7: Ternyata

17 2 0
                                    

"Gue bertahan hanya untuk menjadi kantung darah."
----


Aleta tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi saat dirinya pulang bersama seorang Aresh. Cewek itu masih ingat bagaimana cowok itu berhadapan dengan sang ibu dan menjelaskan dengan berani kenapa dia membawa Aleta pulang malam. Aleta masih ingat senyum ramah Aresh pada sang ibu. Kalau saja yang dapat senyuman ramah dan tulus itu dirinya. Tapi ternyata saat berhadapan dengannya Aresh tak pernah bisa tersenyum dengan tulus padanya.

"Dasar singa titisan beruang kutub." gumam cewek itu sambil membayangkan wajah Aresh.

...

Sementara di sisi lain, Aresh baru saja memasuki rumahnya, lebih tepatnya rumah tantenya.

Tubuhnya langsung menegang saat melihat seorang pria baruh baya tengah duduk di kursi ruang tamu bersama sang tante. Sang tante melihat kearahnya dengan tatapan sendu sementara si pria itu menatap Aresh dengan wajah dinginya.

"Eh, Ar. Tante kira kamu mau nginep dirumahnya Bara." ucap Firda membuat Aresh tersadar dari lamunannya.

Aresh menggeleng pelan, "gak jadi,  tan. Aresh lupa kalau besok ada ulangan." jawab cowok itu sambil berjalan mendekat.

Cowok itu hendak menyalami pria baruh baya itu tapi pria itu hanya acuh dan malah mengajak Firda mengobrol.

"Pah, sebenci itu papah sama saya?" tanya Aresh pelan sambil menatap sendu pria itu yang merupakan sang ayah, Derlan.

Firda menatap sendu sang keponakan, rasanya terasa perih melihat keponakannya diacuhkan oleh ayahnya sendiri.

"Kamu sudah tahu kan? Jadi untuk apa kamu bertanya lagi." jawab Derlan dingin.

Aresh merasa hatinya perih, seberapa kasarnya dia, galaknya dia, dinginnya dia, cowok itu bisa merasakan sakit dihatinya. Cowok itu duduk dihadapan Derlan dan bertumpu pada kedua lututnya.

"Harus dengan cara apalagi saya meminta maaf pada papah? Saya sudah lelah hidup seperti ini." Aresh menatap Derlan dengan wajah sendunya.

Derlan tak menunjukan reaksi apa-apa. Dirinya masih memasang ekspresi dinginnya, "saya datang kesini bukan untuk mendengar maaf tak berguna kamu. Saya datang kesini untuk minta darah kamu yang berguna." jelas Derlan dengan nada tegas.

Aresh mengerti kenapa sang ayah mengunjungi rumah tantenya ini. Kenapa dia mau mengunjunginya. Pasti karena dia membutuhkan darahnya.

"Kamu ini apa-apaan sih Der? Anak kamu baru saja pulang sekolah dalam kondisi yang lelah dan penat. Kamu malah minta dia buat donorin darahnya buat Kean. Kamu ini punya hati gak Der?" Firda memprotes niatan adiknya ini yang meminta Aresh mendonorkan darahnya untuk adik tirinya. Aresh memang memiliki seorang adik tiri berumur enam tahun. Adik laki-laki dari ibu sambungnya.

"Mbak, aku biarin dia hidup sampai sekarang saja itu masih syukur. Kalau bukan permintaan Airin, sudah aku bunuh anak ini." ujar Derlan dengan emosi membalas protesan Firda.

"Rumah sakit mana? Saya akan donorkan darah saya." ucap Aresh melerai perdebatan Firda dan Derlan sebelum perdebatan itu semakin besar.

"Dianya aja tak keberatan,  kenapa mbak protes?" tanya Derlan membuat Firda menggelengkan kepalanya.

"Terserah kamu Der." ucap Firda pasrah.

Loving Can HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang