ASV-06

2.7K 320 29
                                    

Notes : cara komunikasi Jimin ada tiga. Menulis di kertas, mengetik di ponsel dan menggunakan sign language, semuanya ditunjukkan dalam italic/huruf miring.

Happy reading!

.
.
.
.

Senyum merekah di bibir Jimin setelah selesai menambah hiasan terakhir pada kue yang ia buat sejak pagi sekali, rasa kantuk karena kurang tidur bahkan tak dapat menganggu kesenangan hatinya saat ini.

Di hari spesial bagi adiknya, sulung Park tersebut sudah bangun tengah malam untuk menyiapkan sedikit kejutan. Ruang keluarga dihias dengan beberapa balon serta pita warna-warni, lalu tulisan 'Selamat Ulang Tahun, Jungkook.' tertempel rapi di dinding bagian tengah.

Untung saja hari ini libur sekolah, sang adik akan bangun lebih siang daripada biasanya sehingga Jimin tak perlu takut sosok itu terbangun sebelum semua siap. Apron yang digunakan ia lepas perlahan, dengan telaten membereskan beberapa peralatan bekas membuat kue dari atas meja makan sebelum kemudian mencucinya hingga bersih.

Jimin memutuskan duduk sebentar di kursi dekat meja makan untuk mengistirahatkan tubuh. Kue yang sudah jadi ia pandangi lekat seraya tersenyum sendu memperhatikan angka di atasnya. Tujuh belas.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, Jungkooknya kini semakin dewasa.

Hati Jimin terasa sesak mengingat perjuangan yang telah dilalui sejak kehilangan poros kehidupan mereka. Bahkan meski sembilan tahun berlalu, luka itu tak akan pernah sembuh, mereka berdua hanya dipaksa oleh waktu untuk terbiasa dengan rasa sakit tersebut.

Masih teringat jelas dalam memori, bagaimana sulitnya Jungkook untuk bangkit kembali. Beberapa bulan pertama mereka tinggal di Daegu bersama sang nenek, si bungsu tak pernah melewatkan sehari pun tanpa memohon untuk pulang ke Busan. Menangis meraung ingin bertemu dengan sang ibu karena anak itu yakin, Seohyun tidak pernah meninggalkan mereka.

Kalian bohong! Mama ada di Busan, menunggu Kookie pulang. Lepaskan Kookie! Mau ketemu mama! adalah yang selalu dikatakan Jungkook kala itu.

Bahkan Jimin sering kali mengabaikan pendidikannya demi menemani sang adik sepanjang hari, mengalihkan perhatian si kecil dengan bermain tiada henti. Meskipun ia sendiri mati-matian melawan rasa sakit kehilangan, sekuat tenaga mencoba tegar agar dapat menjadi penopang bagi Jungkook.

Ketika nenek berkata bahwa tidak apa bagi Jimin untuk bersedih juga atas kepergian sang ibu, ia akan selalu menolak dengan sopan, lantas menulis dalam selembar kertas, kalau Jimin lemah juga, nanti siapa yang akan memberi kekuatan untuk Kookie?

Jungkook adalah cahayanya yang terakhir. Jimin akan melakukan apa pun agar sinarnya tidak pernah redup.

Tepat ketika si bungsu memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama, nenek mereka menyusul Seohyun setelah berjuang melawan penyakitnya selama berbulan-bulan. Jimin yang ketika itu masih mengikuti homeschooling mendapat telepon dari Paman Kim yang meminta ia dan Jungkook pulang ke Busan lantas tinggal bersama keluarga mereka.

Meski di Daegu keduanya masih memiliki saudara lain yang ikut tinggal di rumah nenek, Jimin memilih kembali ke kota kelahirannya, mungkin dengan begitu dapat membuat Jungkook merasa lebih baik.

Hingga di ulang tahun yang keenam-belas, si bungsu meminta untuk kembali ke rumah mereka, keinginan yang sempat membuat Jimin bimbang berhari-hari. Bukan tidak ingin kembali ke tempat penuh kenangan tersebut, namun ia khawatir Jungkook akan merasa sangat kesepian.

A Silent Voice Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang