membuat Attala jadi semakin tidak tega.
"temen aku pernah bilang bunda cantik, tapi mereka gak tau ayah. Aku bilang ayah aku juga ganteng, cuma ayah lagi kerja."
Senyum dibibir Attala kembali terukir, menyimak kalimat-kalimat polos dari si kecil yang baru masuk taman kanak-kanak tersebut. "kenapa begitu? Emang kamu tau ganteng itu apa?"
"kayak ayah."
Lantas cowok itu tertawa sambil mencubit pelan pipi sang anak. "ya udah, besok ayah anterin kamu sampe sekolah. Tapi nanti pulangnya sama bunda ya?"
Sontak mata gadis kecil itu langsung berbinar, "asikkk!" serunya senang.
Memangnya apa yang dapat dilakukan Attala selain tersenyum juga ikut bahagia. Karena Aini adalah darah dagingnya juga. Aini tetaplah anugerah yang Tuhan percayakan kepadanya untuk dijaga. Tak peduli dengan embel-embel hubungan gelap yang dilakukan dua manusia dewasa pada masanya, anak itu tetap tidak bersalah.
![](https://img.wattpad.com/cover/203556014-288-k881482.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Before We Done;Spin off Attala // NCT Taeyong
FanfictionSebelum kisah antara aku dan dia benar-benar selesai. Banyak hal gila yang harus kupertimbangkan, namun nampaknya cinta darimu juga belum bisa kurelakan begitu saja. Before We Done © chojungjae, October 2019 ⚠ Do Not Copy / Plagiarism ⚠ ☀Dedicated t...