1

11.4K 606 8
                                    

Up setiap Senin - kamis. Liat profil untuk info up semua cerita. Terimakasih.

***
Gadis itu beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam ruangan yang telah di tutup pintunya. Dia berjalan sangat pelan. Terlalu pelan hingga tidak ada suara menginjak lantai. Seharusnya ruangan itu memiliki lampu tapi dia tidak mau menyalakannya. Dia suka cahaya remang ini. Dia memang suka gelap.

Dia memilik duduk di tempat yang tinggi dan benda yang tadi ada di tangannya tergenggam kuat. Dia menatap benda itu dengan sedikit sendu tapi sepertinya benda itu adalah satu-satunya penyelamat yang dia miliki. Rambut panjangnya yang mencapai pinggang dan jatuh lurus tidak dua ikut. Mata coklatnya menatap pintu sekali lagi untuk memastikan kalau tidak akan ada yang melihatnya. Dan memang tidak ada. Ibunya telah jatuh tertidur sejak tadi jadi dia sendirian di sini.

Ada fase di mana gadis itu merasa dunia begitu jahat padanya. Begitu tidak peduli padanya dan begitu menyakitinya. Sekarang dia tengah merasakannya jadi dia merasa sudah tidak hidup lagi. Mereka mengabaikannya, bahkan ibunya. Wanita itu terlalu sibuk dengan pekerjaan barunya dan tentu saja ayah barunya atau calon ayahnya. Mengingat pria itu belum sepenuhnya masuk dalam lingkar keluarga mereka. Tapi ibunya terlihat akan menjadikannya ayahnya dalam waktu dekat.

Ibunya terlalu sibuk dengan pria itu hingga bahkan tidak lagi peduli dengannya. Dia tidak bisa mengatakan apapun pada wanita itu, tidak, dia tidak harus mengatakannya tapi seharusnya wanita itulah yang mengerti dia. Bukankah sepatutnya begitu? Itukan guna sebuah keluarga? Saling mengerti. Tapi ibunya tidak, sejak awal dia memang tidak pernah di pedulikan. Sama sekali.

Gadis itu terisak. Tanpa aba-aba sang bukti kesedihan mengalir ke pipinya. Sangat menyedihkan. Dia tidak bisa terus begini, dia tidak merasakan apa itu hidup. Jadi ya, dia harus kembali tahu alasan apa yang membuat dia ada di dunia ini.

Sekarang tangan sang gadis menggulung lengan bajunya dan mengangkatnya sedikit hingga ke siku. Melihat terlalu banyak bekas di sana hingga dia tidak tahu di mana lagi bisa menggoreskan tubuhnya.

Lalu gadis itu terpikir lengan yang satu lagi. Dia juga menggulung lengan bajunya yang satu lagi. Dia tersenyum. Dia menemukannya. Kesenangan mengalir di mata sendunya. Dia menikmati waktu seperti ini.

Pisau kecil tajam itu mulai menggores lengannya. Pelan dan hati-hati. Menikmati rasa sakitnya dengan mata berbinar senang. Dia menghela nafas dengan lega, dia tahu kini kalau inilah alasannya hidup. Rasa sakit inilah alasannya.

Aliran darahnya yang merembes keluar dari tangannya terasa bagai surga baginya. Dia tidak kuasa menahan desahan suaranya yang cukup keras. Dia lupa kalau harusnya dia melakukannya dengan diam-diam saja.

Suara pintu yang tercantik kasar membuatnya terkejut. Mata nanar ibunya menjadi pandangan pertama yang dilihatnya. Ibunya yang malang. Wanita itu bahkan telah menyalakan lampu dan melihat darahnya mengalir deras. Darah putrinya.

Segera saja Jia, sang gadis menjatuhkan pisau kecilnya ke lantai. Lalu menurunkan lengan bajunya. Tapi begitu dia menurunkan lengan bajunya, baju itu terkena darahnya hingga terasa basah. Sepertinya dia melukai dirinya terlalu dalam hingga darahnya sangat banyak. Dia kelewatan.

Ibunya berlari mendekat dan berlutut di depannya. Isak tangis wanita itu tidak membuat Jia mengalihkan pandangan dari kekesalannya akan bajunya yang terkena darah.

"Mama, baju Jia kotor," rengek Jia.

Mamanya memeluk Jia erat. Tangis wanita itu sungguh pecah dan sepertinya dia tidak terlalu ambil peduli dengan baju kotor itu.

"Mama Jia gak bisa nafas. Lepasin, Jia."

Alenta melepaskan putrinya dengan segera. Wanita berusia 34 tahun itu menatap wajah pucat pasi di depannya. Putrinya kehilangan terlalu banyak darah.

"Kita ke dokter sayang. Kita obati lukanya ya?" Alenta mengusap pipinya. Airmata tidak mau berhenti tapi bibir pucat putrinya menandakan kalau gadis kecilnya tidak butuh tangisan melainkan tindakan.

Jia menggeleng. "Jia gak sakit, Ma."

"Sayang," Alenta berkata lembut. Walau sesungguhnya sekarang otaknya setengah gila karena khawatir. "Kalau gak diobatin nanti semua baju yang kamu pakai kotor. Kamu mau baju-baju di lemari berwarna merah?"

Jia menggeleng. Dia tidak mau. Dia memang suka warna merah tapi dia tidak mau semua bajunya warna merah.

"Nah kalau begitu ikut sama mama ke dokter ya? Nanti kita suruh dokternya  bersihin."

Akhirnya gadis itu mengangguk dan Alenta serta merta merasakan lega di hatinya. Segera dia membawa Jia dengan memapah tubuh mungil dalam dekapannya. Putrinya terlalu kecil dan terlalu rapuh. Bodohnya dia yang lupa akan semua fakta itu. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri hingga dia melupakan putrinya yang membutuhkan perhatian lebih darinya.

Mulai sekarang dia akan tetap mengingat semuanya.

***

Lembaran-lembaran kertas berserakan. Mengenai wajah seseorang. Sosok itu melempar kertas tanpa peduli betapa lelahnya orang mengumpulkan kertas itu untuknya, kebodohan mereka yang membuatnya marah dan itu adalah amarah yang sesungguhnya. Dia tidak bisa melepaskan begitu saja mereka.

"Aku ingin mereka semua dipecat! Mengerti?"

"Baik, Tn. Corbis."

Alpha memijit kepalanya dengan pening. Sialan mereka, membuatnya sakit kepala seperti ini. Dia tidak suka sakit kepala jadi mereka benar-benar harus bertanggung jawab.

"Ambilkan obatku," kata Alpha setelahnya.

Orang itu berlalu pergi dan Alpha memilih berdiri di jendela dan memperhatikan sekitarnya. Melihat jalanan kota yang tampak macet seperti biasa. Macet yang memuakkan. Apalagi dia harus tinggal di tempat seperti ini membuatnya semakin bertambah ingin gila. Sayang sekali karena dia memang setengah gila sejak dulu.

Sekarang sepertinya akan menjadi penuh. Mengingat orang-orangnya yang tidak becus dengan pekerjaan mereka.

Almamater putih yang sejak tadi dia pakai telah lepas dari tubuhnya. Menyisakan kemeja hitam yang tergulung sampai ke lengan juga jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya. Dia menekan satu tangan di pinggangnya dan satu tangan lagi di teralis jendela. Mata pekatnya melihat salah satu mobil yang menarik perhatiannya.

Bukan mobilnya, dia memilik terlalu banyak mobil keluaran terbaru jadi sepertinya tidak akan ada mobil yang membuat membuat perhatiannya pecah.

Tapi itu lebih karena seorang gadis muda yang keluar dari mobil inova hitam. Gadis itu cantik. Menggoda. Muda dan rapuh. Dia harus tersenyum pada pandangan pertama dengan gadis yang tidak sedang melihatnya. Dia berada di lantai tiga jadi pastinya gadis itu tidak akan bisa menatapnya. Walau dia menatap penuh pada sang gadis yang berambut sangat panjang dan juga lurus.

Dia memakai pakaian panjang yang menutup seluruh tubuhnya tapi beberapa bercak merah di pakaiannya membuat Alpha mengerut. Dia tidak suka. Gadis itu terluka.

Gadis itu telah menghilang dari pandangannya. Dia masuk ke gedung ini dan Alpha tahu kalau sebentar lagi dia akan menemukan gadis itu agar bisa dengan mudah dia pandangi sepuas hatinya.

Kesenangannya tidak membuat Alpha segera berbalik untuk melihat siapa yang mengetuk pintu yang telah terbuka tersebut.

"Tn. Corbis. Ada pasien." Beritahu asistennnya.

Alpha tersenyum dengan miring. Pria itu meraih almamater dan segera memakaikanya. Dia akan menyambut tamunya dengan penuh sukacita.

"Suruh dia masuk."

Suara Alpha serak. Sial, dia hampir bisa merasakan gadis tersebut.

You Are Not My Submissive ✓ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang