Aku terperangkap di tengah pepohonan ranggas. Sekelilingku diselimuti oleh kegelapan dan kegelapan saja. Bulan tak bersinar, bintang tak berseri. Angin malam menerpa tengkukku yang telanjang.
Mataku rupanya belum terbiasa dengan gelap. Kurogoh isi tas ranselku dan kutemukan sebuah kacamata visi malam. Musuh yang bersembunyi di balik semak-semak belukar itu tidak boleh menyadari keberadaanku. Beruntung, aku tidak berpijak pada rerumputan, melainkan tanah tandus. Melangkah perlahan seharusnya tidak berisiko menghasilkan suara yang berarti.
Kacamataku dilengkapi dengan Geiger counter portabel. Di sudut pandanganku tertulis angka 6.5--yang dibaca enam koma lima microSievert per jam--dengan model analog yang biasa ditemukan di kalkulator kuno. Ledakan di reaktor nomor dua puluh tiga beberapa pekan lalu benar-benar menyebabkan tempat ini kehilangan kemanusiaannya.
Kueratkan genggaman pada sebilah belati di tangan kananku. Sekilas, masih tersisa noda-noda merah kecokelatan akibat darah yang mengering. Akhir-akhir ini, pekerjaanku kian menumpuk. Sekadar membersihkan bilah pisau pun aku tak sempat.
Rahangku buru-buru menoleh ketika telingaku menangkap suara desik dari arah pukul delapan. Adrenalinku berpacu layaknya pertama kali menjalankan misi. Serum stimulan yang tadi pagi memang tiada duanya. Aku merasa hidupku memiliki arti lagi, meski hanya dalam hiperrealitas. Di era ini, kesemuan lebih dihargai daripada kenyataan.
Benar saja, sebuah entitas berwajah asing keluar dari semak itu. Ia tidak nampak seperti manusia, namun lebih seperti makhluk-makhluk dalam fiksi tentang Chernobyl yang laris beberapa puluh tahun lalu. Makhluk itu menyeruak ke arahku dengan kecepatan tinggi.
Tanganku sigap menangkis serangan tangannya yang mengerukut. Kuku-kuku kuning kecokelatan yang masih tersisa di ujung jarinya berusaha keras menggerayangi tubuhku dengan liar. Beringas napasnya mengalahkan dingin malam. Belatiku terayun kuat, menancap di paru-paru yang sudah bermutasi entah menjadi apa. Meski begitu, sang mutan masih tetap meronta-ronta dalam nyeri pedih luka di dadanya.
Sungguhlah langsam senjata arkais ini. Sejujurnya, aku bisa saja menggunakan senjata mutakhir yang mampu menghabisinya hanya dengan menekan satu tombol. Akan tetapi, keringkasan bukanlah tujuanku berada di tempat ini.
Erangan melompat keluar dari mulutnya yang cacat terdeformasi oleh radiasi. "Mne zhal', tuan mutan. Aku tak bakal jadi santapanmu malam ini," ujarku padanya walau aku tahu persis inkompetensinya dalam memahami struktur bahasa yang kompleks. Dengan presisi tinggi, tanganku bergerak menyayat tenggorokannya. Habislah ia diterkam maut badani yang datang setelah kematian akal budi. Mata kakiku menyaksikan tubuh itu terbujur kaku tak bernyawa.
Tanpa ragu, aku menggeledah sekujur tubuhnya. Aku tahu persis apa yang sedang kucari dan di mana aku dapat menemukannya. Sebuah cincin berukir aksara cyrillic di kantong jaket sebelah kiri atas...
YOU HAVE ONE MESSAGE
Apa ini?
Enjoying your little game?
Jendela-jendela ini terbuka sendiri. Dari baliknya, aku dapat melihat mutan itu bangkit dari maut! Ini tak seharusnya terjadi!
Aren't you ready to face reality?
"Computer, exit game!"
Command-ku tak berjalan. Absurd! Makhluk itu kini berada persis di depan batang hidungku dengan liurnya yang menggenang. Peretas keparat. Dalam keadaan panik, kulayangkan tusukan demi tusukan liar yang tak sedikit pun melukainya. Tanganku hanya menembus bahunya yang terlihat glitchy. Kedua mata itu menusukku dengan tatapan horor; kuku-kukunya mencengkeram kulit kepalaku. Neurolinker sialan ini bekerja terlalu baik, aku dapat merasakan setiap detailnya melalui sebagian jaringan sarafku yang masih berfungsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apotheosis
Science FictionLumpuh dan sekarat, Xandra meratapi kehidupan tanpa mampu mengakhirinya. Sebuah kecelakaan merenggut semua hal yang membuat keberadaannya berarti. Namun, Xandra harus percaya bahwa kedatangan Sang Nabi bukanlah kecelakaan. Takdir melibatkan mereka...