"Hyung!" Jungkook berjalan dengan susah payah menuju sang kakak yang tengah asyik mewarnai buku gambarnya.
Bocah mungil itu sudah berumur empat tahun, sedangkan sang kakak berumur sembilan tahun. Keadaan keluarga mereka sudah tidak sama lagi seperti saat sebelum kecelakaan mengerikan itu terjadi.
Jimin mengalihkan fokus dari buku gambar menuju sang adik yang kini menyerbunya dengan pelukan. Lengan ia angkat untuk mengelus rambut lembut yang lebih mungil.
"Hyung, main bola?" Jungkook menatap Jimin dengan mata yang berbinar, berharap keinginannya dikabulkan oleh sang kakak.
Seohyun yang kebetulan lewat, melihat adegan tersebut, segera ia menghampiri kedua anak tercintanya, "Kookie, mainnya sama mama saja, ya? Jimin-hyung sedang mengerjakan tugas sekolah."
"Ndak! Mau sama hyung." Dengan tangan yang dilipat, Jungkook mengerucutkan bibirnya, merajuk. Jimin menggenggam lengan sang ibu saat ia lihat wanita itu akan kembali membujuk adiknya.
Anggukan serta senyuman manis di beri pada ibunya, pertanda bahwa ia sama sekali tidak masalah. Jimin bangkit menuntun Jungkook menuju ruangan khusus mereka bermain sambil mengambil bola yang terletak di salah satu sudut rumah.
Seohyun menatap mereka dengan lembut, ia begitu bangga memiliki anak seperti Jimin, meskipun kejadian di masa lalu membuat sang anak kehilangan suaranya. Benar, Jimin menjadi bisu.
Setelah kabar jika suami tercintanya sudah mengembuskan napas terakhir, Seohyun kembali terkejut mendengar penuturan dokter bahwa anak sulung keluarga mereka mengalami patah tulang leher di empat bagian, bahkan setelah operasi dilakukan pun suara Jimin tidak bisa kembali.
Ketika mengingat masa tersebut, Seohyun merasa beruntung masih diberi kekuatan untuk melanjutkan hidup tanpa suami. Memang saat awal ia sempat frustrasi, tidak memiliki semangat sedikit pun, kata-kata penenang dari kerabat bahkan kedua orang tuanya ia abaikan.
Yang membuatnya kembali mendapat kekuatan adalah binar mata Jungkook dan senyum tulus Jimin.
Seiring pertumbuhan keduanya, Seohyun kagum melihat betapa sabar si sulung menghadapi kondisi dirinya saat ini, juga Jungkook yang seakan mengerti kedaan dengan tidak merengek saat Jimin tidak pernah membalas perkataannya.
Seohyun kembali merasa bersyukur karena di balik kekurangan Jimin, anak itu tumbuh dengan otak yang cerdas. Bahkan guru dari sekolah khususnya sering memberi pujian, hingga mengusulkan agar sang anak disekolahkan di sekolah formal biasa.
Namun Seohyun dengan sopan menolak. Bukan karena ia tidak percaya kemampuan Jimin. Namun hatinya didominasi oleh rasa takut jika murid lain akan menyudutkan sang anak akibat perbedaan yang dimilikinya.
"MAAAA."
Suara teriakan si bungsu membuat Seohyun bergegas menghampiri ruang bermain, dan melihat Jimin sedang meringis sakit sambil memegangi lututnya yang memerah.
"Astaga, Jimin kenapa?" Ia menghampiri Jimin dan segera mengecek keadaannya. Sedang sang anak hanya menunjuk satu balok mainan Jungkook yang tergeletak tak jauh dari mereka.
"Hyung jatuh, kena balok," jelas Jungkook yang ikut memperhatikan keduanya.
Seohyun mengusak rambut si bungsu sebagai bentuk terima kasih atas penjelasannya, sebelum kemudian mengecek lutut Jimin, "Apa terasa sangat sakit, Sayang?"
Jimin menggeleng dan menunjukkan cengiran khasnya. Ia memberi isyarat dengan tangan bahwa sakit yang dirasa hanya sementara, namun tetap sang ibu pergi untuk mengambil es batu dari kulkas, dibungkus oleh kain.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Silent Voice
Fiksi PenggemarThank you for the beautiful cover♡ @catastrophile101 Park Jimin itu bisu, dan Jungkook muak karenanya. a Park Jimin and Jeon Jungkook brothership story. start : 05/07/2018 finish : ◇Reika