Langit-langit di atas kepalaku terasa begitu jauh untuk dijangkau. Aku mengerjap sambil menarik napas. Selang-selang menembus kulitku, kabel melekat di dadaku. Sebuah jahitan melintasi bagian kanan atas perutku.
Tempat ini terlihat seperti bangsal rumah sakit yang tidak terawat. Lampunya redup serta jerjak jendelanya penuh debu. Suara orang berlalu-lalang dan meringis kesakitan memenuhi kepalaku. Bahkan, jahitan yang menghiasi tubuhku nampak tidak rapih, terkesan seperti tanda tangan yang dibubuhkan oleh seorang ahli bedah gadungan.
Seorang pria duduk termenung di samping ranjangku. Kukira ia sedang memperhatikan sesuatu, namun ternyata tatapannya kosong. "R?"
Ia menoleh ke arah suaraku. "Ah, kau sudah sadar."
"Di mana P.A.D.-ku?"
R merogoh saku jaketnya lalu menyerahkan sebuah papan besi pipih kepadaku. "Aku berbincang dengan Lucy selama operasimu berjalan. Kudengar kau ingin tahu lebih jauh tentang Ramiel Grant. Kenapa?"
Pelanggaran privasi. Aku bahkan tak memberi tahu R bahwa Lucy telah diintegrasikan pada P.A.D.-ku sebelum pembedahan dimulai. "Siapa yang mengizinkanmu mengakses isi P.A.D.-ku?"
Ia melirik benda di tanganku. "Kawanmu. Ia yang memulai pembicaraan," jawabnya santai. "Kusarankan mulai sekarang kau tak usah berprasangka buruk padaku."
Lucy mungkin hendak menggali informasi darinya. Aku menegakkan sandaran alas ranjangku dengan menekan tombol di pengontrol jarak jauh. "Kau tahu beberapa hal mengenai Ramiel Grant, akui itu. Sekarang, jelaskan padaku semua yang kau ketahui."
Pria itu menatapku dalam diam selama beberapa detik. "Kau kuat berdiri?"
"Aku lumpuh."
"Ah, ya, maaf," ia gelagapan karena salah bicara. "Maksudku, apa kau sudah mampu berpindah tempat?"
Berpindah tempat? Ke mana ia akan membawaku? Barangkali, menjumpainya ke Kemenristek, atau bahkan langsung ke rumahnya? Ataukah mungkin Grant sedang menungguku di lobi rumah sakit? "Kurasa tak akan ada masalah asalkan tidak meninggalkan rumah sakit ini."
R mengangguk pelan lalu dengan sigap memindahkan tubuhku ke atas kursi roda. Ia meraih kantung infusku dan melemparkannya padaku. "Lucy, matikan akses pendengaran otomatis sampai perintah selanjutnya."
"Apa-apaan!" Aku berseru padanya.
"Aku akan menjawab pertanyaanmu dengan satu syarat. Inilah syaratnya."
Meretas Lucy, lalu mematikan akses pendengaran otomatisnya. Dari awal, R nampak sungguh tak senang dengan keberadaannya. "Kau seperti tidak suka dengan Lucy."
R mendorong kursi rodaku meski tahu aku dapat melakukannya sendiri. Mungkin, ia tak ingin aku tersesat atau salah jalan. "Jika pun aku membenci temanmu itu, aku pasti sudah membumihanguskan datanya sejak awal. Bagaimanapun juga, aku tak boleh mencampuradukkan opini dan perasaan pribadiku di dalam misi sepenting ini."
Lorong rumah sakit ini pengap sekali. "Aku sampai lupa kau ada di sini untuk sebuah misi," ucapku setengah bercanda. "Apa bunyi misimu? Tolong segarkan kembali ingatanku. Anestesinya kuat sekali tadi."
"It's confidential."
"Kalau begitu, beri tahu saja apa yang harus kulakukan untuk menyelesaikan misimu itu. Dengan begitu, kau bisa cepat kembali ke kenyataan ruang-waktumu dan aku bisa hidup damai lagi."
"Tidakkah kau mengerti apabila aku membeberkan terlalu banyak hal padamu, pertimbanganmu tentang tindakanmu di masa mendatang akan terpengaruh?" Ia mempercepat langkahnya, menambah kadar kegelisahanku. Aku belum siap menemui Ramiel Grant. "Lagipula, aku tak akan bisa kembali. Penjelajahan waktu adalah perjalanan searah. Jika misi ini gagal, yang tersisa buatku hanyalah kutukan dan ketakutan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Apotheosis
Science FictionLumpuh dan sekarat, Xandra meratapi kehidupan tanpa mampu mengakhirinya. Sebuah kecelakaan merenggut semua hal yang membuat keberadaannya berarti. Namun, Xandra harus percaya bahwa kedatangan Sang Nabi bukanlah kecelakaan. Takdir melibatkan mereka...