Gue semakin mendekat. Perlahan bayangan hitam dari dalam kabut mulai terlihat lebih jelas. Lebih jelas lagi. Dan apa yang gue lihat ternyata adalah...
“Orang...!” gumam gue dalam hati.
Baru setelah motor gue dekatkan lagi, ternyata ada dua orang di pinggir jalan. Satu sedang mendorong sepeda motor, satunya lagi di belakangnya.
Gue berhentikan motor gue lalu gue tanya mereka, “Kenapa motornya?”
“Oh.. tidak apa-apa Mas. Ini tidak kuat nanjak.” Jawab salah satu orang itu.
“Apa perlu bantuan?” gue coba untuk menawari bantuan.
“Oh.. tidak usah Mas. Sebentar lagi juga bisa jalan.” Tapi rupanya orang ini menolak.
Mungkin memang benar, trek ini sangat menanjak jadi wajar saja motor mereka tidak kuat. Lagi pula motornya matic ukuran kecil. Apalagi untuk berdua.
“Yaudah saya tinggal ya.”
“Iya Iya Mas tidak apa-apa. Itu di belakang masih ada teman nanti yang menyusul.” Jawaban orang ini membuat gue yakin kalau mereka berdua sepertinya tidak butuh bantuan. Toh masih ada temannya di belakang sana.
Akhirnya gue meninggalkan dua orang itu dan kembali memacu motor gue menaiki bukit. Prasangka negatif gue akhirnya hilang juga. Gue aja yang terlalu mudah tersugesti yang enggak-enggak.
Beberapa menit kemudian jalanan sudah kembali normal meski suhu dingin masih tetap menusuk-nusuk. Tapi akhirnya di ujung jalan gue sampai juga pada sebuah gapura masuk yang ada tulisannya
“Welcome to
TAMAN WISATA ALAM KAWAH IJEN”Ini pasti pos pendakian Paltuding itu. Dan setelah gue masuk, benar apa yang dikatakan Andri, ternyata di sini ramai juga.
Megapro gue parkir di tempat yang telah disediakan. Karena ini pertama kalinya gue ke sini, gue agak bingung. Apa lagi sekarang sudah jam 1 dini hari lewat. Semua masih tampak gelap.
Hal pertama yang gue lakukan adalah mencari tempat yang ramai. Saat itu juga gue menuju salah satu warung yang ada di dekat situ.
**“Permisi Bu, pesan kopi hitam satu ya.”
Penjual tidak langsung menjawab, karena sedang mengobrol dengan pembeli lain.
“Iya mas kopinya berapa?” baru dijawab beberapa detik kemudian.
“Satu saja.” Jawab gue singkat.
Gue duduk di salah satu kursi panjang. Warung ini adalah warung yang menjual makanan dan minuman serta beberapa apparel pendakian seperti kupluk, kaos tangan, syal, dan lain sebagainya.
Tepat di depan warung adalah lapangan luas yang gelap gulita. Hanya ada beberapa lampu penerang, namun tak cukup untuk memperlihatkan seluruh pemandangan yang ada.
Gue pikir halaman depan tersebut adalah kantung parkir di sini. Terlihat ada dua mobil yang terparkir sejak tadi. Jika gue lihat dari tempatnya yang luas kemungkinan besar bisa menampung banyak kendaraan. Itu masuk akal juga mengingat wisata Gunung Ijen ini yang sangat populer dan banyak menjadi destinasi para wisatawan. Gue yakin besok siang pasti tempat ini bakalan penuh oleh kendaraan yang parkir.
“Habis naik gunung Mas?” tiba-tiba ada seseorang yang bertanya. Lalu dia duduk di sebelah gue.
“Ee.. iya Mas.” Jawab gue sedikit kaget.
“Naik mana kalau boleh tahu?” tanyanya lagi.
“Gunung Raung.” Jawab gue sambil membetulkan posisi gue yang tiba-tiba kurang enak. Ini kali kedua gue ditanya ‘habis naik gunung mana’.
“Wah... hebat Mas. Saya juga dari dulu ingin naik Gunung Raung tapi belum kesampaian.” Gue sudah menebak jawaban seperti ini pasti yang keluar dari mulut orang ini.
“Bukan apa-apa kok Mas. Yang penting siap mental dan persiapan. Siapa saja bisa naik gunung Raung.” Ucap gue sedikit memotivasi. Gue terdengar sedang merendah diri, padahal dalam hati gue sedikit nyombong.
Kopi hitam panas datang beberapa saat kemudian. Gue dan orang yang baru gue kenal ini melanjutkan obrolan kami. Jujur gue senang karena ada teman ngobrol. Malam-malam begini kalau sendirian yang ada Cuma ngantuk.
Gue banyak menceritakan pengalaman pendakian ke Gunung Raung kemarin. Tentang basecamp pendakiannya, pos 1 rumah Pak Sunarya yang di kelilingi kopi khas Raung, jalur seram yang dijuluki jembatan Siratal Mustaqim, dan juga sunset di Camp 7. Orang yang gue ajak bicara tampak berbinar-binar. Dia senang sekali mendengar cerita gue. Meskipun sebenarnya ada cerita horor yang menghantui pendakian kemarin. Tapi untuk masalah itu enggak gue ceritakan. Cukup yang senang-senang saja supaya dia tambah semangat untuk mengejar keinginannya mendaki Gunung Raung.
Kopi pun telah habis tanpa gue sadari. Menyisakan ampas pahitnya saja. Begitupun obrolan kami turut usai.
Gue juga menanyakan tentang pendakian Gunung Ijen tapi rupanya dia tidak paham karena juga baru pertama kali ke Paltuding ini.
Selepas membayar satu gelas kopi, gue langsung keluar warung. Tepat di depan teras ada seorang bapak yang sedang duduk berselimut sarung sambil menikmati setiap hisapan rokoknya.
“Whuss...” asap rokok terbang tak terlihat.
“Mau naik Ijen Pak?” tanya gue basa-basi. Siapa tahu bapak ini juga wisatawan.
Dia menoleh sebentar, “Saya yang jaga warung ini Mas.” Jawabnya lalu menoleh kembali sambil mengisap rokoknya lagi.
“Oh... maaf. Saya kira wisatawan.” Gue tersipu malu.
Mungkin saja bapak ini suaminya ibu penjual kopi di dalam tadi.
“Oh ya Pak. Cara masuk ke Ijen bagaimana ya Pak?” kali ini gue usahakan bertanya dengan benar. Jujur sejauh ini yang gue tahu hanya sekedar rute menuju pos Paltuding ini. Andri sama sekali tidak memberitahu gue bagaimana cara beli tiket masuk dan seterusnya.
Bapak itu merubah posisi duduknya, “Itu mas tempat tiketnya di sana.” Ia mengeluarkan satu tangan dair dalam sarung dan menunjuk ke arah sebuah bangunan rumah.
Gue paham arah bapak itu.
“Tapi sekarang masih tutup. Jam 2 nanti baru buka.” Jawab bapak itu lagi, kemudian memasukkan satu tangannya tadi kembali ke dalam sarung. Sedangkan rokoknya masih menempel di mulutnya.
“Nanti langsung ke sana saja. Nanti ada orang yang jaga. Biasanya begitu dibuka langsung ramai, banyak yang ngantri.”
“Oh begitu Pak.”
“Belum lagi nanti katanya mau ada rombongan pakai bis. Tambah ramai lagi. Tapi ini belum pada datang.”
“Wah ramai juga ya Pak...””
“Woo... di sini ramai terus Mas. Turis-turis bule banyak. Tiap hari bisa ratusan yang datang.” Imbuhnya.
“Oww....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Horror Seri Gunung: IJEN #2
AdventureLanjutan dari cerita seri pertama: Misteri Gunung Raung