Yuk ramein, biar aku rajin updatenya 😊
"Bengong aja mbak.""Kalo kesambet gimana?"
Janita langsung menolehkan kepalanya dan langsung tersenyum malas ketika mendapati, Mark sahabatnnya yang sekarang sudah duduk di depannya. "Berisik lo. Makan mah makan aja engga usah ngomentarin orang lain."
"Dih kan gue cuma mengantisipasi temen gue ini, kan kalo lo kesambet gue juga yang ribet Jan."
Janita langsung melemparkan buku yang sejak tadi ia baca itu langsung ke wajah Mark yang langsung di protes oleh si pemilik wajah. "Bangke Janita. Lecet nih muka gue."
"Masih belum ada kabar dari bang Cakra?" Tambah Mark.
Janita menggeleng, kemudian mengambil bukunya yang ada di genggaman Mark. "Lagi sibuk kali."
"Sibuk kok sampe dua bulan gini."
"Jan, sesibuknya gue nih ya kalo jadi bang Cakra apalagi punya pacar secakep lo gini.. bakalan gue sempetin buat ngabarin at least cuma satu hari sekali." Jelas Mark.
"Cakep doang tuh engga cukup Mark, apalagi kalo di bandingin sama temennya Kak Cakra, jauh kali gue." Sanggah Janita.
Mark yang mendengar hal itu langsung berdecak pelan. "Lo tuh mestu berapa kali gue bilangin sih, engga usah lah lo insecure kaya gini. Biarin aja mereka ya mereka, Janita ya Janita."
"Alisha mana?" Janita langsung melemparkan topik obrolan lain yang langsung di tanggapi dengan tatapan malas dari sahabatnya itu.
"Masih ada bimbingan dia."
Mark yang melihat Janita sedang merapikan barang-barangnya itu pun langsung bertanya. "Lah lo mau balik nih, Jan?"
"Iyalah udah sore gini juga."
"Tapi kan gue baru juga duduk, masa udah mau balik sih."
"Terserah lo tapi gue mau balik. Cape mau tidur."
Mark kemudian menahan tangan Janita. "Mau di anterin engga nih?"
Janita kemudian tersenyum. "Engga usah. Gue balik sendiri aja, lo mending tungguin Alisah deh."
Tiga puluh menit kemudian, Janita memasuki rumah sederhana yang sudah sekitar tujuh tahun ini dia tempati bersama dengan kakak laki-lakinya. Orang tua mereka meninggal karena sakit. Ibu Janita pergi lebih dulu, dan satu tahun setelah itu Ayah Janita menyusul kepergian sang Ibu.
Janita memang terlahir di keluarga yang sederhana. Tidak ada harta yang bergelimang seperti kehidupan di seusianya. Kuliah pun itu berkat beasiswa yang dia terima.
"Udah pulang? Tau gitu tadi kakak jemput sekalian ke kampus kamu." Ucap sang sulung ketika Janita masuk ke dalam rumah mereka.
"Sengaja biar kak Johnny engga usah jemput aku."
"Loh kenapa?"
"Kakak kan cape, masa harus aku repotin lagi sih. Aku juga bisa pulang sendiri kok." Jelas Janita.
Janita hanya tidak ingin merepotkan sang kakak. Karena menurutnya, Johnny sudah lelah mencari nafkah untuk mereka berdua, belum lagi harus memikirkan biaya di rumah.
Johnny hanya bisa tersenyum ketika mendengar penjelasan sang adik. "Iya kakak ngerti, tapi kalo sekali kali sih engga apa-apa."
"Udah makan?"
Janita menggelengkan kepalanya. "Yaudah mandi dulu habis itu kita makan bareng."
"Oke. Makasih kak." Pamit Janita, kemudian tidak lupa menghadiahkan sebuah ciuman di pipi kiri sang kakak.
Malam harinya setelah Janita menyelesaikan seluruh tugasnya, kemudian pandangannya beralih pada sebuah foto yang sudah berada di atas meja belajarnya sejak dua tahun yang lalu. Fotonya bersama Cakra. Foto tersebut di ambil ketika Cakra mengajak Janita untuk menghabiskan malam tahun baru di Bandung.
"Udah dua bulan loh kak.. kalau kak Cakra engga mau aku ganggu harusnya kak Cakra kasih tau aku jangan kaya gini." Monolog Janita.
Cakra memang sudah dua bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Semua pesan dari Janita pun tidak ada yang di baca. Sudah berkali kali Janita coba untuk menelepon Cakra tetapi nomornya tidak bisa di hubungi. Saat ini Cakra sedang menempuh pendidikan S2 nya di Edinburgh.
Seperti tidak ada rasa untuk menyerah, Janita mencoba untuk mengirim pesan kepada Cakra yang tentunya dia berharap Cakra membalas pesannya walaupun hanya untuk satu kata saja.
Janita
kak,
aku kangen :(Sudah satu jam Janita menunggu balasan dari Cakra tetapi tetap saja tidak ada tanda-tanda Cakra akan membalas pesannya bahkan pemberitahuan pesan tersebut sudah terbaca saja tidak ada.
Lagi-lagi Janita menumpahkan semuanya melalui air mata. Perasaannya sudah lelah ketika harus mengingat bagaimana sulitnya komunikasi di antara mereka akhir-akhir ini. Belum lagi ketika harus bertemu dengan Ibu Cakra di kampus.
Flashback.
"Janita, gimana progress skripsi kamu?"
Janita yang di panggil oleh Dekan yang juga berstatus sebagai ibu dari kekasihnya tersebut hanya bisa menunduk setelah membungkukan tubuhnya.
"Gimana anak saya bisa bangga sama kamu kalau kamu ngerjain skripsi aja kaya gini. Apa bisa kamu lulus tepat waktu?"
"Bisa bu. Lagi pula saya sudah mentargetkan untuk lulus tepat waktu."
Ibu Cakra hanya menganggukan kepalanya sambil memasang wajah angkuhnya. "Ya memang sudah seharusnya seperti itu, daripada kamu harus bayar uang ukt lagi. Memangnya kakak kamu itu sanggup bayar uang kuliah kamu? Apalagi cuma jadi barista."
Janita sudah sejak tadi mengepalkan tangannya karena kesal mendengar kakak laki-laki satu satunya itu harus di perlakukan seperti itu.
"Ibu, sebelumnya saya mau minta maaf kalau saya lancang. Tapi, menurut saya ibu sudah keterlaluan, kalau ibu seperti ini terhadap saya, saya masih bisa maafkan. Tapi saya mohon jangan bawa keluarga saya. Ibu tidak tau apa-apa tentang keluarga saya."
"Siapa bilang saya tidak tau. Saya tau, kamu terlahir di keluarga sangat sangat sangat biasa. Hidup di kontrakan dan sekarang menumpang hidup pada anak saya."