Untuk pertama kalinya ponsel Adel berdering dengan nama Attala tertera disana. Senyum pahit tercetak dibibirnya setiap kali mengingat hari-hari kemarin. Baginya, Attala hanya menelepon untuk memastikan bahwa ia dan anak mereka dalam keadaan yang baik sekarang. Bukan untuk meminta kembali menetap disisinya.
Tanpa berniat mengangkat telepon tersebut, Adel lanjut menjejalkan susu kotak ke dalam tasnya yang sengaja ia beli untuk Aini. Sudah waktunya untuk menjemput sang anak sekarang, setelah dua hari absen dari sekolahnya tanpa keterangan.
Seperti janji yang sudah dibuat sebelumnya dengan salah satu pengajar PAUD melalui pesan singkat, Adel harus bertemu lebih dulu ketika sampai disana.
"maaf, bu.." Adel tersenyum kaku, "kemarin Aini baru dari rumah neneknya dua hari." ucapnya singkat.
"oh saya pikir ada apa, soalnya tumben mama Aini juga gak kirim pesan sama saya."
Adel hanya bisa tersenyum lagi untuk menutupi yang terjadi dibalik semua itu.
"kalo saya boleh tau, Aini baik-baik saja kan mam? Soalnya hari ini agak kurang aktif dan saya liat lebih sering duduk sendirian. Tadi sempat saya tanya, tapi anaknya diam saja."
"mungkin kelelahan aja bu, soalnya kemarin main terus. Biasa, kangen sama neneknya." kekeh Adel diujung kalimat.
Setelah beberapa saat pertemuan singkat itu pun berakhir meski banyak yang harus ditutupi oleh Adel. Ia tau dengan pasti bahwa semua perkataan yang terlontar dari bibirnya masih menimbulkan tanda tanya besar bagi sang guru, namun juga ia sudah berusaha keras membuat keadaan seperti tidak terjadi apa-apa.
Adel memilih menunggu didepan kelas dan begitu kelas dibubarkan, netranya langsung menangkap pemandangan Aini yang tengah berjalan dengan raut sedih. Sesuai dengan laporan yang disampaikan kepadanya.
Perasaan bersalah kembali mencuat. Tak tega karena harus melihat anaknya jadi seperti ini. Meski begitu tak ada yang dapat dilakukan lagi. Keadaan mendesak mereka untuk menjadi manusia yang lebih tegar dari sebelumnya. Sambil terus berusaha menyemangati diri, Adel memasang senyum seperti biasanya. Ia memang harus baik-baik saja, dengan begitu Aini juga akan baik-baik saja.
"kok cemberut anak bunda?" Adel tersenyum, menekuk lutut ketika sudah berhadapan dengan sang anak. "kenapa?"
Gadis kecil itu hanya menggeleng singkat sebagai jawaban.
"capek ya? Kalo kamu sedih, nanti bunda juga sedih deh. Mana senyumnya?"
"bun, kita pulang ke rumah yangti lagi?" tanya Aini sendu.
Adel sangat memahami anak kandungnya sendiri karena bagaimanapun juga ikatan batin antara mereka begitu kuat. Gadis itu pasti sangat ingin bertemu dengan ayahnya sekarang. Tapi apa boleh buat, dirinya sendiri pun masih belum siap bertemu dengan Attala. Sangat tidak siap.
Terpaksa dianggukannya kepala, "kan kita udah lama gak nginep di rumah yangti. Baru dua hari, masa mau pulang?" bujuknya. "yuk, nanti kita buat kue di rumah eyang. Ya?"
Entah karena kehilangan semangat atau pada dasarnya anak kecil tidak bisa berontak, maka Aini pun kembali menurut. Keduanya berjalan keluar dari halaman sekolah dengan Adel yang terus menggenggam tangannya.
Tanpa diduga dan tanpa ada tanda-tanda apapun sebelumnya, terlihat dari jarak yang tak begitu jauh, Attala berdiri menjulang dengan mobil sedannya yang terparkir dipinggir jalan. Dan cowok itu juga tengah memandang lurus kearah mereka.
Dengan cepat Adel berniat mengalihkan perhatian sang anak dan ingin melewati jalan lain. Tapi sayangnya Aini keburu menangkap sosok ayah yang dirindukannya itu. Kedua matanya berbinar ketika melihat Attala, serta ekspresi sendunya berubah menjadi sangat gembira. Terasa jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Before We Done;Spin off Attala // NCT Taeyong
أدب الهواةSebelum kisah antara aku dan dia benar-benar selesai. Banyak hal gila yang harus kupertimbangkan, namun nampaknya cinta darimu juga belum bisa kurelakan begitu saja. Before We Done © chojungjae, October 2019 ⚠ Do Not Copy / Plagiarism ⚠ ☀Dedicated t...