Gue berpisah dengan pendaki lokal yang baru gue kenal tadi. Dia dan temannya masih ingin menikmati Kawah Ijen. Sekarang gue menuruni Gunung Ijen untuk kembali ke Pos Pendakian Paltuding.
Perjalanan turun, gue tidak sendirian. Gue ditemani oleh para penambang belerang dan para turis bule.
Sepuluh menitan gue turun, gue sampai di sebuah tempat bernama ‘Pos Bukit Gedung Bundar’. Di sini banyak para penambang belerang berkumpul. Gue juga baru sadar ternyata tempat ini adalah tempat penimbangan belerang yang diangkut oleh para penambang.
Pagi dini hari tadi gue juga lewat sini namun karena masih gelap jadi gue tidak sadar kalau ada bangunan di sini.
Di tempat ini ramai sekali. Selain ada penambang yang sedang mengantri. Ada pula turis-turis bule yang beristirahat. Sepertinya tempat ini juga dijadikan sebagai shelter pendakian untuk istirahat para pendaki.
Gue mulai penasaran bagaimana cara kerja para penambang di Gunung Ijen ini. Lantas gue mencoba untuk memlihat-lihat lebih dekat.
Pos Bukit Gedung Bundar ini adalah sebuah rumah kayu yang lebih mirip warung. Ada semacam loket yang dijaga oleh seseorang. Kemudian tidak jauh dari situ ada semacam timbangan. Alat untuk menimbang belerang padat hasil dari para penambang belerang.
Para penambang yang baru datang akan mengantre. Setelah gilirannya tiba, mereka akan menimbang hasil belerang bawaan mereka. Lalu ditukarkan dengan kuitansi pembayaran.
“Kalau boleh saya tahu memang dapatnya berapa rupiah Pak sekali angkut?” tanya gue kepada salah seorang penambang yang sedang istirahat, menunggu giliran.
“Kalau di sini dihargai Rp 900 per kilogramnya Mas.” Jawab bapak ini dengan logat Madura yang kental.
Ia bertelanjang dada. Terlihat tubuhnya berkeringat dan legam. Potret tubuh yang bekerja sangat keras.“Kalau setiap angkat biasanya kami kuat sampai 100 kilogram.” Bapak itu melanjutkan ceritanya.
“100 kilogram?” jujur gue kaget.
“Iya Mas. 100 kilogram. Jadi sekali angkat ya bisa dapat sekitar Rp 90.000,-“
Asli gue kaget mendengar apa yang dikatakan bapak ini. Rupanya sedari tadi gue lihat para penambang yang memanggul belerang dengan bahunya itu seberat 100 kg. Sungguh gue semacam tidak percaya.
Bapak ini tampaknya menangkap kekagetan gue.
“Kalau sampeyan tidak percaya, monggo dicoba saja Mas.” Bapak itu mempersilahkan gue untuk mencoba mengangkat belerang yang ada di keranjang bawaannya.
Sejenak gue berpikir. Selama ini gue mendaki gunung, paling banter gue gendong tas carrier seberat 20 kg. Itupun udah setengah mati menggendongnya.
Kalau gue ke tempat fitnes, paling bera gue angkat beban dengan gaya deadlift persis seperti orang memanggul belerang, itu sekitar 40 kilogram. Sudah maksimal. Bahkan orang-orang di gym yang badannya gede gue lihat hanya sedikit yang bisa mengangkat beban 100 kilogram. Gue enggak bisa bayangkan para penambang ini ternyata membawa beban 100 kg di bahunya. Gue pikir ini luar biasa.
“Oke Pak saya coba ya!”
Gue jongkok dan letakkan pundak gue pada gagang pengangkut belerang milik bapak ini.
“1...2...3...”
“Ehhmpppp....!!!”
“Astaghfirullah...”
“Ya ampun Cuma geser sedikit !”
“Oke gue nyerah...”
“Gue takut dislokasi tulang.”
Bapak penambang ini hanya tersenyum. Wajahnya terlihat semakin perkasa seperti panglima perang yang tak terkalahkan. Gue... dan orang-orang fitnes lainnya kalah dengan para penambang di sini.
“Lalu setelah ditimbang dibawa kemana lagi pak belerangnya?” tanya gue lagi.
“Ditimbang. Dapat kuitansi pembayaran. Lalu dibawa ke bawah, ke Pos Paltuding. Nanti di sana kuitansi tadi ditukar dengan uang.” Ucap bapak ini.
“Jadi ini nanti dipanggul lagi sampai bawah Pak?”
“Iya Mas.”
Gue menelan ludah. Dan tak mampu berkata-kata lagi. Betapa susahnya manusia untuk mencari nafkah. Sehingga harus beradu dengan maut tiap kali menambang belerang yang asapnya mematikan itu. Lalu harus memikul beban yang sungguh berat dengan jarak sejauh 3 km. Dan setiap hari mereka melakukan itu.
Sedangkan gue, orang-orang kaya gue. Seribu kali lebih enak karena dapat uang hanya dengan duduk-duduk di depan komputer. Sudah begitu uang yang gue dapatkan jauh lebih besar. Gue benar-benar malu dengan diri gue sendiri. Manusia harus pandai bersyukur.
Lama gue terdiam merenung sebelum gue melanjutkan mengobrol lagi dengan bapak ini.
“Dalam sehari biasanya mengangkut belerang berapa kali Pak?” tanya gue lagi.
“Rata-rata hanya bisa 2 kali. Itu sudah maksimal. Tapi banyak juga yang hanya sekali saja per harinya.”
“Memangnya tidak ada pekerjaan lain Pak, selain menambang belerang?”
“Tidak ada Mas. Saya sudah nyaman seperti ini. Lagi pula saya sudah menjalani pekerjaan seperti ini selama 20 tahun.”
“Wah lama juga itu Pak. Tapi kalau boleh saya tahu kenapa bisa bertahan sampai sebegitu lama Pak? Padahal kerjanya kan sangat berat?”
Bapak itu berhenti sejenak. Mungkin dia sudah sering mendapat pertanyaan semacam ini.
“Begini Mas... kalau di sini setiap kita ngangkut belerang, begitu selesai langsung dapat uang. Uang tersebut langsung bisa dimanfaatkan hari itu juga. Jadi kalau saya sedang butuh uang ya pasti menambang Mas. Kalau misal sedang kondisi normal biasanya saya cuti dulu tidak nambang. Begitu Mas.”
Hmmm.....
Gue paham sekarang. Kenapa para penambang bisa betah bekerja padahal pekerjaannya sangat berat dan risiko kematian selalu mengintai kapanpun. Ternyata jaminan pendapatan yang membuat mereka betah menjalani profesi ini. Setiap kali bekerja menambang belerang, pada hari itu pula mereka mendapat gaji. Beda sekali dengan karyawan yang harus menunggu satu bulan baru dapat gaji.
Para penambang ini juga bisa kerja secara fleksibel. Artinya mereka bisa bekerja semau mereka, tanpa adanya target dan paksaan dari atasan. Itu yang membuat mereka terbebas dari bayang-bayang stress.
“Oh ya Mas. Sampeyan mau beli ini tidak?”
Tiba-tiba bapak ini menawarkan sebuah souvenir yang terbuat dari belerang padat. Besarnya segenggaman tangan, dan bentuknya bermacam-macam. Ada yang berbentuk kura-kura, kupu-kupu, dan lainnya.
“Wah kebetulan Pak saya juga sedang mencari souvenir untuk dibawa pulang.”
Gue keluarkan 50 ribu dan gue berikan kepada bapak itu. Dan gue dapat beberapa suvenir dari belerang yang ditawarkan tadi.
Ada sedikit haru di dalam dada. Orang-orang kota seperti gue mungkin terlalu pelit untuk mengeluarkan uang membeli hal-hal kecil seperti untuk membeli produk-produk lokal. Gue juga sering menawar sadis kepada penjual-penjual suvenir di beberapa tempat wisata. Sedangkan jika gue mau membeli barang-barang made in luar negeri gue sama sekali tidak pernah menawar. Begitu mudahnya uang gue keluarkan untuk membeli produk-produk negara lain. Sedangkan produk rakyat sendiri justru ditawar dengan harga rendah.
Gue menyesal baru sadar sekarang. Harusnya dari dulu gue lebih sering beli-beli produk sendiri ketimbang produk-produk luar negeri.
“Terima kasih- terimakasih.” Ucap bapak itu tersenyum ramah mengalahkan silau matahari pagi ini.
Gilirannya pun tiba, bapak itu harus menimbang belerangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Horror Seri Gunung: IJEN #2
AdventureLanjutan dari cerita seri pertama: Misteri Gunung Raung