BAB 14 LAPANGAN LUAS MEMBENTANG

80 3 0
                                    

Perjalanan gue lanjutkan kembali. Tidak jauh dari air terjun tadi, gue melewati sebuah pemukiman. Terdapat papan nama yang menunjukkan kalau saat ini gue berada di kecamatan Sempol, Kabupaten Bondowoso.

Gue lanjutkan terus ke depan. Terlihat di ujung jalan yang sangat jauh di depan sana ada perbukitan yang gue rasa sudah tidak ada pemukiman lagi. Gue berhentikan motor gue, gue mulai bimbang. Rasanya tidak sejauh ini. Kalau gue teruskan ke depan bisa-bisa gue tersesat.

Gue memilih untuk memutar balik dan bertanya kepada salah satu orang yang ada di pemukiman  tadi.
**

Rumah-rumah berdiri sejajar dan dipagari dengan pagar bambu khas sekali seperti bangunan sekolah tak zaman dulu.

“Permisi... maaf Pak numpang tanya. Kawah Wurung itu di sebelah mana ya?” tanya gue kepada seorang bapak yang sedang menyapu halaman. Terlebih dahulu gue matikan mesin motor supaya sopan.

“Oh... sampeyan lurus saja dari sini. Nanti ada plang penunjuk jalan. Kalau dari sini di kanan jalan. Sekitar 100-200 meter dari sini.” Ucap bapak itu.

“Oh ya... terimakasih banyak.”

Tanpa berlama-lama lagi, gue langsung kembali ke jalan yang sudah gue lewati tadi. Ternyata gue kelewatan.

Tepat di sebelah kiri, gue lihat bukit-bukit Teletubies yang sebelumnya gue lihat dari Gunung Ijen. Ternyata lebih indah kalau dilihat dari dekat. Bukit-bukit itu lebih hijau dari yang gue kira. Sungguh indah.

Kemudian tak jauh dari situ gue lihat apa plang penunjuk arah bertuliskan:

“KAWAH WURUNG --->”

Oh rupanya di sini.
**

Jalan berubah menjadi jalan tanah dan berpasir. Gue mulai memasuki sebuah desa. Terlihat ada bangunan sekolah dasar dan beberapa rumah warga. Gue kambali menemui plang penunjuka arah dan gue ikuti lagi. Arahnya masih terus lurus ke belakang.

Terus gue ikutin jalan dan sampailah gue pada sebuah lapangan luas di balik desa tadi. Lapangan yang sangat luas dan juga kebun-kebun yang luas.
Angin berhembus kencang sekali karena tidak ada pepohonan besar yang menghadang. Bukit demi bukit menjulang di hadapan gue. Kebun kol dan berbagai macam sayuran juga tampak subur. Terlihat daunnya yang serba hijau segar.

Ahh...betapa indahnya dunia ini. Gue baru pertama kali melihat pemandangan seperti ini. Sejauh mata memandang pemandangan yang ada hanyalah hijau timbuh-tumbuhan dan bukit.

Langit di atas sana biru sempurna. Panas terik matahari tak gue rasakan karena angin berhembus kencang.
Satu hal yang membuat gue merasa ini seperti surga adalah ‘di tempat ini gue sendiri’. Sejauh yang gue lihat tidak ada orang lain selain yang ada di desa tadi.

Lapangan luas, dan kebun-kebun, tak ada orang satupun di sana. Gue sudah memutar-mutar pandangan ke arah manapun, benar-benar tidak ada orang lagi.

Kemudian gue sampai sebuah lapangan dan motor gue berhentikan. Gue berguling-guling di atas rumput. Benar-benar mengasyikkan, dan gue tak malu karena memang tak ada orang lain yang melihat.

Gue jadi ingat tentang adegan-adegan di dalam film. Dimana ada orang yang berguling-guling di atas rumput di suatu padang yang luas. Gue merasakannya sekarang. Ini benar-benar luar biasa.
**

Untuk beberapa waktu gue tiduran di lapangan tersebut. dari balik semilir angin yang berhembus yang sedari tadi menemani kesendirian gue, tampa seseorang sedang mengendarai sepeda motor dan menuju ke arah gue.

Lambat namun pasti, orang itu sampai juga dan memakirkan motornya di samping motor gue,
“Sendirian?” tanyanya begitu sampai.

Ini merupakan pertanyaan kesekian kalinya yang gue dengar seharian ini.

“Iya Pak.” Jawab gue pendek dengan intonasi tinggi karena angin yang kencang takut tak terdengar.

Orang ini yang gue perkirakan berumur 40-an mulai berjalan mendekati gue.  Dia membawa sabit di tangan kanannya. Dan karung putih di tangan kirinya. Gue yakin orang ini bukan tokoh antagonis di film thriller. Mana mungkin dia akan memutilasi gue lalu memasukkannya ke dalam karung yang dibawanya.

Gue terlalu berprasangka negatif. Lagi pula di tempat ini tak ada orang lain lagi. Atau jangan-jangan gue salah masuk kebun orang. Dengan tatapan datar orang itu semakin mendekati gue.

Prasangka negatif gue tidak hilang-hilang. Lebih baik gue tanyakan saja langsung ‘Anda orang jahat bukan’?

“Kawah Wurung sebelah mana ya Pak?” tanya gue akhirnya.

Bapak itu diam. Dia mengayunkan sabitnya. Gue sedikit kaget. Namun rupanya sabitnya dijatuhkan ke tanah. Lalu dia duduk.

“Itu di sana Kawah Wurung.” Dia menunjuk ke arah bukit tidak jauh dari tempat gue sekarang.

Logat Maduranya kental sekali. Gue yakin dia orang asli sini.

“Sampeyan naik sebentar ke sana. Langsung kelihatan Kawah Wurungnya.”

Gue hanya manggut-manggut saja.

“Sampeyan dari mana?” tanya bapak itu kemudian.

“Jakarta Pak.”

“Ohh... Jakarta.” Kelihatannya bapak ini senang mendengar kalau gue orang Jakarta.

“Saya kira orang sini-sini saja.”

Gue tersenyum simpul.

“Saya ini kebetulan orang yang mengurus pengembangan wisata Kawah Wurung ini Mas.” Ucapnya.

Untuk kesekian kalinya juga gue mendapat teman ngobrol. Selalu ada informasi baru yang gue dapat setelah bertemu dan berbicara dengan orang-orang yang baru gue kenal.

“Memang, tempat ini belum begitu dikenal masyarakat. Tapi potensinya sangat luar  biasa. Coba saya tanya bagaimana perasaan Anda sewaktu melihat pemandangan di sini?”

“Indah Pak. Indah sekali.” Jawab gue. “Baru pertama kali saya lihat pemandangan seperti ini.”

“Nah tuh kan. Coba nanti lihat Kawah Wurungnya di sana pasti lebih indah lagi dari ini.” Bapak itu tampak berapi-api.

“Tapi mas...” seketika terlihat ada mendung di raut muka bapak ini.

“Ya beginilah kita masih kekurangan dana untuk pengembangan. Kita masih kalah dari Ijen. Suntikan dana dari pemerintah juga belum maksimal Mas. Anda lihat sendiri saja di sini pemandangannya tidak kalah dengan Ijen.”

“Rencanyanya saya ingin membangun semacam guest house di sini Mas. Tujuannya apa? Supaya para wisatawan tertarik untuk ke sini dan bisa menginap.”

“Dari situ kan juga menaikkan pendapatan. Betul tidak Mas?”

Gue hanya bisa tersenyum.

Bapak ini mungkin benar dia adalah pengembang wisata di sini atau bisa dibilang stakeholder-nya. Gue bisa melihat ada visi misi dari tatapan matanya.

Potensi alam yang indah seperti ini memang  sudah seharusnya bisa mendatangkan banyak pengunjung. Gue sepakat dengna hal tersebut.

Namun entah mengapa jauh di dalam lubuk hati gue. Gue ingin tempat indah ini tetap seperti ini saja. Lestari, hijau, dan sepi tanpa seorangpun ada di sini. Bukan egois, tapi gue melihat alam yang asri ini juga seperti bahagia tanpa adanya manusia.

Novel Horror Seri Gunung: IJEN #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang