16.pengakuan

15 3 0
                                    

"Jadian jadian jadian."

"So sweet."

"Gakuat gue ngeliatnya."

"Andai dia gitu ke gue."

"Wah temen gue ternyata berbakat juga ya." ucap Ringgo.

Veana mengumpat dengan hatinya.
'Deg-degan teros'

•••

Setelah lama mengenal Rangga, Veana dibuat nyaman olehnya. Dimulai perlakuannya yang sering membuat Veana terbang melayang ke langit ketujuh sampai tersenyum-senyum setiap sebelum mau tidur.

Tapi satu harapan Veana. Rangga bisa mengungkapkan perasaannya. Secara langsung. Dari mulutnya bukan dari bentuk perbuatan. Veana hanya butuh pengakuan.

Veana berjalan keluar dari rumahnya. Didepan sudah ada yang menunggunya untuk pergi ke sekolah. Seseorang yang hampir setiap hari membuatnya melayang layang di awan, berharap ia tidak dijatuhkan ke jurang. Seseorang yang ia harapkan mengungkapkan perasaannya. Dia adalah Rangga.

Ya, Rangga.

Sudah beberapa minggu ini ia sering mengantar-jemput Veana. Orangtua Veana pun mengizinkan Rangga untuk mengantar-jemput Veana, dengan syarat tidak merepotkan dan yang terpenting keselamatan.

"Udah siap?" tanya Rangga yang sedari tadi belum turun dari motornya.

"Sip." Veana mengacungkan jempolnya.

Veana naik ke belakang Rangga.

"Nih, pake helm." Rangga memberi helm kepada Veana.

"Ga mau ah, lebay." Veana menolak.

"Biar aman."

"Ga mau."

Setelah mendengar itu Rangga pun tidak jadi menyalakan motornya. Rangga menyetandarkan motornya kemudian turun dari motor. Membiarkan Veana masih tetap di jok belakang. Rangga menghadap Veana.

"Ko lo malah turun?"

Rangga mengabaikan pertanyaan Veana. Rangga mengelus pelan rambut Veana kemudian memakaikan helm padanya. Kemudian menyentil pipi Veana.

"Kalo lo kenapa napa ntar gue yang disalahin orang tua lo, malah jadi gadapet restu." Rangga langsung menaiki motornya dan melajukan motornya pelan.

Veana hanya terdiam. Selalu. Selalu saja begitu. Bagaimana ia tidak melayang layang, kalau perlakuan Rangga setiap hari seperti itu?

Veana ingin sekali bertanya masalah perasaan pada Rangga namun Veana tidak ada keberanian. Ia takut setelah bertanya itu justru Rangga malah menjauhinya. Lebih baik seperti ini.

Tapi biar bagaimana pun Veana juga butuh pengakuan dari Rangga. Buat apa Rangga setiap hari mengantar-jemput Veana, jika tidak ada perasaan?

Veana terus berargumen didalam hatinya. Hingga tak terasa ia sudah sampai diparkiran sekolah.

"Woy turun, udah sampe!" ucap Rangga pada Veana yang masih memeluk tubuh Rangga erat.

Veana tersadar dari lamunannya.

"Eh, sori." Veana langsung melepaskan pelukannya yang tanpa disadari itu.

"Betah lo ye, sampe meluk gue kayak gitu." Rangga tertawa pelan.

"Apaansih!" Veana memukul pelan punggung Rangga.

Kemudian Veana turun dari motor dan jalan meninggalkan Rangga.

"Veana!" panggil Rangga, sembari berlari menyusul Veana.

"Apaan lagi sih?" Veana berbalik menghadap Rangga.

"Itu." Rangga memberi isyarat melalui dagunya ke arah kepala Veana.

"Oh iya gue lupa." Veana melepaskan kaitan helmnya tapi ternyata sangat sulit.

"Ck, dasar umur, gitu aja gabisa." Rangga membantu Veana melepaskan helmnya.

Veana hanya terdiam. Menahan napas melihat kejadian ini. Dikejauhan sana, ada sepasang kekasih juga yang baru turun dari motornya berjalan mendekati mereka berdua. Dia Rivan dan Merina.

"Ck, kenapa ga jadian aja sih lo berdua!" celetuk Rivan, membuat dua insan didepannya menengok kearahnya.

"Iya, udah perfect couple banget." Merina menambahkan.

"Udah yuk sayang, kita duluan ke kelas takutnya kita ganggu, hahaha." Rivan dan Merina meninggalkan mereka berdua sambil tertawa.

"Akhirnya, lepas juga helmnya, makasih Ngga."

"Hm." Rangga hendak berbalik ke motornya untuk menaruh helmnya, namun Veana malah memanggil dirinya.

"Rangga!"

"Apa?" Rangga berbalik menghadap Veana.

"Soal perkataan Rivan tadi, hmm, gue, gue mau.. "

'Pasti Veana mau nanya soal status lagi.' batin Rangga.

Veana pernah sempat bertanya sekali soal status mereka. Namun, Rangga berkata waktunya belum tepat.

"Vi, gue mau jujur sama lo." Rangga menatapnya serius.

'Pasti Rangga mau nembak gue, aduh deg degan banget."

"Kalo gue, gue, hmm.. " Tiba tiba Rangga tersenyum yang membuat Veana tersenyum juga. "Gue itu, mau jujur."

"Jujur aja Ngga gapapa." Veana berkata sambil tersenyum kegirangan.

Sepertinya Veana sudah membayangkan apa yang akan diucapkan Rangga. Ucapan yang akan ia ingat terus, tak terlupakan. Ucapan yang membuat ia tak bisa tidur semalaman. Ucapan yang merubah segalanya.

"Jujur, gue belum ngerjain PR mtk, tar gue liat punya lo ya, lo kan baik hehe." ucapnya dengan konyol dan mengacak rambut Veana kemudian meninggalkan Veana yang diam mematung.

Kesal? Jangan ditanya. Veana merutuki dirinya sendiri yang terlalu pede. Veana hanya butuh pengakuan. Itu saja. Veana meremas jari jemarinya. Dan sepertinya ia akan badmood sepanjang hari.

•••

Just That, sorry..

Pengen bikin cerita baru lagi, yg udah di planning biar ga macet ditengah jalan.

703 word? Gapapa lah yaa wkwk

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Trust the LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang