48 Detik demi Detik

1K 67 10
                                    

~

Seorang wanita paruh baya itu tiada hentinya membujuk putrinya agar segera kembali ke pelukannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang wanita paruh baya itu tiada hentinya membujuk putrinya agar segera kembali ke pelukannya. Berkali-kali ia katakan jika menantunya tidak pantas lagi untuk bersama dengan putrinya lagi. Zidna tidak bisa menyembunyikan rasa kekecewaannya pada Kholif.

Namun, sayangnya Ayesha tetap kukuh pada pendiriannya. Ia akan menungguk bayinya lahir barulah ia akan berpisah dengan Kholif karena tidak ingin lagi terikat lebih lama dengan Kholif.

"Bunda udah capek bujukin kamu, nak. Bunda cuma mau liat kamu bahagia sama orang yang tepat," ujar Zidna dengan lesu.

Ayesha yang semula diam, akhirnya angkat suara. Ia mengangguk. "Mas Kholif memang orang yang tepat, Bun."

"Tapi setelah kebusukannya terbongkar, dia bukan lagi orang yang tepat buat aku," lanjutnya dalam hati.

Wanita itu harus menahan dalam waktu yang cukup lama hingga akhirnya sisa kebersamaannya dengan Kholif semakin menipis. Bayinya akan segera memasuki masa kelahiran yang entah kapan. Kandungannya sudah memasuki usia 9 bulan dan belum ada tanda-tanda kontraksi. Ia sudah tidak sabar menantinya dan tidak sabar untuk berpisah dengan suaminya.

Berbeda dengan Kholif yang senantiasa merenungi waktu. Kelahiran bayinya seperti bom waktu bagi pernikahannya. Seharusnya ia bahagia dan menantikan anaknya terlahir di dunia. Namun, dalam waktu bersamaan apa yang ada dalam dekapannya perlahan-lahan terlepas dan pergi begitu saja.

Kholif baru saja tiba di rumah mertuanya. Ia hendak menjemput istri dan putra angkatnya yang akhir-akhir ini mulai terlihat semangat hidup di matanya. Kholif pikir Khaleed yang pendiam karena trauma, melainkan sudah menjadi karakternya yang seperti itu.

"Assalamu'alaikum."

Zidna langsung menghentikan aktivitasnya yang sedang berbincang dengan putrinya saat Kholif semakin mendekat. Ia masih tidak ingin melihat wajah menantunya karena ia terbayang bagaimana putrinya menderita selama tiga tahun karena ulahnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Ayesha yang terlihat sedang berusaha menahan diri.

Setiap kali bertemu dengan Kholif, ia teramat takut, sedih, kecewa. Namun, berkat psikiater yang membantunya dalam mengolah emosinya, ia tidak akan lari terbirit-birit jika Kholif datang. Hanya saja ketika Kholif menyentuhnya, tubuhnya tidak sanggup menahan hingga akhirnya tubuh mungil itu bergetar hebat karena takut. Respon seperti itu mungkin terlalu berlebihan bagi orang-orang awam yang tidak merasakan bagaimana mental yang dirusak dan menganggap remeh mental itu. Tapi bagi orang-orang yang pernah merasakan mentalnya dirusak, ia pasti akan paham apa yang dirasakan oleh Ayesha.

"Abii," panggil Khaleed yang berlari memeluk pria yang ia anggap Ayahnya.

"Habis ngapain, nak sholehnya Abi?" tanya Kholif dengan lembut. Tak lupa ia mencium kening anak laki-laki itu.

GoodBye, Memories! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang