●delapan belas●

684 86 7
                                    

Duduk sendirian sambil menatap kosong pada lantai dibawahnya sudah menjadi rutinitas Attala belakangan ini. Kegiatan membosankan itu sudah seringkali ia lakukan dan akan berakhir dengan sebuah helaan nafas panjang tanpa hasil yang berarti.

Tapi kali ini Attala tak sendirian karena disebelahnya ada seorang gadis kecil yang duduk entah sejak kapan.

"Aini?"

Sebisa mungkin cowok itu merubah ekspresi wajah ketika mendapati anaknya juga ada disana. Ia menyerong posisi sambil berusaha tersenyum lebar. Berbeda dengan Aini yang hanya menatap kearahnya dengan sorot sendu.

Senyum Attala juga perlahan memudar, "kamu kenapa? Kok sedih?"

"ayah sama bunda lagi berantem ya?"

Pertanyaan polos khas anak kecil itu mampu membungkam mulut Attala dalam hitungan detik. Ia tak menyangka dengan apa yang baru saja dilontarkan oleh anaknya sendiri.

"nanti aku gak bisa main lagi kalo ayah sama bunda berantem.."

Perlahan, suara gadis kecil itu disertai getaran yang lama kelamaan berubah tangis. Sambil mengusap matanya beberapa kali, Aini terisak.

Disaat seperti ini memangnya apa yang bisa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya, ketika semua yang diucapkan mengandung kebenaran. Attala tak ingin menyangkal karena bagaimanapun juga Aini harus tahu semuanya. Meski belum mengerti situasi yang terjadi, ia tetap berhak mengetahui tanpa ada satupun kebohongan didalamnya.

Sambil menghela nafas panjang Attala merengkuh tubuh kecil itu kedalam dekapannya. Diusapnya lembut kepala sang anak, berusaha menenangkan hanya dengan sebuah pelukan. Berharap bebannya pun akan berkurang setelah ini.

Hubungan suami istri yang sudah diujung tanduk itupun semakin merenggang. Dan lagi-lagi mereka harus tidur di ruangan yang berbeda. Adel di kamar biasa, sementara Attala di kamar yang lain dengan Aini yang memilih untuk terlelap didekatnya malam ini.

Dua insan itu sama-sama merasakan yang namanya sulit untuk tidur karena terlalu banyak yang dipikirkan. Meski tidak saling menatap, namun Adel masih dapat membayangkan saat-saat yang ia lalui bersama dengan Attala. Dan ia baru sadar setelah sekian lama, kalau Attala baru berani menyentuhnya jika cowok itu benar-benar butuh tempat bersandar. Selain daripada itu, ia akan bersikeras mempertahankan dirinya sendiri.

Terlalu lama menangis hingga dadanya sesak membuat Adel akhirnya terlelap dengan kondisi lelah.

☀☀☀☀☀

Tak ingin membuang waktu sekaligus menuruti permintaan Adel untuk segera diurus sampai tuntas, Attala pulang membawa surat permohonan gugatan cerai yang harus ditanda tangani oleh ia dan juga Adel.

Sambil membaca perlahan-lahan, Adel kembali terlarut dalam air mata. Seluruh tenaganya mendadak hilang, sehingga berat sekali untuk menorehkan tinta diatas kertas tersebut.

"Aini akan jadi tanggung jawab aku sampe kapanpun, semua kebutuhannya aku yang tanggung. Dan kamu, aku akan tetap biayain keperluan kamu buat khursus—"

"kenapa?" Adel lantas menatap Attala, "kamu takut aku jatuh miskin setelah pisah sama kamu?"

Cowok itu tak menjawab, hanya menautkan alis tak mengerti.

"yang perlu kamu tanggung itu cuma Aini dan aku gak butuh sama sekali harta kamu bahkan dalam bentuk recehan sekalipun, aku gak butuh." ucap Adel penuh penekanan.

Tak ada lagi yang bersuara, keduanya saling terdiam dengan pikiran masing-masing. Surat kuasa berisi permohonan perceraian kepada pengadilan agama masih tergeletak utuh diantara keduanya, namun Adel tak kunjung menandatangani meski pulpen sudah digenggamnya sejak tadi.

Ini adalah fase terberat dalam kehidupannya. Ketika ia harus memilih berpisah disaat rasa cinta terhadap suaminya sudah tumbuh sedemikian rupa. Semua itu terjadi semenjak mereka hidup bersama. Tapi apa daya, Tuhan memiliki rencana lain yang mungkin akan lebih adil terhadapnya.

"dulu aku ditinggal calon suamiku sampe akhirnya kelepasan berbuat hal yang enggak-enggak sama kamu, yang notabene juga udah punya calon istri." lirih Adel, ia tertawa hambar setelahnya. "dan sekarang aku harus ngerasain itu lagi. Bedanya ini lebih berat karena udah ada anak, dan yang ninggalin adalah suami aku sendiri."

"kamu cantik, Adel. Kamu juga baik dalam segi apapun. Tapi kamu gak bisa bahagia kalo hidup sama aku karena aku bukan laki-laki yang baik. Aku gagal memegang tanggung jawab sebagai suami, terutama semuanya yang berkaitan sama kamu. Aku gak lebih dari seorang pecundang yang masih berusaha untuk hidup tanpa harus mengorbankan orang lain lagi." balas Attala sama lirihnya.

"maaf, karena menempatkan kamu seolah-olah ada diposisi yang terjebak. Aku tau kamu sayang banget sama Kinan, dan kamu juga harus tau kalo aku gak ada niat sedikitpun buat ngerusak hubungan kalian. Semuanya cuma demi Aini.."

Attala menggeleng lemah, "Aini butuh ayah. Jadi kamu gak salah sama sekali waktu minta pertanggung jawaban sama aku. Aku yang harusnya minta maaf, karena pada akhirnya kita harus ada di titik ini."

Ganti Adel yang terdiam. Ia menunduk seraya menghapus jejak air mata dipipinya dengan cepat. Nafasnya mulai terasa sesak.

"aku mau kamu bahagia, Adel. Kamu berhak menemukan sumber kebahagiaan kamu, tapi bukan sama aku." lanjutnya.

"terus perasaan aku ke kamu selama ini artinya apa? Kenapa Tuhan ngebiarin aku jatuh cinta kalo pada akhirnya kita harus juga kayak gini? Mencintai sendirian itu gak enak loh, Ta."

Keduanya kembali terdiam setelah itu. Attala tau semua yang ia katakan hanya akan berarti alasan tanpa kejelasan bagi salah satu pihak. Karena pada dasarnya mereka berdua sudah berbeda sudut pandang.

Setelah beberapa saat tak ada yang berbicara, terlihat Adel menarik nafas dalam-dalam. "untuk yang terakhir kalinya, boleh aku langgar perjanjian kita untuk tidak saling menyentuh?"

Attala memandang lurus lawan bicaranya itu. Ia memahami apa yang dimaksud oleh Adel, kemudian memutuskan untuk mengangguk beberapa saat setelahnya.

Baru setelah itu Adel kembali berfokus pada surat perceraian. Ia menggigit bibir menahan ledakan dalam diri ketika mulai melukiskan tanda tangannya diatas kertas tersebut. Bukti bahwa ia menyetujui gugatan talak yang diajukan oleh Attala yang saat ini masih berstatus sebagai suaminya.

Diletakkannya pulpen itu bertumpukkan dengan kertas. Baru setelahnya Adel beranjak dari kursi dan berdiri dihadapan Attala. Keduanya saling melempar tatap selama beberapa detik, seolah ingin mengikis habis sisa kebersamaan yang masih ada sebelum benar-benar berakhir pahit.

Tangan Adel tergerak untuk mengusap sisi wajah Attala, dan tak ada respon penolakan apapun dari cowok itu karena ia sudah menyetujui permintaan terakhir sang istri sebelumnya.

Untuk yang terakhir, dan benar-benar terakhir. Adel mencium bibir Attala dengan segenap kasih yang ia curahkan saat itu juga. Juga sebagai tanda perpisahan yang abadi dan takkan kembali sampai kapanpun. Disinilah keduanya bersanding untuk yang terakhir, menyuarakan semuanya lewat sebuah bahasa tubuh.

☀☀☀☀☀












Gbye ayah attala :"))

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gbye ayah attala :"))

✔ Before We Done;Spin off Attala // NCT TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang