Tidak perlu dibumbui lagi dengan kesalahan baru kondisi rumah tangga Attala dan Adel sudah terbilang hampa. Tak ada rasa. Sekarang harus pula menderita dengan acara pisah ranjang.
Selama seminggu penuh Adel tidur di kamar tamu sendirian. Sedangkan Aini dibiarkan di kamar biasa bersama Attala. Terjadi? Ya. Semenjak menikah dan tinggal satu atap dengan Attala, hidup Adel terasa penuh dengan kejutan menyedihkan. Bahkan yang terakhir kemarin adalah salah satu yang terbaru.
Adel menyendiri karena merasa penuh tekanan. Lebih parahnya lagi, belakangan ini ia menjadi tak acuh pada siapa dan dalam kondisi apapun. Perlu digaris bawahi, semua terjadi karena adanya faktor pencetus. Bukan karena ia sengaja. Nyatanya goncangan batin itu terlalu menekan hebat dan membuat Adel harus mendapati masalah psikologis seperti ini.
Selama satu minggu pula—Attala harus ekstra mandiri. Yang biasanya sebelum berangkat pasti sarapan, kini tidak lagi karena memang tidak ada masakan apapun setiap hari. Yang biasanya pulang kerja ditanya mau mandi air hangat atau tidak, kini harus menikmati semua kesendirian itu.
Setelah selesai bersih-bersih, Attala mengambil posisi disebelah Aini yang sudah terlelap. Gadis yang memiliki wajah perpaduan antara dirinya dengan sang istri tertidur begitu tenang. Sampai ketika Attala mengecup pipinya, mengusap puncak kepalanya, atau dengan sengaja menciumi jemari mungilnya—yang dimana semua tindakannya itu menimbulkan pergerakan kecil terhadap Aini. Tapi si kecil tetap terpejam.
Senyum tipis yang menghiasi bibir Attala perlahan meluntur karena mendapati sesuatu yang tidak wajar pada anaknya itu. Kembali disentuhnya tangan dan sisi wajah Aini dengan cepat. Kemudian ia langsung mengguncang pelan tubuh itu agar sang anak segera terbangun dari tidurnya yang janggal.
"Aini?" panggilnya.
Tak ada respon. Tubuh Aini mulai terasa dingin dengan pola pernafasan yang tidak seperti biasanya. Lambat dan jarang.
Semakin panik, Attala segera mengangkat Aini dan membawanya keluar. Ditemuinya Adel yang tengah meringkuk diatas tempat tidur. Persetan dengan pertengkaran mereka, itu tidak berlaku disaat kritis seperti ini.
"Adel," panggilnya, "Aini, Del."
Sang istri yang memang belum tidur langsung mengambil posisi duduk dengan raut wajah yang mendadak jadi terbawa tegang.
"Aini kenapa?" tanyanya panik.
Tapi yang ditanya hanya memandang kearahnya dengan sorot mata yang penuh kecemasan. Ia menggeleng cepat karena memang tidak tau juga apa yang tengah terjadi.
"kita ke rumah sakit." ucapnya.
Tanpa membuang waktu lagi, Adel segera beranjak. Mengikuti langkah Attala yang tergesa menuju tempat dimana mobil mereka terparkir.
Tak pernah mereka sangka sebelumnya kalau malam ini sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Begitu sampai di rumah sakit terdekat, Aini langsung dilarikan ke unit gawat darurat untuk dilakukan penanganan lebih lanjut karena sempat mengalami gagal nafas beberapa saat setelah sampai disini.
Adel yang memang kondisi tubuhnya sedang kurang prima hanya bisa berjongkok didekat pintu UGD sambil menumpu kepala dengan lututnya. Semakin frustasi. Pikirannya buntu sehingga tak bisa berbuat apa-apa. Yang ia inginkan sekarang adalah mukjizat untuk sang buah hati.
Melihat itu Attala jadi merasa nelangsa. Hatinya juga merasakan sakit yang luar biasa. Ia merasa bersalah dan selalu memiliki persepsi kalau Adel dan Aini jadi seperti ini karena ulahnya juga.
Baru saja hendak menghampiri, Adel sudah lebih dulu bangkit meski terlihat kesulitan karena harus menahan bobot tubuhnya sendiri yang tidak seimbang. Ia lalu mengambil duduk pada salah satu kursi tunggu yang ada disana. Diikuti Attala tak lama setelahnya.
"Del,"
Tak ada jawaban, tapi Attala yakin kalau istrinya itu pasti akan mendengarkan ucapannya.
"yang kemarin itu—"
"bisa gak jangan ngomongin Kinan sekarang? Mikirin Aini aja aku udah pusing." potong Adel cepat.
Keduanya saling bertatapan. Terasa sekali kalau bara api itu berusaha untuk melunakkan lempengan baja yang ada didepannya.
"aku gak—"
"aku nyesel kenapa gak ada disamping Aini. Aku nyesel kenapa bisa selalai ini sama anak sendiri sampe akhirnya harus kayak gini. Tadi sebelum kamu pulang juga dia gak apa-apa, Ta."
Attala terdiam, memandang kedua manik didepannya yang sekarang sudah dihiasi cairan beningnya. Karena merasa tak sanggup, Adel akhirnya terisak juga.
"enggak, Del. Aku yang salah, jadi aku yang minta maaf. Oke?" tutur Attala. Karena didorong oleh kepentingan yang ada, direngkuhnya tubuh sang istri ke dalam dekapan. "kamu tenang ya? Aini pasti baik-baik aja."
Sementara Adel hanya bisa menenggelamkan wajah dibahu lebar itu dengan lesu. Tak peduli air matanya mengalir lalu membasahi pakaian Attala. Yang ia butuhkan saat ini benar-benar hanya sebuah sandaran. Itu saja.
☀☀☀☀☀
Beberapa menit yang lalu dunia terasa berhenti berputar, lalu beberapa menit kemudian semua keadaan itu berbalik semula. Wajah pucat Adel kembali berona begitu mendengar kalau tim medis berhasil menangani anak mereka. Aini tertolong dan paramedis berhasil menyelamatkan nyawanya. Meski membutuhkan waktu cukup lama untuk itu.
Attala berdiri, memandang lurus kearah sang istri yang tengah meratapi penyesalan dalam dirinya sambil terus membelai puncak kepala Aini. Ia terlihat begitu rapuh sekarang. Semua luka meremukkan tubuhnya luar dan dalam.
"Adel," panggil Attala seraya menarik pelan lengan istrinya sehingga posisi mereka berhadapan sekarang.
Tak tega, itu adalah poin pentingnya. Dengan penuh percaya diri dan setelah berhasil mengesampingkan semuanya, untuk pertama kalinya pula Attala yang lebih dulu menatap matanya. Teduh, tapi juga terlukis penuh dengan luka yang memilukan. Tak lama jemarinya bergerak, menyentuh wajah Adel dengan begitu lembut. Menghapus semua jejak air mata yang menganak sungai pada pipi pucat itu.
"maafin aku. Aku mau kamu balik, Adel. Tidur sama aku supaya kita bisa terus sama Aini." lirihnya.
Tapi nampaknya semua ucapan Attala membuat Adel kembali harus bermandikan air mata. Bukan karena tidak ingin, tapi lebih karena semuanya terjadi diluar ekspektasi. Terharu, jelas. Digenggamnya tangan sang suami lembut, kemudian ia mengangguk sebagai jawaban yang mengartikan bahwa dirinya setuju.
Setelah tersenyum tipis, Adel kembali melingkarkan kedua tangannya ke sisi tubuh Attala. Memeluknya dengan erat seakan tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Semua beban yang menekannya selama ini seolah lenyap. Tubuhnya ringan dan ia bisa tersenyum sekarang.
Sementara Attala balas memeluknya kaku. Berbeda dengan Adel, ia jelas masih belum bisa tersenyum karena semua tindakan yang ia lakukan ini hanya demi anak mereka. Juga rasa tak tega ketika melihat Adel mengalami depresi dan hampir kehilangan kendali dirinya. Kalau soal hati, Attala masih belum bisa memberikan pada wanita selain cinta terindahnya selama ini. Ia hanya berusaha melakukan kewajibannya sebagai seorang pemimpin rumah tangga tanpa dilandasi perasaan.
☀☀☀☀☀
/cinta pertama aku/
( TДT)Follow my instagram @chojungjaeee thankyou! 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Before We Done;Spin off Attala // NCT Taeyong
FanficSebelum kisah antara aku dan dia benar-benar selesai. Banyak hal gila yang harus kupertimbangkan, namun nampaknya cinta darimu juga belum bisa kurelakan begitu saja. Before We Done © chojungjae, October 2019 ⚠ Do Not Copy / Plagiarism ⚠ ☀Dedicated t...