Deep Talk

1.1K 168 12
                                    

Bunyi kran yang semula menjadi pengisi suara di senyap malam yang menjemput larut pun berhenti. Atau kata lainnya Mark telah usai mandi, sebentar lagi lelaki itu akan keluar. Mungkin setan sedang menertawakan Renjun yang sedang beradu pikir di kepalanya melawan pikiran negatif yang ia sendiri enggan memikirkannya.

Ponsel menjadi salah satu pengalihan yang berarti untuk saat ini, Renjun fokus pada benda persegi panjang di tangannya. Ibu jarinya sibuk skroling di akun twitter pribadinya. Mencari konten yang bisa mengalihkan pikirannya yang kian kacau di dalam kepala hingga—

Mark keluar, dan sudut mata Renjun menangkap kain yang membalut tubuh lelaki yang lebih tua satu tahun darinya, lelaki itu memakai pakaiannya lengkap dengan handuk yang menutupi kepalanya, dia mencuci rambut. Ah aromanya, ini juga bisa mengacaukan pertahanan Renjun.

Dulu, ketika hal yang tidak disangka ini datang mengacau hidupnya, Renjun paling suka mencium aroma sampo yang Mark gunakan. Menenangkan. Tapi kini, sungguh pun, sangat mengacau hatinya.

“Sudah?” Tanya Renjun sinis.

Yang ditanya hanya senyum kecil dan mengangguk sambil mengusap-usap rambut kepalanya mencoba mengeringkannya. Kemudian duduk di sisi ranjang yang bersebrangan dengan Renjun.

“Kau sudah makan?” out of topic, entahlah, seakan Mark tidak ingin melewati malam ini dengan terlalu serius bicara dengan Renjun. Meski pada dasar dan tujuan Renjun adalah untuk bicara serius dan menemukan jalan keluar dari ini semua.

“Belum.” Mark tidak menyangka kalau Renjun mau menjawab jujur, pikirannya sudah menduga kalau Renjun menjawab sebaliknya dan mereka langsung bicara dengan serius.

“Mau minum?”

“Kalau minum yang kau maksudkan mabuk, maaf, kejadian itu bisa terulang lagi.”

“Ah, maaf.”

Renjun mengangguk. “Aku tidak lapar. Aku ingin bicara, hyung.”

Handuk yang digunakan Mark masih menjadi kerudung di kepala lelaki itu, ia hanya membenarkan posisinya dan siap mendengarkan segala hal yang akan dikatakan Renjun. Meski hatinya pun merasa cemas kalau-kalau Renjun mengungkapkan kejujuran tentang kebenciannya pada Mark atas apa yang selama ini terjadi di antara mereka. Dia tidak papa menahan rasanya sendirian asal Renjun tidak membencinya.

“Katakan segalanya,” Mark memancingnya dengan tenang.

“Aku bingung. Selalu bingung.” Mark menjadi tidak mengerti, sejak lalu yang Renjun katakan tak jauh maksudnya kalau dia tidak mengerti akan apa yang ada di antara mereka sejak insiden mabuk malam itu.

“Baik, jelaskan semuanya.”

“Hyung…” suara Renjun bergetar, ekspresi wajahnya menunjukkan seakan dia sudah menyerah akan hal yang mengganggu ini, lelah, tapi enggan menyerah.

Entah sebuah intuisi yang membawanya mendekat pada Renjun hingga memeluk tubuh mungil itu. Dan saat wajah Renjun tenggelam berlabuh di dada Mark, merasakan punggung lelaki di pelukannya bergetar, Renjun menangis.

Lelaki yang lebih tua kalang kabut, hatinya kacau. Namun di saat seperti ini dirinya tidak boleh bertindak barbar. Tangan yang memeluk Renjun ia gunakan untuk menepuk-nepuk pelan punggung Renjun, menenangkan lelaki manis ini.

Seakan apa yang dirasakan Renjun, Mark dapat merasa. Sakitnya hati saat melihat orang yang dicinta menangis, itu perih. Mark mencoba untuk tetap tenang.

“Menangislah jika itu membuatmu lebih baik.” Ucap Mark masih dengan menepuk-nepuk punggung Renjun.

“Aku… aku benci untuk membencimu!” di sela tangisan yang berangsur menjadi isakan itu akhirnya Renjun bicara. sedikit, Mark senang mendengarnya, tapi dia tidak boleh mengungkapkannya saat ini.

“Maka jangan membenciku.” Jawab Mark sesuai hatinya.

Renjun mengangkat tubuhnya, keluar dari pelukan Mark. Tadi itu mencampurkan rasa dalam hatinya, otaknya menolak untuk bersentuhan dengan Mark namun pun hatinya sedikit banyak mengalami kontraksi antara tenang dan gugup saat Mark memeluknya.

Kali ini wajah mereka bersitatap, Renjun menghapus air matanya kasar, Mark dalam diam memfokuskan atensinya pada lelaki yang ia sayang di depannya. Mark benci air mata itu, ia tak suka melihat orang yang berharga di hidupnya menitikan air mata, apalagi itu atas ulahnya.

“Tapi kau menyebalkan, dan pantas dibenci!”

Kali ini, Mark mendapatkan dua kali rasa sakit, satu karena air mata Renjun, kedua karena ucapan Renjun barusan. Dari kalimatnya tadi seolah-olah Mark adalah lelaki brengsek.

Mark tidak mengerti harus menjawab apa atas ucapan Renjun tadi, dia tidak memliki banyak kata untuk diungkapkan karena satu yang pasti; ia mencintai Renjun, begitu.

Sedikit geram karena tidak mendapat reaksi berupa jawaban dari lelaki di dekatnya ini, Renjun berdecih kemudian membuka lagi mulutnya.

“Kau datang dalam keadaan mabuk dan mencumbuku. Kupikir kau memang tengah tidak sadar, tapi… ya memang kau tidak sadar tapi aku tidak pernah menyangkanya, serius.”

Mark tersenyum, sungguh ini bukan apa yang Renjun perkirakan sebagai reaksi dari ucapannya tadi. Kenapa Mark bisa setenang ini? Apa dia bahkan tidak merasa bersal—

“Aku minta maaf.” Ucapnya lalu menunduk. Mark sangat merasa bersalah atas insiden tak terduga itu. Dia paham betul kalau apa yang dilakukannya itu melukai Renjun dan juga harga diri lelaki ini. “Aku benar-benar menyesal. Aku… sungguh minta maaf, Renjun.”

Seperti sebuah luka yang mengering namun terkelupas lagi korengnya, rasa perih mengingat kejadian itu pun melingkupi Renjun. Lamat dia sudah melupakan kejadian mengerikan itu, namun bicara berdua dengan Mark membuka segala rasa sakitnya ke permukaan, meski bukan sepenuhnya rasa sakit. Sedikitnya, ada rasa lain yang menghampirinya.

“Dan ketika kita di studio rekaman…”

“Kau tidak menyebutkan yang kedua?”

Mark salah menanyakannya, wajah Renjun memerah.

“Ah mungkin kau sedang sakit waktu itu, makanya—“

Renjun menggeleng cepat, mau tidak mau dia harus memperjelas segala hal di sini.

“Aku mencobanya, kupikir aku gila ternyata aku memang sedang tidak waras waktu itu.”

Pikiran Mark belum berhasil memprosesnya, dia tidak mengerti. “Lalu bagaimana?” setidaknya mulutnya bisa reflek bertanya balik.

“Hatiku makin tidak karuan.” Jawaban Renjun membuat Mark puas, lelaki ini memang sangat berharap kalau hati Renjun mau berubah untuknya. Meski inginnya ini terbilang gila.

“Kenpa kau menciumku?” Tanya Mark, bermaksud menuntaskan rasa penasarannya sekaligus mencari kebenaran.

“Aku sudah mengatakannya.” Renjun menghindar.

“Di studio, kau menciumku pelan, lembut, dan lam—“

“Hyung!”

Dan sekali lagi, mau tidak mau Renjun harus menjelaskannya agar semuanya menjadi terang dan mereka berdua tidak terperangkap dalam lingkaran canggung yang sangat mengganggu. Setidaknya untuk mendapatkan kejelasan atas perasaan yang tersemat di hati masing-masing insan muda ini.


















_____

which kind of ending you guys want for this book?

btw im truly sorry for not udpating this book these long

i miss you guys

once again, sorry huhuhuhu

[bl] love me like you do✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang