Chapter 11

5.3K 422 8
                                    

Alenta keluar dari ruang kerja Alpha dengan perasaan yang lebih buruk dari ketika saat dia masuk. Kini bahkan dia kehilangan setengah dari tenaganya. Mengingat semua yang dikatakan Alpha membuat Alenta hancur berantakan. Hanya tatapan Jia yang membuat dia masih bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Mencoba tidak rapuh di depan anaknya. Dia tidak mau Jia berpikir banyak dengan apa yang terjadi pada ibunya.

Alpha dan Jia mengantar Alenta sampai ke depan rumah sakit. Dengan pelukan Jia yang masih ada di tubuh Alpha, tidak lepas garang sedetikpun.

Alenta berbalik. Menghadap ke putrinya yang menatap sendu kepadanya.

"Boleh mama peluk kamu, Sayang?" pinta Alenta.

Jia melepaskan diri dari Alpha. Menatap tangan ibunya yang terlentang meminta dia masuk ke pelukannya.

Mata Jia mendongak menatap Alpha. Jelas menginginkan sebuah persetujuan. Dan Alpha mengangguk padanya. Membuat Jia segera mengembangkan senyum lalu secepat kilat dia menyongsong pelukan ibunya. Masuk ke rengkuhan ibunya.

Gadis itu mendekap mamanya dengan kuat. Jelas tidak menginginkan sebuah perpisahan, seluruh akal sehat Jia meminta agar mamanya tidak meninggalkan dia. Tapi permintaan itu tidak bisa tersuarakan lewat mulutnya. Ia hanya bisa bungkam dan mamanya jelas tidak mengerti.

Alenta segera melepaskan pelukannya dan memutar tubuhnya lalu berjalan pergi. Tanpa menatap ke belakang lagi. Pada putrinya yang akan membuat dia tidak akan bisa meninggalkan gadis itu. Hanya dengan tidak menatapnya menjadi jalan keluar agar dia tidak berat hati.

Di samping mobil yang sudah dia datangi berdiri satu pria menunggu Alenta. Kepala Alenta terangkat dan segala apa yang di tahannya hancur sudah. Dia meraung dalam tangisnya.

Sosok itu memeluk dia erat. Mencoba memberikan dia hiburan tanpa kata tapi sepertinya itu tidak akan mempan. Alenta sudah terluka dengan keterlaluan dan dia tidak memiliki cara membuat dirinya baik-baik saja.

Putrinya yang dulu ceria. Putrinya yang dulu sangat hidup. Kini segalanya menjadi suram.

Segalanya berawal dari kecelakaan yang terjadi pada suaminya dan ayah mertuanya. Dua orang yang begitu dekat dengan Jia. Yang Jia anggap sebagai pengisi hidupnya. Mereka meninggalkannya dengan lubang luka yang menganga. Kini gadis kecilnya yang dulu bercahaya perlahan redup dan Alenta hanya bisa menangisi apa yang terjadi pada putrinya tanpa bisa membagi luka itu bersama.

Pelukan itu membuat dia tetap berdiri kokoh. Karena sekarang kedua lututnya terasa melemah dan siap menjatuhkannya di detik dia tidak memiliki pegangan hidup lagi.

Pria itu membawa Alenta masuk ke mobil. Mereka melaju pergi meninggalkan rumah sakit jiwa dengan tanpa ada pandangan dari Alenta lagi kepada putrinya. Kesedihannya terlalu kuat hingga dia tidak bisa hanya sekedar untuk menatap wajah putrinya sekali lagi.

Jia menatap kepergian mamanya dengan hati penasaran. Mamanya sedikit aneh. Mamanya menangis juga tidak mau menatapnya tadi. Apa yang salah?

Sebuah rengkuhan di belakang tubuhnya tidak membuat pikiran Jia teralihkan. Dia terlalu sibuk dengan tanya pada kepalanya atas apa yang menimpa ibunya.

"Kenapa?" Alpha bertanya dengan kebingungan yang tampak jelas di wajah Jia.

Jia menggeleng. "Mama aneh."

"Aneh?"

Jia mengangguk dengan cepat. "Dia sepertinya punya banyak masalah."

"Benarkah?"

"Apakah karena Jia?"

"Tentu tidak. Kamu sama aku di sini, jadi mana mungkin mamamu bermasalah sama kamu."

"Benar juga. Lalu kenapa mama seperti itu ya?"

"Sudah, jangan di pikirin. Sebaiknya kita masuk sekarang dan aku akan mengantarmu ke kamar. Ganti baju lalu makan bersama."

"Makan sama kamu?"

"Ya. Kenapa?"

Jia berputar. Menghadap Alpha hingga pelukan Alpha terlepas. Tatapan mereka bertemu.

"Jia mau mandi."

Alpha menatapnya dengan heran. Jenis pandangan yang benar-benar tidak mengerti. Dia memiliki tebakan tapi ragu mengutarakannya. Namun jelas gadis itu menginginkan apa yang menjadi tebakannya.

"Sama aku?" Alpha menunjuk dadanya sendiri. Menegaskan maksud gadis polos di depannya.

"Ya."

Dan Alpha harus menelan ludahnya sendiri. Jelas Jia terlalu berharap lebih kalau Alpha akan dengan senang hati menyetujui keinginannya.

Tentu tubuhnya dengan senang hati setuju malah akan mengusulkan hal lebih dari itu. Tapi sisi dirinya yang lain, yang kadang membuat Alpha yakin kalau dia masih memiliki otak waras menyatakan sebuah bahaya jika Alpha sampai mengiyakan.

Selama ini Alpha tidak pernah menyentuh pasiennya pada tahap sebuah keintiman. Dia tidak pernah merusak sampai sejauh itu. Tapi dengan Jia...

Bahkan hanya dengan puncak payudara yang sedikit terlihat membuat otak waras Alpha hilang entah kemana. Jadi dia tidak bisa melangkah sejauh itu. Tidak sama sekali.

Satu kesalahan akan membuat kesenangannya menghilang. Jika dia bersetubuh dengan Jia, pastinya ibunya akan menyadarinya dan dia bisa di tuntut. Rumah sakitnya akan ditutup dan dia akan kehilangan banyak pasiennya. Itu terlalu berlebihan untuk di korbankan hanya demi satu gadis polos yang memandangnya dengan berbeda.

Tapi tentu saja. Segalanya tidak akan pernah lagi berjalan sesuai inginnya. Alpha harusnya tahu sejak pertama dia melihat Jia. Gadis itu datang membawa bencana pada hidupnya.

"Jia gak bisa di kamar mandi sendiri. Jia takut melukai diri di sana. Kamar mandi adalah tempat yang paling bagus untuk berdarah. Jia gak mau Al marah kalau Jia terluka."

Itulah kalimat penjelasan paling tidak masuk akal tapi paling masuk akal yang keluar dari mulut Jia. Dia tamat. Dia kalah. Dia menurut.

You Are Not My Submissive ✓ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang