Saat Jungkook sudah duduk di bangku Sekolah Dasar, Seohyun kembali dibuat bingung oleh tawaran dari sekolah Jimin yang mengatakan jika sang anak bisa belajar di sekolah umum seperti anak-anak lain, bahkan salah satu SMP di daerah mereka sudah bersedia menerimanya sebagai murid.
"Bu, Jimin itu pintar. Nilai-nilainya selalu memuaskan, ia akan semakin berkembang jika bersekolah di tempat umum, ini juga demi masa depan anak ibu."
Kalimat itu kembali terngiang dalam benak, lengan kanannya memijat pelipis seiring pening yang mulai hinggap di kepala. Seohyun menghela napas lelah, belum lagi akhir-akhir ini hubungan kedua anaknya itu jauh dari kata baik.
Jungkook masih merasa kecewa karena Jimin tidak pernah menepati janji untuk bermain bersama kedua teman barunya. Si bungsu itu bahkan sudah tidak lagi mengganggu sang kakak seperti biasa.
Seohyun rindu rengekan Jungkook saat meminta ditemani oleh Jimin, rindu tawa riang dan senyum indah mereka saat menghabiskan waktu bersama. Kini kedua anaknya itu selalu terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Ia melangkah menuju kamar Jimin. Sejak pulang sekolah dan selesai makan siang, sang anak tak juga keluar kamar, sedangkan si bungsu tengah bermain di rumah Jihoon, temannya. Pintu yang ditempeli beberapa gambar kartun itu dibuka perlahan, Seohyun dapat melihat Jimin tengah serius membaca sebuah buku.
"Jimin-ah?" Ia mencoba mengalihkan atensi sang anak, namun sepertinya Jimin terlalu fokus hingga panggilan itu terabaikan.
Ekspresi di wajah Seohyun berubah sendu sebelum menghampiri Jimin lebih dekat lagi, ia tepuk pundak kecil itu pelan membuat sang anak terlonjak kaget.
Mulut Jimin bergerak menyebut Ma saat sudah menyadari kehadiran dirinya, disertai senyum manis di wajah, yang justru membuat Seohyun tersenyum miris. Ia tahu, jika membaca sesuatu terlalu fokus, itu artinya sang anak sedang mencoba mengalihkan pikirannya.
"Jimin kenapa tidak menggambar, hm? Katanya kemarin mau menyelesaikan gambar tentang mama dan adikmu," tanya Seohyun lembut seraya mengelus rambut Jimin.
Sang anak hanya menggeleng dan menunjuk kertas putih yang tergeletak di lantai dekat ranjang, "Jimin tidak bisa, Ma."
"Kenapa?" Pertanyaan itu tidak digubris, Jimin hanya diam sambil memilin baju bagian bawahnya.
Seakan mengerti, Seohyun memeluk tubuh mungil tersebut, memberi kehangatan yang mungkin saat ini sangat dibutuhkan oleh Jimin. Si sulung itu tidak pernah menangis ketika merasa sedih, tidak pernah berkata apa pun saat merasa sakit, namun ibu mana yang tidak sadar saat anaknya sedang dalam keadaan tak baik?
"Jimin rindu Kookie, ya?" tanya Seohyun lembut, bisa ia rasakan Jimin mengangguk dalam pelukannya.
"Adikmu hanya sedang kecewa sesaat, Sayang. Mama yakin, nanti Kookie pasti akan kembali seperti biasanya."
Jimin melepaskan diri dari pelukan sang ibu, kemudian menatap sosok tersebut dengan senyuman, "Sudah satu bulan, Ma. Tapi Jimin juga tidak apa kalau dijauhi Kookie. Ini kan memang salah Jimin."
Terkadang, Seohyun tidak menyukai senyum si sulung itu jika ditunjukkan di saat seperti ini. Ia ingin Jimin seperti anak yang lain, menangis ketika merasa sedih, merengek kala merasa sakit, tidak hanya berkata "aku baik-baik saja" disertai senyum palsu.
Tapi mau bagaimana lagi, mungkin kondisinya lah yang membuat Jimin dewasa lebih cepat daripada anak seumur dirinya.
"MA, KOOKIE PULANG!" Seruan nyaring itu membuat keduanya terlonjak kaget. Seohyun mencium kedua pipi Jimin sebelum bangkit untuk mendatangi bungsu mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Silent Voice
Fiksi PenggemarThank you for the beautiful cover♡ @catastrophile101 Park Jimin itu bisu, dan Jungkook muak karenanya. a Park Jimin and Jeon Jungkook brothership story. start : 05/07/2018 finish : ◇Reika