“Jesss.....” kereta dari Stasiun Kalibaru berhenti di jalur III.
Kereta mendesir pelan. Tka ada asap mengepul atau debu-debu yang terlihat karena hari sudah gelap.
Riuh-rendah orang-orang mulai keluar dari dalam gerbong. Kereta tampak kosong dan lengang. Barangkali karena stasiun pemberhentian ini adalah stasiun terakhir. Sudah tak ada pemberhentian lagi di ujung sana.
“Kita turun di sini Ndri?”
“Iya Gas. Udah sampai. Ayok turun.”
Gue dan Andri adalah orang terakhir yang turun dari gerbong.“Akhirnya sampai juga.” Gumam gue dalam hati.
Meski hanya dua jam di dalam kereta yang ber-AC, tapi gue selalu merindukan udara bebas di luar. Udara bebas memang lebih nikmat.
Gue lihat jam di tangan sudah menunjuk pada pukul 19.00 Wib lebih. Itu artinya sudah mulai menjelang malam kalau di sini.
*Saat ini gue berada di Stasiun Karangasem, Banyuwangi. Stasiun ini tidak begitu luas. Bangunan-bangunan yang ada di dalam stasiun tampak sederhanya. Masih bergaya-gaya Belanda. Meski demikian kondisi stasiun gue nilai cukup bersih dan nyaman.
Malam ini terasa sepi sekali. Hanya terlihat satu orang karyawan stasiun. Ia berbaju putih dan celana biru tua sama seperti pada umumnya seragam dinas karyawan PT KAI.
Gue dan Andri baru saja turun dari gerbong. Dan karyawan stasiun tersebut tampak memperhatikan gue dan Andri. Barangkali karena tas carrier kami yang besar ini. Memang sih gue juga kadang berpikiran seperti itu. Siapapun yang bawa tas setinggi monas pasti jadi pusat perhatian.
Tak banyak yang bisa gue gambarkan dari Stasiun Karangasem ini selain kesunyiannya dan kesederhanaannya. Gue dan Andri berjalan melewati rel demi rel yang berada di jalur lain. Hingga tiba-tiba gue berhenti mendadak karena satu hal yang menurut gue aneh dan unik.
“Itu sepeda motor Ndri?” tanya gue kepada Andri yang juga ikut berhenti.
“Iya Gas. Pasti baru pertama kali lihat yang begituan ya?” jawab Andri sambil tersenyum.
“Asli gue baru tahu kalau ada sepeda motor yang jalannya di rel kereta.” Balas gue dengan mata berbinar-binar menatap kepada sepeda motor yang sedang gue bicarakan ini.
Andri hanya tertawa melihat orang Jakarta seperti gue mendadak jadi orang desa yang kurang pergaulan.“Fotoin gue dong Ndri.” Gue berikan handphone gue kepada Andri. Dan gue langsung naik ke atas motor kereta tersebut.
Enggak peduli, mumpung sepi.
Gue bergaya seakan-akan gue baru saja menciptakan terobosan baru kendaraan anti macet yakni seperta kereta: sepeda motor yang melintas lewat jalur kereta.“Buset... pasti anti macet kalau dipakai di Jakarta!”
**Gue dan Andri berjalan menuju pintu keluar stasiun. Tiba-tiba karyawan stasiun yang gue bicarakan sebelumnya memanggil-manggil dari jauh.
“Mas...Mas...! Habis naik gunung ya?”
Spontan gue dan Andri berhenti dan melihat kepada karyawan itu yang sedang berjalan mendekati kami.“Iya..!” jawab Andri.
“Naik gunung apa?” dia semakin mendekat.
“Gunung Raung!” kali ini gue dan Andri menjawab bersamaan.
Karyawan stasiun itu pun sampai di hadapan kami. Sepertinya dia tertarik karena dari tadi memang sudah memperhatikan kami dari jauh.
“Wihh... keren Mas. Berapa hari naiknya?” tanyanya lagi.
Gue lihat-lihat karyawan ini masih muda. Lebih muda dari gue dan Andri. Pantes saja dia kerja sampai malam-malam begini. Memang sih nasibnya dia mungkin yang junior harus pengalaman dulu kerja malam-malam.
“Tiga hari tiga malam” jawab Andri kemudian.
Karyawan tersebut tampak antusias. Mungkin dia salah satu dari sekian banyak orang Banyuwangi yang belum pernah merasakan naik gunung Raung yang terkenal dengan jalur ekstrimnya itu. Akhirnya gue ceritakan sedikit kisah pendakian Raung kemarin supaya bisa menjadi motivasi untuk karyawan ini.
Obrolan yang singkat. Tema tentang gunung pun usai. Karyawan tersebut kemudian menanyakan tujuan gue dan Andri. Dan seketika itu gue ingat sesuatu yang penting.
“Ndri...gue butuh kendaraan nih.”
“Aku ada sepeda motor tapi besok tak pakai berangkat kerja.” Jawab Andri tak bisa membantu lebih banyak.
“Eh...Mas kalau di sini ada persewaan sepeda motor?” tanya gue kepada karyawan tadi.
“Hmm...” karyawan tersebut malah diam. Tapi sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, atau barangkali sedang mengingat-ingat sesuatu.
“Ada Mas..!”
“Tunggu di sini. Saya masuk ke dalam sebentar.” Si karyawan jalan cepat menuju ke ruang kerjanya.
Kami pun menunggu.
Tidak lama kemudian dia datang kembali.
“Ini kebetulan motor teman saya nganggur. Kalau mau bisa disewa.” Ujar karyawan tersebut begitu sampai lagi di hadapan gue dan Andri.
“Berapa Mas?”
“150 ribu sehari Mas.”
Mahal juga sih. Tapi uang gue masih mencukupi.
“Motornya apa Mas?” tanya Andri.
“Megapro.”
Hmm... pantes aja
“Yaudah oke Mas.” Tanpa pikir panjang gue ambil aja. Lebih mahal sedikit bukan masalah. Yang penting gue bisa menghemat waktu dan tenaga. Gue enggak kuat lagi kalau harus muter-muter Banyuwangi unntuk mencari persewaan sepeda motor yang murah.
Setelah deal, gue, Andri, dan karyawan tersebut menuju tempat parkir sepeda motor yang letaknya di halaman depan stasiun. Sama seperti bagian dalam, bagian luar stasiun juga sama sepinya. Tampak beberapa warung kopi masih buka. Beberapa bapak sedang asyik bermain catur di bawah temaram lampu warung. Rokok dan kopi setia menemari mereka.
Kami pun sampai di parkiran sepeda motor.
“Ini Mas motornya.” Karyawan itu menunjukkan sepeda motor merk Megapro berplat P.
Gue keluarkan uang 150 ribu plus ktp sebagai tanda jaminan. Setelah itu gue bawa keluar motor tersebut dari parkiran.
Gue pikir-pikir mudah juga bisa menyewa motor hanya bermodal uang 150 ribu dan ktp. Gue sudah bisa dapat motor seharga 20 jutaan lengkap dengan stnk.
Si karyawan enggak takut kalau motor ini gue bawa lari. Pasti karena itu motornya temennya. Gue bodo amat deh.
**gue dan Andri akhirnya keluar dari Stasiun Karangasem, Banyuwangi. Gue menaikki kendaraan baru gue, Megapro. Dan Andri naik motornya dia sendiri yakni Klx motor trail warna hijau.
Andri mengajak gue untuk menginap di kosannya malam ini. Dan gue berencana untuk mendaki Gunung Ijen pagi dini hari nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Horror Seri Gunung: IJEN #2
AdventureLanjutan dari cerita seri pertama: Misteri Gunung Raung