Chapter 7

6.6K 437 11
                                    

Jia bangun dengan segera. Langsung duduk di atas ranjang dengan bingung. Dia tidak familier dengan ruangan itu, di mana dia berada dan apa yang dia lakukan di sini? Segalanya buntu.

Dia membuka selimutnya dan menemukan pakaiannya yang tidak menutup seluruh tubuhnya. Pakaian itu setengah terbuka. Baju tidur berwarna hitam. Kesukaannya. Jia tertegun. Kini dia sadar di mana dia berada. Dia ingat pria itu. Dokternya.

Lampunya gelap. Emosinya memburuk, dia sendiri. Semua orang meninggalkannya. Termasuk Alpha. Pria itu berpura-pura ada untuknya tapi pada akhirnya dia di tinggalkan sendiri.

Kepalanya sakit.

Segera dia turun dari ranjang. Mencari sesuatu yang begitu dia butuhkan. Bajunya telah dia perbaiki posisinya. Dia berjalan pada gelap nan pekat itu dengan satu tujuan. Dia butuh luka. Dia butuh rada sakit itu untuk mengingatkan dia apa yang membuat dia tinggal. Dia butuh menggores luka di tubuhnya agar dia merasa hidup. Itu akan menenangkan dia.

Gadis itu berjalan mencari. Dia membongkar semua tempat dan tidak juga dia temukan apapun. Dia butuh benda tajam tapi di sana tidak tersedia. Apa yang harus dia lakukan? Dia kalut. Kepalanya bertambah sakit rasanya.

Kesal dengan segalanya, dia meraih gelas yang ada di atas nakas dan melemparnya ke dinding. Frustasi melandanya dengan hebat. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Satu cahaya datang ke retinanya. Hanya pantulan kecil dari pecahan gelas yang tadi di lemparnya. Cahaya itu membuat dia tersenyum dengan sumringah. Alam mendengarkan permintaannya dan jawabannya berada di antara pecahan gelas.

Segera dia berjalan ke dekat dinding. Di pungutnya pecahan gelas itu dan senyumnya lebar. Itu cukup tajam untuk menggores tubuhnya. Dia akan melakukannya.

Kepalanya terangkat. Pintu yang terbuka kasar menarik atensinya. Dia melihat pria itu, yang ada dokternya menatapnya dengan tidak terbaca. Hanya pantulan cahaya dari luar yang menyinari siluetnya. Jadi Jia tidak cukup bisa membaca apa yang ada di wajah sosok itu.

"Apa yang kau lakukan?"

Alpha bertanya. Suaranya syarat akan ancaman.

Jia membuang pecahan itu dan menggeleng dengan ketakutan yang menguar di tubuhnya. Jelas pria itu menyeramkan, dia tidak pernah menyadarinya. Tapi sekarang sosok itu umpama sang pemangsa dan dia adalah angsa yang terjebak.

"Apa yang ingin kau lakukan, Jia?"

Jia menelan ludahnya. Dia memperhatikan sekitar, mencari tempat untuk lari tapi itu sulit. Dia terjebak di sini. Seluruh tempat itu terasa begitu sempit sekarang.

"Katakan padaku. Kau tidak ingin aku marah bukan?"

Jia menggeleng. Dia tidak mau pria itu marah. Dia takut.

"Sekarang katakan."

Dia mendongak. Airmata merembes di pelupuk matanya dan airmata itu turun deras ke pipinya. Kesedihan melingkupinya dengan buruk.

"Kamu gak ada di sini. Jia udah minta kamu tinggal di sisi Jia. Tapi kamu hilang. Jia gak mau sendirian. Jia gak mau. Jangan biarin Jia sendiri, Al. Jangan tinggalin Jia."

Alpha merasa aneh. Segalanya memang sudah aneh sejak awal. Tapi semakin lama dia menghabiskan waktu dengan gadis di depannya, semakin aneh dirinya. Dia merasa akan kehilangan dirinya dalam waktu dekat. Alpha harusnya tidak mengabaikan segalanya. Kini dia yakin, gadis di depannya mengancam merubah segala aspek dalam dirinya.

Helaan nafas terdengar dari mulut pria itu. Tangannya meraba dinding, mencari sakelar lampu. Membuat kamar itu terang-benderang. Tatapannya jatuh pada Jia yang begitu  rapuh dengan pecahan gelas di sekitarnya. Gadis itu sungguh tidak berhati-hati dengan dirinya. Alpha tidak menyukainya bahkan marah akan hal itu.

Dia mendekat kearah Jia. Mengusap pipinya yang basah dan mendongakkan gadis itu yang menundukkan kepala tidak mau menatapnya.

"Salahku. Aku meninggalkanmu."

Alpha berusaha membuat Jia tidak lebih takut lagi pada situasi mereka. Jadi dia mengalah. Salahnya meninggalkan gadis itu. Apa yang dia lakukan tidak bisa dibenarkan. Alpha sadar.

"Maukah Jia maafin Al?"

Jia mengangkat kepalanya. Mendengar bujukan pada suara itu. Dia luluh. Seketika segalanya menjadi lebih baik.

"Al janji gak ulangin lagi. Al gak akan ninggalin, Jia."

Jia akhirnya mengangguk setuju memaafkan kesalahan Alpha. Dia tersenyum.

"Bagus." Alpha mengelus kepala Jia. Dengan sayang. "Sekarang kita kembali ke ranjang."

Alpha segera meraih tubuh itu. Dia tidak bisa membuat Jia berjalan sendiri dengan pecahan kaca yang bertebaran di mana-mana. Diangkatnya tubuh Jia dalam gendongannya. Membawa gadisnya melewati bahaya. Lalu dia rebahkan tubuh itu di atas ranjang.

Jia memperhatikan Alpha yang sudah duduk di pinggir ranjang.

"Tidurlah," pinta Alpha.

Jia menggeleng. Dengan tegas.

"Kenapa gak mau tidur?"

"Al akan pergi lagi kalau Jia tidur."

Gadis itu menggenggam tangan Alpha.  Dia tidak akan membiarkan Alpha meninggalkannya kali ini.

Alpha melepaskan pegangan gadis itu.  Sendu di wajah itu karena apa yang dia lakukan membuat Alpha tersenyum. Jia salah, karena Alpha tidak akan pergi.

Pria itu telah membuka sepatunya dan ikut berbaring di samping Jia. Membawa gadis itu dalam dekapannya. Kelapa Jia terkulai di lengan Alpha.

"Sekarang Jia bisa tidur?" Alpha menyuarakan tanya.

Jia hanya mengangguk dengan antusias. Dia akan mimpi indah.

***

You Are Not My Submissive ✓ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang